Pagi yang tak biasa.
Indah terlihat ada di rumah sakit. Dia sedang berbicara dengan Asti. “Terima kasih ya. Kamu langsung ke kantor saja. Saya sudah menghubungi pak Aditya. Hari ini saya menemani ibu dulu.”
“Baik, Mbak.”
Asti pun melangkah meninggalkan Indah yang masih berdiri di lobby rumah sakit. Semalam, dia dikagetkan kabar ibunya dibawa ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu menderita mag yang cukup serius.
Sejak tinggal di apartemen, Indah sudah jarang menemui ibundanya. Kondisi yang membuatnya merasa sangat bersalah pada ibu yang membesarkannya dengan kasih sayang utuh. Walaupun kenyataan menegaskan bahwa tak ada ikatan darah antara mereka.
Dari jarak yang tak begitu jauh, tampak kakaknya, Desi melangkah ke arahnya. Semakin dekat, makin jelas, rona kesedihan terpancar di wajah Desi.
Dia langsung memeluk adiknya itu, erat. “Makasih kamu sudah menemani ibu semalam.”
“Mbak Desi kok ngomong gitu?”
“Maaf,” sahut Desi, menggengam tangan Indah. “Dik, apa kamu sehat-sehat saja?”
Indah menggangguk.
“Mbak lihat, kamu lebih kurus dari pertemuan kita sebelumnya?”
“Yang penting sehat, Mbak,” jawab Indah, berusaha kuat. “Kamu dengan siapa jaga ibu?”
“Ada Asti, Mbak.”
“Syukurlah. Mbak minta maaf ya, lagi-lagi harus merepotkan kamu. Padahal Mbak tahu, kamu sudah sibuk sekali di kantor.”
Mata Indah berkaca-kaca. Kalimat Desi, terasa menyedihkan baginya.
“Mbak jangan berkata seperti itu. Ibu tetaplah ibu Indah sampai kapan pun. Kita sudah sepakat kan, Mbak? Tidak boleh ada yang berubah setelah kenyataan itu?”
Desi tersenyum, matanya turut menyiratkan kesenduan. Dia lantas melabuhkan pelukannya lagi pada Indah.
“Kamu perlu tahu. Kamu dan Mbak, tidak terikat hubungan darah, tapi Mbak sangat menyayangimu, Dik. Kamu adalah adik terbaik di dunia. Mbak tidak punya kalimat yang bisa mewakili, betapa bangganya kami memilikimu.”
Kalimat Desi makin membuat suasana haru. Indah tidak bisa mengendalikan tangisnya. Dia seperti melepaskan bebas, tetesan air jernih itu membasahi pipinya.
Indah kian tidak bisa membendung kesedihannya. Dia memeluk Desi, sangat erat. Kehidupan yang menyibakkan nyata yang kian membuat segalanya terpampang. Ke duanya sesaat hanyut dalam keheningan.
Bunyi ponsel Indah seketika mengubah suasana. Wajahnya kembali menyiratkan persoalan baru.
---
“Dokumen proyek itu, kamu simpan di mana?” tanya Rakha. Matanya menatap tajam Asti. Wanita itu tampak tertekan. Dia tidak mampu mengangkat wajahnya.
“Saya mohon maaf, Pak. Setelah rapat di perusahaan klien semalam, saya singgah di rumah sakit—“
“Saya bertanya, dokumen itu di mana?! Urusan keluarga, pribadi, bukan urusan perusahaan!” Rakha makin menekan suaranya, yang makin membuat Asti tersudut.
Asti tak lagi punya jawaban.
“Saya tidak percaya ini! Kamu, atasan kamu, sama teledornya! Saya benar-benar heran, mengapa pak Dimas bisa mempertahankan kalian? Dengan kualitas seperti ini?!!” Rakha masih menatap Asti dengan mata penuh amarah.
“Saya jadi curiga, ada sesuatu yang terjadi antara kalian dan pak Dimas?”
Indah tampak melangkah dengan cepat, dan memasuki ruangan Rakha. Tatapan tajam pria itu, kini beralih pada Indah.
“Asti, kamu kembali ke ruangan,” pinta Indah. Asti pun beranjak, menyisakan Rakha dan Indah.
“Lagi, mau jadi pahlawan?!” tanya Rakha, sinis.
Indah menghela napas.
“Masalah dokumen itu, saya yang bersalah, Pak. Asti tidak langsung kembali ke sini, karena permintaan saya.”
“Inikah profesionalisme anda sebagai seorang Direktur Keuangan? Saya bahkan tidak menemukan sedikit pun kualitas yang bisa dibanggakan dari anda!”