Setiap Momen adalah Kamu

Jane Lestari
Chapter #1

1

Suasana tampak mencekam. Ke dua orang itu saling menatap tajam, penuh amarah. Sedang bocah laki-laki itu terdiam di pojok, juga dengan tatapan penuh benci.

“Wanita sialan! Aku sudah melarangmu membawa anak bodoh ini. Kamu lihat apa yang sudah dilakukannya?” ucap pria itu.

Wanita itu menggerenyotkan bibir, tak percaya pada apa yang didengarnya. “Kamu tidak pernah sadar ya, otaknya itu turunan dari siapa? Dari kamu!” sahut wanita itu, memaki.

Kembali, pria itu mendaratkan tamparan kerasnya. Hidung wanita itu akhirnya mengeluarkan darah segar.

Bocah laki-laki itu menangis dan melemparkan botol minuman yang sedari tadi ada di tangannya.

“Kamu memang pria berengsek!!” teriak wanita itu lantas melemparkan asbak yang ada di atas meja di sampingnya.

Suasana benar-benar hilang kendali.

“Jangan!!” Dia membuka mata, dan tersadar. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Napasnya terputus-putus, serasa baru saja berlari dari kejaran binatang buas.

Dia menenangkan diri.

Dia melihat jam di meja samping tempat tidurnya. Dia lantas mengambil handuk menuju kamar mandi.

***

Big Land, pukul 09.00.

Seorang wanita muda, penampilan sangat rapi, dengan blazer cokelat dipadukan dengan rok panjang warna senada, melangkah dengan tegap menuju ruangan Direktur Keuangan.

“Bu, sudah ditunggu di ruangan Pak Dimas,” ucapnya setelah membuka pintu. Dia adalah sekretaris Direktur Keuangan, Asti Ayuningtyas.

Seorang wanita di balik meja bertuliskan Direktur Keuangan menoleh dan menatap, “Memangnya ada jadwal pertemuan hari ini?” tanyanya. Dia adalah Direktur Keuangan Big Land, Indah Efrina.

“Iya Bu, kemarin saya sudah serahkan jadwalnya.”

Indah buru-buru membuka berkas yang terpampang di atas mejanya. Dia lantas menarik napas panjang.

“Mengapa aku bisa lalai seperti ini?” sesalnya.

Asti hanya tersenyum.

Indah lantas bergegas menyusun dokumen yang harus dibawa ke ruang rapat, dan segera berlalu dari pandangan Asti.

Di ruang rapat, tampak Dimas bersama dua orang pria.

Dimas Aryaguna adalah CEO Big Land, salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Jakarta. Pria berusia 55 tahun yang selalu terlihat lebih muda dari usianya.

Menyadari kehadiran dua orang pria asing di ruangan itu, langkah Indah terhenti, tepat di pintu masuk ruang rapat. Tiga pasang mata, bersamaan menatap ke arahnya.

Mata Indah membelalak, dan dia menelan ludah, mendapati wajah seseorang yang baru saja ditemuinya pagi tadi.

***

Terjadi keributan di perempatan jalan. Sebuah sedan kuning bertabrakan dengan sepeda motor Sport, pun berwana kuning.

Tampak wanita pengendara mobil turun dengan wajah menahan marah. “Maaf, apa Mas punya mata?” ucapnya, menatap tajam.

Pria di hadapannya, pun, seketika memberikan tatapan yang sama. Pria muda itu turun dari kendaraannya.

“Lampu jalan jelas menandakan jalur ini berhenti! Motor aja yang mahal, otak gak kepake!” sambung Indah, menohok.

“Hei, hati-hati dengan mulut Mbak yang manis itu! Coba Mbak lihat baik-baik. Saya atau Mbak yang gak punya mata?!” sahut pria itu, tak kalah tajam, menunjuk Indah.

Indah menoleh ke arah lampu jalan. Raut wajah Indah seketika berubah. Dia menarik napas panjang.

Ya Allah, kenapa aku ini?

“Ma—"

Belum sempat Indah menyelesaikan kalimatnya, pria itu kembali naik ke atas motor, dengan sorot mata emosi. Tanpa kata, meninggalkan Indah yang masih terdiam di tempatnya.

“Aku belum minta maaf, dia sudah pergi.” Indah terus bergumam, menyadari kesalahan besar yang dia perbuat.

***

Tower Electrics Mahakarya

“Kamu kenapa? Pagi-pagi sudah gak mood gitu?” tanya Aditya, mendapati pria yang baru saja masuk ke ruangannya, dengan wajah tegang.

Perkenalkan, Rakha Langit Ahmad, usianya 30 tahun. Salah satu Direktur di Tower Electrics Mahakarya. Dia salah satu penerima penghargaan Best Young Executive dari Majalah Bisnis terkemuka tahun 2020.

“Benar-benar pagi yang memuakkan! Udah bad mood dari rumah, di jalan, bertemu cewek stres!”

Mata Aditya melebar. Ya seperti biasa, mana ada yang membuatmu nyaman, selain dirimu sendiri, batinnya.

“Pasti—"

Aditya belum menyelesaikan kalimatnya, Rakha memotong seperti biasa, “Kok, ada ya cewek seperti itu? Tampak terpelajar, tapi membedakan lampu lalu lintas aja gak bisa?”

Aditya kembali menarik napas panjang. Sebaiknya aku diam, gumamnya.

“Kamu lagi sakit gigi ya?”

“Ha?” jawab Aditya, heran.

“Sakit gigi?” Rakha mengulang. Aditya menggeleng.

Rakha menarik napas panjang. Dia berbalik dan keluar dari ruangan itu.

“Ada apa sih dengan pria ini. Pagi-pagi sudah menyebalkan!” ucap Aditya, melihat sikap Rakha yang berlalu begitu saja tanpa permisi.

Tampak dua wanita muda, berjalan lebih cepat menuju ruangannya. “Cepat, Pak Rakha sudah menuju ke sini,” ujarnya pada rekan di sampingnya. Mereka terus mempercepat langkah.

Keduanya langsung sigap berdiri di meja masing-masing, dan beberapa detik kemudian Rakha sudah melintas di hadapan mereka.

“Untunglah,” ujar Rani, setelah pria itu masuk ke ruangannya. “Hampir saja,” sambung Nilam, membuang napas.

Lihat selengkapnya