Setia

Erna Surya
Chapter #16

A Phone Call

Sebulan ini, Eliana hidup dengan tenang. Ibra yang sempat marah-marah kepadanya di butik karena janji bertemu tak ditepati akhirnya bisa dikendalikan dengan ucapan maaf. Meski berkali-kali dan membuat Eliana cukup lelah, akhirnya hati lelaki itu luluh. Ia memberikan maaf. Eliana menceritakan apa yang terjadi di keluarganya dan meminta kepada Ibra untuk menepi selama setahun ini. Kepada Ibra, Eliana menyampaikan bahwa bila mereka berjodoh, setahun akan jadi masa perjuangan dan pembuktian. Dan Ibra harus bersabar untuk itu. Dalam hati, Eliana berharap agar lelaki itu tak kembali. Untuk memberikan kemungkinan terburuk, Eliana memberikan gambaran kepada Ibra bahwa ia bisa saja kembali menjalin rumah tangga bersama Hans, dan itu berarti Ibra harus memilih wanita lain untuk mendampinginya. Ibra sempat menolak, dan mengatakan bahwa ia akan menunggu sampai setahun tanpa dekat dengan wanita mana pun. Eliana marah. Ia menasihati Ibra untuk tetap mencari wanita lain. Perdebatan ditutup dengan kesepakatan bahwa bila Eliana tak menghubunginya selama setahun ini, berarti hubungan mereka berakhir. Tak ada yang boleh protes. Ibra menurut.

Sebulan ini juga, Eliana memutuskan untuk tak menghubunginya Nuno. Ia tahu lelaki itu baik. Namun keadaannya yang sedang tak baik. Eliana sempat berfikir dan berangan-angan, kalau saja ia masih sendiri dan Nuno pun juga sama, ia memilih untuk jatuh cinta dan memperjuangkan cintanya untuk lelaki itu. Namun belakangan ini ia mulai sadar, bahwa status 'menikah' yang ia sandang adalah tembok besar. Eliana memilih untuk mendiamkan perasaan itu sampai batas waktu yang belum ia tentukan. 

Terkadang Eliana terkenang dengan masa-masa dimana lelaki itu mencandainya di mobil dengan mengatakan bahwa pipinya seperti bakpao. Eliana sempat sedikit merasa tersinggung, namun Nuno segera menyusulkan kata-kata manis dengan mengatakan bahwa pipi bakpao itu yang tercantik dan membuatnya terkenang setiap malam.

Pipi Eliana merah waktu itu. Nuno seperti membawanya ke masa-masa sepuluh tahun yang lalu ketika ia masih remaja. Perasaan cinta semacam itu muncul kembali, padahal usianya sudah sangat matang sekarang ini, bukan remaja lagi. 

Letupan-letupan kecil semacam perasaan cinta jadi timbul tenggelam di dalam hatinya. Namun bila mengingat Miko dan Hans, ia usir kembali perasaan jatuh cinta semacam itu.

Sebulan ini, Eliana mampu mengendalikan keadaan. Sampai di suatu siang, telepon kantornya berdering dan sebuah suara yang ia kenal menyapanya dengan sangat hangat. 

“Kalau calling kamu di hp pasti di-reject,” kata suara di seberang sana.

Ya, itu suara Yahya. Eliana masih ingat kalau ia sempat memberikan nomor telepon butiknya kepada lelaki itu. Entah mengapa, ia percaya dengan lelaki itu, sangat percaya malah. Pada diri Yahya, Eliana seperti menemukan teman. 

Yahya menanyakan keadaannya, dan dijawab bahwa ia baik-baik saja. Lalu Yahya menanyakan mengapa ia sulit sekali ditemui akhir-akhir ini. Kepada Yahya, Eliana mengatakan bahwa ia sangat sibuk. Sebuah pesanan seragam Aming tamu datang kepadanya dalam jumlah yang besar, dan semua harus tepat deadline. Sesungguhnya, itu hanya alasan saja. Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa Eliana memang menghindari kontak dengan Nuno termasuk teman-teman lelaki itu dan semua hal yang akan mengingatkannya pada perasaan jatuh cinta yang meletup kecil-kecil.

Yahya tak bisa berbasa-basi. Ia langsung mengatakan kepada Eliana bahwa Nuno 'kacau' akhir-akhir ini. Sempat Eliana merasakan desiran. Perasaan khawatir muncul. Ia tak bisa bila harus menahan tanya, apa yang terjadi? Yahya bercerita, sebuah cerita panjang yang membuat jantung Eliana seperti berhenti berdetak.

Dia mau cerai.

Kata-kata Yahya berdenging terus di telinganya. Eliana merasa apa yang terjadi dalam rumah tangga Nuno itu ada andil dirinya meskipun sedikit. 

Lihat selengkapnya