Sejak makan malam terakhir, hubungan Aditya dan Asti kian berjarak.
Tak ada lagi waktu keduanya walaupun sekadar ngobrol. Kondisi perusahaan yang memburuk, ditambah hubungan Indah dan Rakha yang sama buruknya, turut mengganggu hubungan keduanya.
Saat Aditya berusaha mendekat, Asti akan setiap saat menjaga jarak. Terlalu banyak perbedaan, makin membuat Asti menghindar.
Menunggu pesanan ojek online, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapan Asti. Dan seperti biasa, sosok yang ada di dalam mobil, tidak lain adalah pria yang dihindarinya.
Asti menunduk, berusaha tidak menatap ke arah Aditya.
“Asti, saya mau ngobrol, bisa?” pinta Aditya. “Tidak ada lagi, yang harus dibicarakan Pak,” sahut Asti.
Aditya menghela napas. Sebutan ‘Pak’, terasa sangat menyakitkan.
“Please. Setelah ini, saya tidak mengganggumu lagi.” Mata pria itu berkaca-kaca.
Asti kembali tidak bisa berkata-kata. Dia akhirnya menuruti permintaan Aditya. Dia naik ke mobil. Dia memperhatikan kondisi mobil, dengan lampu kabin dinyalakan dan seluruh jendela di buka.
Dia menarik senyumannya.
Perjalanan keduanya, kembali tanpa suara. Mobil yang dikendarai Aditya tampak kembali mengarah ke pasar malam.
Ke pasar malam? batin Asti.
Lagi, Asti dikejutkan dengan langkah Aditya menuju warung tenda yang sebelumnya mereka kunjungi.
“Pak?”
“Kita makan malam di sini, ya?”
Asti masih terpaku. Dia masih belum paham, apa yang sedang dilakukan pria itu.
“Mas, kami pesan mie kuah pedasnya ya, dua porsi,” sebut Aditya. Asti yang telah duduk di hadapannya, membuka mata lebar-lebar.
Bukannya kemarin?
Sebuah pertunjukan kembali membuat Asti terhentak.
Aditya begitu santai, dan melahap seporsi mie kuah pedis tanpa jeda. Keringat pria itu sampai berceceran. Suasana yang membuat Asti, bahkan tak bisa menyentuh sedikitpun makanan di hadapannya.
Dia malah terpaku, melihat keasyikan Aditya menikmati makanan itu.
“Kamu gak makan?” tanya Aditya. “Saya kenyang, Pak,” jawab Asti, masih bingung. Lagi, sikap Aditya membuatnya makin tidak mengerti. Pria itu mengambil makanan Asti, dan melahapnya dengan cepat.
“Daripada gak di makan, saya yang habiskan,” jelas Aditya, bersama senyuman lebar pada Asti.
Asti memegang kepalanya. Sikap Aditya benar-benar membuatnya seperti orang bodoh, yang hanya bisa bengong.
Selesai makan, Aditya tampak berdiri mengambil sesuatu di mobil.
“Mbak, pacar mas itu?” tanya seorang pelayan, yang melintas di samping Asti. “Bu—“ Belum selesai Asti menjawab, pelayan itu menyela. “Udah malam ke delapan, mas itu selalu datang ke sini Mbak. Dia selalu makan dengan menu yang sama, dua porsi.”
“Setiap malam?”