Aditya terlihat terburu-buru menuju lantai sepuluh Big Land. Staf yang melihat tingkahnya, terheran-heran.
Mau gimana lagi, kalau dia marah, bisa jadi aku kehilangan pekerjaan, gumamnya.
“Mana dokumen yang aku perintahkan kemarin?” tanya Rakha, membelalak. “Dokumen?” tanya Aditya, bingung.
“Ehm, kalau kamu tidak mampu bekerja profesional, mending kamu tidur di rumah!!!” ucap Rakha, dongkol.
“Tunggu dulu Bos. Dokumen yang mana?”
Rakha menarik napas panjang. “Dokumen yang diserahkan om Dimas tentang proyek Big Land yang harus aku pelajari. Jangan bilang, kamu hilangkan?!”
Aditya terdiam. Dia tampak berpikir.
“Oh itu. Aku ingat, aku singgah di toilet dan aku letakkan di meja tak jauh dari ruang rapat. Kalau gak salah, di depan ruangan Direktur Keuangan.”
“Jadi?”
“Oke. Aku ambil sekarang!”
Berurusan dengan pria menakutkan itu memang sebuah pilihan buruk. Aditya terus saja berbicara sendiri, sambil berjalan menuju ruangan Direktur Keuangan.
“Selamat siang, Pak?” sapa Asti, mendapati Aditya terhenti di depan ruangan Direktur Keuangan. Pria itu lantas berbalik ke meja sekretaris.
Aditya Utama, batin Asti, membaca id card yang tergantung di leher jenjang pria itu.
Aditya terdiam. Dia berubah kaku, mendapati Asti berada tepat di hadapannya. Tanpa kedip, matanya terus menatap wajah Asti. “Pak?” Pria itu masih bergeming. “Pak Aditya?!” Asti sekali lagi mencoba menyadarkan Aditya yang masih saja diam. Wanita itu berbalik salah tingkah, dengan tatapan pria itu yang terus menerus.
Ya Tuhan, wanita ini. Mengapa jantungku, tiba-tiba berdetak tak karuan seperti ini? gumamnya, seraya memegang dada kirinya.
Kenapa dia bisa tahu namaku?
“Pak Aditya!!!” Asti mengeraskan suaranya. Barulah pria itu keluar dari lamunannya. “Iya, ya,” ucap Aditya, dengan melebarkan senyumannya.
Ada apa dengan pria ini?
“Aku ajak makan siang, boleh?” Asti kembali tersentak. “Ini, Pak?” jawab Asti menunjuk beberapa dokumen di tangannya. “Biar aku yang izin ke atasan kamu, gimana?” sambung pria itu.
Tanpa menunggu jawaban Asti, Aditya lantas masuk ke ruangan Direktur Keuangan. Tak lama, pria itu sudah kembali dengan wajah sumringah. “Ayo,” ajaknya.
“Tapi, Pak—“
Aditya mengambil tas wanita itu, dan meneruskan langkahnya. Tanpa menghiraukan sikap Asti yang masih terpaku, kaget, dengan situasi yang sedang terjadi.
Beberapa langkah menjauh, Aditya menoleh dan mendapati Asti masih terdiam di tempatnya. Dia pun kembali melambaikan tangannya. Akhirnya Asti, mendekat dan berjalan mengikutinya, dengan perasaan tak tentu.
Di dalam mobil, Asti masih terlihat canggung. Dia mengambil ponsel, dan mulai mengetik pesan.
Asti : Bu, saya mohon izin.
Indah : Nikmati makan siang kamu.
Asti : Baik Bu.
Asti menarik napas panjang. Dia belum memahami sepenuhnya apa yang terjadi padanya. Baru bertemu dengan Aditya, dan kini, dia harus bersama dengan pria itu.
Di sisi berbeda, Aditya terus tersenyum manis. Dengan ujung mata, terus mencari celah menatap Asti. Bunyi ponsel tiba-tiba meramaikan kecanggungan. Mata Aditya melotot mendapati panggilan telepon. Rakha? Tidak bisa sedikit saja membuatku tenang, ya? gumamnya.
"Halo, Bos?” ucap Adit, mengangkat telepon. “Kamu di mana?” tanya Rakha.
“Aku izin makan siang dulu ya. Boleh, kan?”
“Dokumen dari om Dimas?”
“Iya, dari makan siang, aku langsung bawa ke kantor.”
“Makan siang? Tumben banget?”
“Ya, improvisasi boleh, kan?”
“Ha? Ya sudah, ingat jam istirahat hanya satu jam!”
“Ya elah, iya iya!” Sambungan telepon pun berakhir. Tampak wajah Adit, kesal dengan kalimat Rakha.
Tumben banget monster itu jadi pengertian, Aditya membatin.
Asti masih saja memasang wajah bingung. Mobil pun berhenti di sebuah restoran.
“Ayo,” ajak Aditya dengan senyuman yang begitu mekar. Sebaliknya, senyuman Asti masih saja sangat dipaksakan. Baru kali ini, dia meninggalkan kantor bersama seorang pria.
Selama empat tahun bekerja di Big Land, dia menghabiskan waktunya mengurusi makan siang Indah, atasannya. Sejak masih di bagian Akuntansi, sampai Indah dipromosikan menjadi Direktur Keuangan. Asti terus setia menjadi sekretaris, yang sangat diandalkan. Tidak berada di kantor saat makan siang, terasa aneh buatnya.
Aditya bersikap begitu manis, menarik kursi, dan mempersilakan Asti duduk. “Terima kasih, Pak,” ucap Asti, makin canggung. Perasaan aneh bercampur, entah apa yang harus dia lakukan. Sikap tak biasa Aditya, benar-benar mengusiknya.
Aditya terus saja tersenyum, masih dengan senyuman yang sama. Ya Tuhanku, ada apa ini? guman Asti, tidak tenang. Dia terus saja menggoyang-goyangkan kakinya.
Pelayan datang bersama buku menu di tangannya. Aditya serius membaca dan melihat menu, sedangkan Asti masih bersama kebingungannya.
“Mas, aku pesan ini, ya?” Aditya tampak menunjuk satu menu makanan dan satu minuman. “Asti?” Aditya berbalik menatap Asti. “Apa saja, Pak?”
Aditya tertawa. “Gak ada menu apa saja.” Asti makin canggung. “Aku samain aja?” jelas Aditya.
“Iya Pak,” jawab Asti, dengan senyuman yang ditarik.