Hari baru, sebuah kejutan hadir. Dimas, sudah hadir di Big Land.
Sejak pagi, beliau sudah ada di ruangannya. Ekspresi tak biasa, kembali menghiasi wajah pria paruh baya itu. Koran dengan headline persoalan Rakha, menjadi halaman yang terus saja ditatapnya.
“Om Dimas sudah kembali?” Rakha dan Aditya tersentak, setelah mendapati mobil Dimas, sudah terparkir di basement.
“Siapkan dirimu, Bos!” ucap Aditya, memperingatkan. Namun, seperti biasa, Rakha bersikap santai, dan berjalan menuju lantai sepuluh Big Land.
Memasuki ruang Pimpinan, keduanya langsung disambut tatapan dingin Dimas.
“Om kenapa gak kasih kabar? Kami bisa jemput ke bandara,” ucap Aditya, mencairkan suasana.
Dimas melemparkan koran yang dipegangnya, ke badan Rakha, yang masih berdiri terpaku tak jauh dari darinya.
“Om tidak menyangka, menitipkan Big Land padamu, menjadi sebuah dosa besar. Om berpikir kamu sudah berubah. Ternyata tidak ada bedanya dengan papamu!”
“Tolong, jangan bawa-bawa papa ke dalam pembicaraan ini. Ini urusan saya!” sahut Rakha.
Dimas menyeringai. Dia berusaha menahan emosinya, tampak jelas di wajahnya. “Jelas, mengalir darah yang sama, jadi tidak ada artinya mengharap kamu akan lebih baik!”
Rakha tidak lagi bisa menahan emosinya. Tapi, Aditya berusaha menghentikannya.
“Big Land, dengan susah payah kami bangun. Mengapa kamu tidak berpikir sedikitpun sebelum bertindak? Setidaknya lakukan demi kehormatan papamu. Dia pernah buat kesalahan, seharusnya kamu tidak melakukan hal yang sama. Kapan kamu bisa jadi dewasa?
“Om saat ini, masih fokus pengobatan tante kamu. Om kembali setelah mendapat telepon dari pihak ET. Tidakkah kamu ingin jadi pria yang lebih bertanggung-jawab? Kamu sebenarnya menerima tawaran ini, apakah memang ingin menghancurkan Big Land?”
Tidak ada jawaban. Rakha masih bersama kediamannya. Aditya pun, masih berdiri terpaku, di belakang sahabatnya itu.
“Kamu, silakan keluar!” tunjuk Dimas pada Rakha. “Dan kamu, duduk!” perintah Dimas pada Aditya.
Rakha pun meninggalkan ruangan itu dengan suasana hati buruk.
Aditya, kini berhadapan langsung dengan Dimas, dipisahkan oleh meja yang cukup besar.
“Saya tidak ingin membawa masalah ini ke rapat Direksi. Ini terlalu sensitif, mengingat Rakha adalah keponakan saya. Saya tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi dengan anak itu. Saya pikir sebelumnya, dia sudah jauh lebih baik. Tolong kamu ceritakan, apa yang terjadi,” pinta Dimas pada Aditya.
“Begini Om, sebenarnya sebelum Om meninggalkan Jakarta, kesehatan Rakha sedikit memburuk. Dia tidak lagi mau mengonsumsi obat yang diberikan dokternya. Akhirnya makin ke sini, orientasi obsesinya makin tidak terkendali. Apalagi setelah bertemu Indah.”
“Indah?”
“Apakah Om sudah menerima laporan tentang Indah?”
“Saya belum sempat bertemu dia pagi ini. Saya terfokus pada berita di koran itu.”
“Mbak Indah mengambil cuti sepekan ini Om. Rakha mencabut wewenang beliau dari Divisi Keuangan.”
“Apa? Beraninya anak itu, mengambil keputusan di luar batas yang saya berikan!”
“Sebenarnya, kondisinya sedikit lebih buruk Om.”
“Apalagi?!” Dimas makin tampak panik dengan kenyataan yang didengarnya. “Rakha menarik seluruh dana CSR yang disalurkan melalui Yayasan Anak Negeri.”
Tersentak!
“Anak itu sudah gila! Dia berani mengambil keputusan besar tanpa konfirmasi? Ini masuk bulan tujuh, jadwal penarikan dana beasiswa untuk anak-anak itu? Ini jelas akan mencoreng nama Big Land!”
Dimas menghela napas panjang. Dia tidak menyangka, dia akan mendapati masalah besar setelah menunjuk Rakha sebagai penggantinya.
“Kamu tahu, Indah sekarang di mana?”
“Sekretarisnya mungkin tahu, Om,” jawab Aditya. “Oke, panggil dia sekarang!” perintah Dimas.