Setiap Momen adalah Kamu

Jane Lestari
Chapter #8

8

Dalam kondisi yang tertekan, Indah dikagetkan dering ponselnya. “Apa?!” jawab Indah, setelah menerima panggilan dari ponselnya.

Asti seketika ikut panik, melihat ekpresi kaget Indah.

Indah menutup telepon, dan segera melangkah keluar ruangannya. Dia berlari kecil dan memasuki ruangan bertuliskan Public Relations Devision.

“Ada apa ini?” tanya Indah.

“Memo dari pak Rakha, Bu,” jawab wanita di hadapannya, dan menyerahkan selembar dokumen. Wanita itu adalah staf Divisi PR.

Indah membaca selembar dokumen yang diserahkan wanita itu. Sejenak Indah terpaku. “Bagaimana mungkin ini disebut keputusan, tanpa ada rapat bersama?”

“Pak Rakha, minta saat ini juga di eksekusi, Bu.”

Tanpa jawaban, Indah langsung keluar dari ruangan tersebut, masih memegang selembar kertas yang dibacanya tadi. Dia tampak berjalan menuju ruang Pimpinan.

“Bisa dijelaskan maksud memo ini, Pak Rakha?” ucap Indah, setelah berada di hadapan Rakha.

“Apakah anda lupa, saya yang memegang kendali di sini? Keputusan saya, multak! Anda punya hak apa, mempertanyakan hal ini?” jawab Rakha, menatap sinis.

“Bapak menggantikan pak Dimas, bukan berarti Bapak seenaknya mengambil keputusan tanpa rapat dengan Direksi. Ini jelas menyalahi posisi Bapak!”

“Jadi, kamu mau melawan keputusan saya?”

“Bisakah ini dibicarakan dulu, Pak? Ini menyangkut masa depan anak-anak itu. Bukan hanya satu anak, tapi puluhan anak kurang mampu,” jelas Indah, menurunkan tempo.

Rakha kembali menyeringai. “Oke! Untuk kepuasan anda, kita rapat Direksi sore ini. Silakan,” ujar Rakha, memberikan isyarat pada Indah untuk keluar dari ruangannya.

Indah pun beranjak tanpa sepatah kata pun.

“Mari kita lihat!” ucap Rakha, masih dengan senyuman licik.

Seluruh anggota Direksi telah berkumpul di ruang rapat. Tampak Indah sudah hadir. Rapat akhirnya dimulai setelah kedatangan Rakha.

“Saya selaku Penanggung Jawab penyaluran dana CSR yang ditunjuk berdasarkan Rapat Direksi, ingin menyampaikan keputusan Bapak Rakha Langit Ahmad tentang penghentian Dana CSR untuk Yayasan Anak Negeri. Rapat ini dilaksanakan untuk meminta pertimbangan dari Bapak, Ibu, terkait keputusan ini.”

Rakha berbisik, “Kamu lupa? Kamu baru saja dilepaskan dari jabatan itu.” Senyuman pria itu benar-benar melukai hati Indah.

Rakha memberikan isyarat untuk Indah menghentikan kalimatnya, “Baiklah, saya ambil alih. Saya yakin Bapak, Ibu, anggota Direksi Big Land akan setuju dengan penawaran saya ini. Coba Bapak, Ibu, bayangkan dana senilai 200 juta setiap tahun, harus digelontorkan oleh Big Land. Untuk membiayai sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Big Land. Bapak, Ibu yang berjuang membangun perusahaan ini, kok malah yang enak pihak lain?”

Anggota Direksi, saling berpandangan satu sama lain. Rakha kembali menyeringai, mendapati respons anggota Direksi.

“Oke saya langsung saja. Saya cenderung berpikiran seperti ini Bapak, Ibu. Seharusnya dana sebesar itu, diserahkan kepada Bapak, Ibu anggota Direksi untuk disalurkan kepada keluarga terdekat. Saya lebih setuju, menghargai lelah Bapak, Ibu, dibanding digunakan kepada pihak lain yang bahkan kita tidak kenali. Tidak ada jaminan, bahwa dana itu benar-benar digunakan sebagaimana mestinya, kan?”

“Maaf Pak Rakha, jika boleh saya memberikan penjelasan?” sela Indah.

“Bapak, Ibu, apakah penawaran saya bisa diterima?” Rakha mengabaikan Indah.

Seluruh anggota Direksi tampak saling berbisik satu sama lain.

“Kalau dari kami, tawaran Pak Rakha sangat masuk akal. Akan lebih baik jika, anggaran CSR digunakan untuk peningkatan kesejahteraan internal perusahaan, bukan pihak lain,” ucap salah satu anggota Direksi.

Rakha, tersenyum puas. Tanpa kalimat, dia melangkah meninggalkan ruang rapat.

“Bapak, Ibu, ada apa ini?!” ucap Indah, sedikit menaikkan volume suaranya.

“Mengapa anda semua berubah seperti ini? Bukankah ini sudah menjadi kesepakatan Direksi bersama pak Dimas beberapa tahun ini?”

“Kami kira tawaran pak Rakha itu baik. Akan lebih baik jika perusahaan lebih mengutamakan kesejahteraan karyawannya. Itu secara langsung akan meningkatkan kinerja, kan?” sahut salah satu anggota Direksi.

“Apakah Bapak lupa tujuan dana CSR ini, perusahaan salurkan?!” sambung Indah. “Bapak, Ibu lupa, kepada siapa dana ini selama ini diberikan? Seberapa penting dana ini bagi mereka?!”

Tidak ada yang menjawab.

Seluruh anggota Direksi, satu per satu meninggalkan tempat duduk, akhirnya meninggalkan Indah sendiri di ruang rapat.

Indah terduduk. Matanya berkaca-kaca.

“Terima kasih, Mbak. Berkat perusahaan Mbak Indah, anak-anak ini kembali punya masa depan. Mereka kembali punya keberanian untuk membangun impian.”

Ya Tuhanku, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku tega menghapus harapan anak-anak itu? gumam Indah.

Lihat selengkapnya