Hari ke lima, Indah menikmati hari-harinya di Liebe Box. Dia menjalani hari seperti biasanya. Senyuman hangat, selalu dia hadirkan pada siapa pun yang bertemu dengannya. Segala duka yang terus menemuinya, tampak tak sedikitpun memengaruhi perjalanannya.
“Don, teman-teman kamu?” ujar Indah pada Dona, menunjuk ke arah pria-pria yang memasuki Liebe Box.
Tanpa jawaban, Dona langsung menyambut di depan pintu.
Indah pun langsung masuk ke dalam ruangan barista. Dia tampak mengamati keakraban Dona bersama pria-pria muda itu.
“Hai, senang sekali melihat kalian kembali ke sini,” sambut Dona. “Iya dong Kak. Kami kan udah janji akan sering-sering ke sini,” sahut Desta. “Mau pesan apa?” Dona meletakkan daftar menu, di hadapan ke tiga pria itu.
Dona lantas memanggil salah satu pelayannya untuk mempersiapkan pesanan yang telah dibuat.
“Oh ya, Rakha kenapa gak ikutan? Aku pengen banget bertemu anak itu.”
Ke tiga-nya tampak saling berpandangan.
“Beberapa hari ini, kami sulit menghubungi Rakha, Kak,” sambung Ade.
“Emangnya ada masalah?” lanjut Dona.
“Aku, kemarin bertemu dengan Alexa. Dia cerita kondisi Rakha yang kembali tidak stabil akhir-akhir ini. Dia kembali mabuk-mabukkan, Kak.”
“Alexa? Aku kayaknya kenal dengan nama itu,” pikir Dona.
“Dia salah satu mahasiswa yang aktif di HMI saat itu, Kak. Tapi memang pergaulannya berbeda, jadi tidak banyak ngumpul dengan kita,” sahut Benny.
“Ada hubungan apa, dia dengan Rakha?” tanya Dona, lagi.
“Mereka sempat bertunangan setelah tiba di Jakarta, Kak. Perjodohan orang tua. Tapi Rakha membatalkan sebulan sebelum pernikahan,” jelas Ade.
Dona terpaku.
Tanpa disadari, Indah sudah berdiri di belakang Dona bersama minuman yang dipesan sebelumnya. Dia tampak terkejut, mendengar obrolan dengan nama yang begitu dikenalnya.
Indah lantas menyajikan empat minuman di meja, membuat Dona pun tercenung. “Ini, Mbak Indah ya?” tanya Desta. Indah memberikan senyuman hangat sebagai respons.
“Gabung di sini, yuk?” ajak Ade.
Dona menghela napas, tampak kurang nyaman dengan kehadiran Indah.
“Terima kasih.” Indah benar-benar duduk di samping Dona. “Kok bisa kenal nama saya?” tanya Indah.
“Kak Dona yang ngomong, saat kami datang pertama kali. Kayaknya giliran kami yang ngenalin diri. Aku, Ade, ini Desta, dan Benny.”
“Salam kenal semuanya,” sahut Indah, ramah. “Kalau gak salah, waktu pertama ke sini, ber-empat ya?” sambung Indah.
Dona menghela napas.
“Iya, kami ber-empat saat itu. Rekan kami, Rakha, namanya,” ujar Benny.
“Rakha? Rakha Langit Ahmad?” tebak Indah. “Mbak Indah kenal dengan Rakha?” tanya Desta, penasaran.
“Ya, iya, kenal,” jawab Indah, ragu. “Pantasan saat kita datang kemarin itu, Rakha terus saja menatap ke arah Mbak Indah,” jelas Benny.
Giliran Indah, terpaku.
Dia menoleh ke arah Dona, yang menunduk. Obrolan akhirnya dilanjutkan dengan topik lain. Indah tampak sudah menyatu dengan rekan-rekan Dona itu.
Banyak obrolan yang tercipta, mulai dari hobby yang sama, asal daerah yang sama, dan berbagai obrolan yang lain. Namun, sikap berbeda ditunjukkan Dona.
Tak terasa dua jam berlalu, ke tiga pria itu meninggalkan Liebe Box.