Di depan ruangan rapat, tampak beberapa pria, anggota dewan direksi masih sibuk berbicara satu sama lain, “Kenapa sih, pak Dimas harus memilih pria itu? Kamu tidak dengar, bagaimana sifatnya yang angkuh?” tanya salah satu anggota Direksi.
“Iya, seharusnya mbak Indah yang menggantikan pak Dimas. Dia sangat kompeten, terbuka akan saran, dan komunikasinya selalu baik dengan seluruh staf dan Direksi,” sahut anggota lainnya.
Ada apa ini? batin Aditya. Dia melihat Rakha berdiri tepat di belakang ke dua pria yang sedang membicarakan dirinya.
Melihat keberadaan Aditya, Rakha seketika pergi dari tempat itu. “Masalah lagi,” ungkap Aditya, mendapati ekspresi Rakha yang menahan emosi.
Hari ini, Rakha dan Aditya mulai berkantor di Big Land. Melewati meja kerja Asti, Aditya tak lupa menyapa dengan senyumannya. Namun Asti memberikan respons datar.
Rakha yang mendapati sikap manis Aditya, menyeringai. “Menebar pesona di mana-mana. Yang ada kamu seperti pria murahan!” ucapnya, kesal.
“Apa?” tanya Aditya, tidak mendengar dengan jelas. Sambil terus mempercepat langkah, saat melihat Rakha sudah menjauh darinya.
Setelah ke dua pria itu berlalu, Asti masuk ke ruangan atasannya.
“Bu Indah, pak Rakha sudah ada di ruangannya,” lapor Asti, sesaat setelah Rakha melintas.
Indah menarik napas panjang. Seperti akan menemui badai besar.
“Seluruh dokumen yang diminta, sudah kamu siapkan?”
“Iya Bu, sudah saya siapkan.”
Indah tampak menenangkan diri. Entah hatinya sungguh tak siap, menghadapi tatapan pria itu.
“Ibu Indah, apa baik –baik saja?”
Indah hanya menggangguk. “Ayo.”
Indah melangkahkan kakinya keluar, menuju ruangan Rakha, diikuti Asti. Tepat di depan ruangan Rakha, Indah menghentikan langkah.
Asti yang ada di belakangnya, makin dibuat bingung dengan sikap Indah yang tak biasa.
“Semua akan baik-baik saja,” gumam Indah, menyemangati dirinya.
Indah melanjutkan langkah, dan membuka pintu ruangan di hadapannya. Tampak Rakha sudah menunggu di meja rapat bersama Aditya.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Indah, dengan senyuman yang berat.
Asti pun, memberikan senyuman yang hangat. Dan senyuman lebih indah diberikan oleh Aditya.
Rakha mengangkat alis, makin terganggu dengan tingkah sahabatnya itu.
Indah dan Asti masih berdiri di tempat.
“Kalian mau berdiri sampai kapan?” tanya Rakha, tanpa melihat ke arah ke dua wanita itu.
Ya Allah, kuatkan aku, batin Indah. Dengan senyuman yang ditarik, Indah mengajak Asti mengambil posisi untuk duduk.
Indah di hadapan Rakha, Asti berhadapan langsung dengan Aditya. Posisi yang jelas akan membuat Asti tidak nyaman.
Indah menyerahkan dokumen pada Rakha, tanpa suara.
Pria itu pun menerima, tanpa kata. Suasana menjadi sangat kaku. Indah berusaha keluar dari ketidaknyamannya, saat Rakha sibuk membuka lembar demi lembar dokumen yang diserahkannya.
Di lain sisi, Aditya menggunakan kesempatan, untuk terus menatap Asti. Yang membuat Asti makin salah tingkah dan hanya bisa menunduk.
Beberapa menit berlalu, suasana masih sama.
Detik terus berganti, sejam berlalu, hening masih saja tercipta. Aditya merasa kakinya mulai bermasalah. Dia merasakan kesemutan. Dia memberikan kode pada Rakha, namun pria itu tidak peduli.
Biarlah, aku saja yang mulai. Dia marah, itu urusan nanti. Aku yang mati tersiksa kalau begini, batin Aditya.
“Aku mau buat minum. Mbak Indah mau minum apa?” ucap Aditya. Tatapan Rakha seketika mengarah padanya. Tapi Aditya mencoba cuek.
“Gak usah, Pak,” jawab Indah, singkat. “Ini kan pertemuan pertama kita. Izinkan saya, memulainya dengan secangkir minuman hangat.”
Sempat-sempatnya ngegombal di depanku, berengsek! batin Rakha.
“Biar saya aja yang buat, Pak,” sahut Asti. “Saya aja. Nanti kamu capai,” jawab Aditya.
Rakha membuka matanya lebar.