Eliana menatap punggung Nuno yang berbalut T-Shirt hitam. Perasaannya campur aduk. Ada semacam energi yang menggerakkan kakinya untuk melangkah ke tempat ini dan memanggil nama lelaki yang baru saja mencuri hatinya. Nuno menoleh, dilihatnya Eliana yang berdiri mematung. Eliana berjalan mendekati Nuno dan duduk di samping lelaki itu.
“Maaf ya, aku lost contact lama.” Eliana membuka percakapan. Nuno hanya menjawab tak apa, lalu mengalihkan pandangannya kepada air yang mengalir tenang di depannya. Joran yang sedari tadi dipegang, kini diletakkannya.
“Ini tempat waktu pertama kali kamu bilang cinta sama aku kan?”
Nuno menoleh lalu tersenyum tipis. Eliana menoleh sedikit kepada lelaki itu, memandang ke depan. Mereka diam sejenak beberapa saat sebelum Eliana mengatakan kalau Yahya meneleponnya beberapa menit yang lalu. Nuno bertanya tentang apa isi percakapannya di telepon. Eliana tak menjawab. Ia justru balik bertanya perihal keadaan Nuno. Sebenarnya, dalam hati Eliana, banyak hal yang ingin ditanyakan. Tetapi semuanya butuh momen yang tepat, pikirnya lagi. Maka ia putuskan untuk menunggu sampai lelaki itu benar-benar siap untuk bercerita.
Ponsel Nuno bergetar, sebuah pesan masuk. Nuno membaca sebentar, lalu meletakkan ponselnya kembali. Eliana mengamati semua yang dilakukan Nuno.
“Jadi kamu sudah tahu semuanya ya?” tanya Nuno.
Eliana diam. Ia tak paham definisi dari kata: semuanya. Karena memang ada banyak hal yang belum ia pahami dari lelaki itu. Nuno akhirnya membuka cerita.
“Ya, aku dituntut cerai,” awal cerita Nuno.
Eliana menunjukkan ekspresi wajah yang biasa saja.
“Siapa Novita?” tanya Eliana.
“Waktu itu aku masih SMP. Aku melihat Novita dengan tubuh mungilnya masuk ke halaman rumah suaminya, yang itu adalah tetanggaku. Novita sempat melirikku, dan pandangan kami bertemu. Novita memberikan senyum, dan aku membalasnya. Semenjak itu, aku jadi sering lewat di depan rumahnya dan curi-curi kesempatan untuk sekedar melihat dirinya.”