Setiap Momen adalah Kamu

Jane Lestari
Chapter #5

5

Suasana haru belum beranjak dari percakapan Indah dan Dona. Keheningan tercipta, sembari ke dua wanita itu menenangkan diri.

“Oke, cukup dari aku,” sambung Indah, dengan senyuman hangatnya, menguatkan.

“Aku seperti kehilangan semangat untuk bercerita,” ujar Dona.

“Gak ada alasan, kamu wajib cerita. Aku ke sini udah penasaran banget. Iya Don, ya?” pinta Indah.

Dona tersenyum. Dia memulai cerita.

“Namanya Yusuf Abdullah. Kami satu divisi sebelumnya, sebelum dia jadi pimpinan di divisi kami.”

Indah terlihat mendengar, serius.

“Aduh gimana mulainya?”

Lho kan udah mulai?”

“Aku bingung, mau cerita yang mana.”

“Cerita semua. Jangan ada yang ditutup-tutupi!” ujar Indah, memaksa.

“Ya, oke. Awalnya, aku tidak terlalu sadar akan kehadirannya. Karena, kamu kan tahu, saat itu aku fokus membangun karier, mengurus Syifa. Kehadiran pria, sama sekali jauh dari rute jalanku. Sampai akhirnya, aku ngobrol dengan atasanku saat itu. Yang kebetulan dekat banget dengan aku, Mbak Nia.

“Dia menceritakan, mas Yusuf selalu menanyakan tentang aku, tentang Syifa. Mbak Nia, menyampaikan bagaimana mas Yusuf menaruh hati padaku. Bagaimana dia berjuang menyembunyikan perasaanya, karena aku memang membuat batas saat itu. Aku begitu terharu mendengarnya. Bagaimana seorang pria bisa mencintai dalam diam, demi menghargai prinsip wanita yang dia sukai.

“Sejak saat itu, aku mulai membuka diri tanpa menunjukkan bahwa aku sudah tahu segalanya. Tapi, setelah mbak Nia pindah ke kantor pusat, mas Yusuf yang menggantikan beliau. Saat itulah dia baru berani menyatakan perasaannya yang sebenarnya.”  

Sweet banget sih, mas Yusuf itu,” ucap Indah.

“Aku lanjutkan ya. Setelah menyatakan perasaan, sikapnya makin membuatku sadar, bahwa dia pria yang berbeda. Dia bukan mendekati aku, tapi dia mendekati Syifa. Aku sangat terharu, Ndah.” Mata Dona tiba-tiba berkaca-kaca. Dia menahan tangis. Indah lantas menggengam tangan sahabatnya itu.

“Syifa dari kecil kehilangan sosok ayah. Kehadiran mas Yusuf, seperti mata air yang hadir di tengah kegersangan dan kerinduan Syifa akan kasih sayang seorang ayah.”

“Don, aku sangat bahagia mendengarnya. Tanpa bertemu dengannya, aku merasa, dia akan menjadi pria terbaik untukmu dan Syifa,” ujar Indah,

“Iya, Ndah.”

“Rencana ke jenjang yang lebih serius?” tanya Indah. “Beliau sudah dua kali melamar. Tapi aku masih belum siap.”

“Tanggapannya?”

“Dia mengerti dan bersedia menunggu.”

“Don, aku makin penasaran ingin bertemu dengan beliau.”

“Segera aku atur, ya. Aku pun ingin sekali, mempertemukanmu dengan beliau.”

“Dia seperti apa sih? Cuek atau perhatian? Suka ngomong atau pendiam?”

“Dia pria yang sangat perhatian. Ngomong, tidak banyak, tapi perhatiannya yang melimpah."

“Wah, melimpah ya,” ujar Indah diselingi tawa. “Iya seperti itulah dia. Liebe Box pun bisa aku wujudkan karena dukungannya. Dia selalu mengatakan, dia akan selalu mendukung, apa pun yang ingin aku lakukan. Apa saja yang bisa membuatku bahagia.”

“Hubungan Syifa dan ayahnya, gimana?” sambung Indah.

“Sudah setahun ini, Syifa sudah berkomunikasi dengannya. Awalnya memang sangat canggung, tapi pelahan komunikasi mereka baik.”

“Untuk kesekian kalinya, aku tidak pernah lelah mengakui, bahwa kamu wanita dan ibu yang luar biasa, Don,” puji Indah.       

“Kok, itu lagi yang dibahas?” tanya Dona.

“Itu penting Don. Bagaimana seorang wanita yang dicampakkan begitu saja bisa memaafkan dengan mudah. Bagaimana seorang wanita yang ditinggalkan dalam kondisi hamil besar, berjuang sendiri, bisa menerima dengan terbuka, pria yang meninggalkannya? Aku seperti tidak percaya, bahwa ini nyata.”

“Indah, untuk ke sekian kalinya juga, aku akan menjawab dengan jawaban yang sama. Tuhan memberikan ujian, sesuai kadar kemampuan kita menghadapinya. Itu saja.” Dona mengingatkan.

Lihat selengkapnya