Jam menunjukkan pukul delapan malam, saat Asti berjalan menyusuri lobby Big Land.
“Asti, saya duluan ya. Kamu gak apa-apa balik sendiri?” tanya Indah, setelah membuka kaca mobilnya.
“Iya Bu, gak apa-apa.”
“Hati-hati ya.” Indah pun berlalu. Asti melepas Indah dengan senyumannya.
Sejak Indah pindah ke apartemen, dia tak lagi mengajak Asti bersamanya saat berangkat dan pulang dari kantor. Arah kediaman Asti sekarang tidak lagi searah dengan apartemen atasannya itu.
Indah, masihlah sosok yang sama dengan Indah yang ditemui Asti beberapa tahun lalu. Wanita tiga puluh lima tahun, yang memiliki hati yang lapang, hati yang tulus, dan sangat perhatian.
Asti berjalan ke luar gerbang, sambil menunggu ojek online yang telah dipesannya.
“Alhamdulillah,” ucap Asti, setelah meyakini, motor hijau yang mendekat adalah ojek online yang dipesannya.
“Astagfirullah!!!” Asti tersentak, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapannya. Ojol yang ditunggunya, terpaksa berhenti mendadak, di belakang mobil itu.
Sang pengemudi menurunkan kaca mobilnya.
“Asti, bareng yuk??” tanya pria itu dengan senyuman yang mengembang sempurna.
“Pak Aditya?” ucap Asti, lagi tercenung.
“Aku sudah pesan ojek, Pak.”
Aditya lantas turun dari mobilnya.
Beberapa saat, dia terlihat berbicara dengan pria pengendara motor hijau itu. Dan tak lama, motor itu berlalu, membuat Asti kembali bingung.
“Pak? Ojol pesanan saya?” heran Asti, menunjuk ojol yang berlalu.
“Itu udah pergi. Berarti kamu bareng saya, ya?”
“Tapi Pak—"
Aditya membuka pintu mobil selebar-lebarnya, dan mempersilakan Asti.
Asti masih berdiri terpaku, bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Dia takut, harus berdua berkendara di malam hari, dengan seorang pria yang belum dikenalnya dengan baik.
“Kok malah bengong?” tanya Aditya, mulai heran dengan sikap Asti yang masih diam di tempatnya.
Aditya lantas menutup kembali pintu mobil itu. Dia berdiri di samping Asti, mencoba menyatu dengan kondisi Asti.
“Rumah kamu, jauh dari sini?”
“Gak kok Pak. Gak jauh.” Asti tampak masih tertekan dengan kehadiran pria itu.
Atau dia takut bersamaku? batin Aditya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Hening.
“Kamu udah makan malam?” tanya Adit, berusaha mengatasi suasana canggung. “Udah, Pak.”
Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang? Lagi, pikir Aditya.
“Pak, saya balik naik ojol saja,” ujar Asti, pelan. “Jadi, kamu tega ninggalin aku sendiri di sini?”
Asti kembali bingung.
“Kamu takut, satu mobil dengan saya?” tebak Aditya.
Asti tersenyum, merasa bersalah.
“Oke. Apa yang saya harus lakukan, agar kamu tidak takut, bareng dengan saya?” tanya Aditya, berusaha mencari solusi.
“Lampu dalam mobil dinyalakan, dan kaca mobil di buka,” jawab Asti, jelas.
Aditya tersenyum.
“Oke. Ayo,” ajak Aditya. Lantas membuka kembali pintu mobil, dan Asti segera mengambil tempatnya.
Terima kasih, Tuhan, gumam Aditya disertai senyuman bahagia.
Senyuman Aditya, terus saja menghiasai perjalanan keduanya. Namun, suasana canggung masih saja tercipta.
“Asti tinggal bersama siapa?” Aditya memecah keheningan. “Bareng ibu, Pak.”
Ke mana ayahnya? batin Aditya. “Ayah saya sudah meninggal dunia.”
Ha? Dia bisa tahu apa yang kupikirkan? Aditya kembali, membatin.
“Pak, boleh kita berhenti dulu di sana?” pinta Asti, sambil menunjuk ke arah pasar malam yang begitu ramai.
“Oke, tentu saja.” Aditya membelokkan kendaraannya.
Asti tampak sangat bahagia. Senyumannya tak lepas dari setiap langkahnya.
Aditya sesekali melirik ke arah wanita di sampingnya. Mencoba menelisik hadirnya aura yang berbeda.
Langkah Asti terhenti di samping permainan komedi putar. Senyumannya terus terbit, melihat tawa bahagia anak-anak yang sedang menikmati permainan.
Ada apa dengannya? Ingin rasanya aku memulai mengenali apa pun tentangnya. Tapi bagaimana aku memulai? Dia tampak wanita yang tidak banyak bicara. Aditya kembali membatin.