Suasana hati Nuno sudah tak segembira beberapa menit yang lalu. Eliana tak kalah galau. Ia merasa keadaan menjadi tambah rumit. Sekarang bukan lagi antara dirinya dengan Hans. Permasalahan jadi melebar kepada Ibra. Dari Ibra, kerumitan jadi bertambah dengan kehadiran bapaknya yang ikut masuk dalam lingkaran ini. Dan Eliana malah menyeret Nuno masuk dalam kehidupannya juga.
“Kamu mau ajak aku kemana?” Tanya Eliana ketika Nuno membelokkan mobil justru ke arah kota.
“Aku ga bisa mancing kalau hati lagi panas,” ucap Nuno datar.
Mobil terus melaju tanpa Eliana tahu kemana arahnya. Nuno masih diam seribu bahasa. Ia terus fokus menatap ke depan tanpa sekali pun melirik kepada Eliana.
Mobil terus melaju, menuju ke arah pedesaan di daerah Wonosari, Gunung Kidul. Eliana tak berani bertanya meski hari sudah beranjak menuju sore.
Jalan menanjak dan berkelok. Nuno menyetir dengan hati-hati. Eliana melihat sekeliling. Ada jurang yang tak terlalu dalam dan deretan pepohonan. Di sebuah tanah yang agak lapang dan datar, mobil berhenti.
Nuno keluar, menuju pintu kiri mobil, lalu membuka pintu, dan meminta Eliana untuk keluar.
“Ini namanya Watu Amben. Nanti kalau sudah agak sore, kita bisa lihat sunset dari sini,” ucap Nuno sembari menunjuk ke langit. Eliana takjub. Dari ketinggian, ia bisa melihat kota Jogja dari atas. Matahari bersiap untuk menggelincir. Nuno menggandeng tangan Eliana menuju sebuah warung kecil. Seorang perempuan paruh baya tengah duduk menjaga warungnya. Nuno menyapa dan memesan dua cangkir kopi. Di sebelah barat warung itu, terdapat tempat duduk dari bambu beserta meja cukup besar. Sengaja disediakan untuk menikmati senja. Meskipun sederhana, tapi cukup memberikan kenyamanan.
Nuno dan Eliana duduk di sana.
“Maaf ya, aku jadi merepotkan kamu,” ucap Eliana untuk membuka percakapan. Sejak tadi Nuno banyak diam.
“Aku senang kok,” sambung Nuno sembari melirik ke samping, ke arah Eliana.
“Di sini keren banget, aku suka,” ucap Eliana jujur.
“Aku kalau lagi ga mancing ya kesini. Kalau di sini lebih tenang.”
“Oh, gitu ya. Bener juga sih, di sini tenang banget.”
Eliana dan Nuno menekuni pikiran masing-masing. Mereka diam beberapa saat.
“Aku boleh tanya?” tanya Nuno.
“Silakan,” jawab Eliana.
“Apa kamu benar-benar cinta sama Ibra?”
Eliana menggeleng.
“Kalau pun dulu pernah, hanya sedikit. Dan sekarang enggak,” jawab Eliana.
Kopi pesanan mereka tiba. Eliana diam sejenak. Setelah pengantar kopi berlalu, ia mengambil cangkir dan menyeruputnya. Ketegangan tiba-tiba cair.