Aditya kembali ke rumah sakit. Suasana penuh haru masih saja belum beranjak.
“Mbak Indah?” Aditya terkejut, mendapati Indah sendiri di ruang tunggu.
Indah tersenyum.
“Sendiri?”
“Iya, Pak. Dona izin balik, mengantarkan putrinya ke sekolah. Agak siang baru kembali ke sini.”
Aditya terpaku. Wajahnya kembali diliputi keharuan.
Bagaimana bisa, wanita yang paling disakiti olehnya, justru yang masih setia menemaninya?
“Biar saya saja yang menjaga Rakha. Mbak Indah balik dulu, istirahat.”
“Gak apa-apa Pak. Saya juga masih cuti, jadi gak ada kegiatan.”
Bagaimana dia bisa sesantai ini?
“Ada perkembangan tentang kondisi Rakha?”
“Lagi menunggu pak Rakha dipindahkan ke ruang perawatan, Pak.”
“Siapa yang ngurus administrasinya?”
“Sudah saya urus, Pak,” jawab Indah, bersama senyumannya.
Aditya kembali menghela napas. Dia justru merasa sangat tertekan dengan kehadiran Indah. Entah kalimat apa, yang bisa dia utarakan menyikapi sikap biasa Indah.
“Mbak Indah orang tulus Mas, penuh kasih sayang. Saya menjadi bukti, bagaimana dia bisa hadir untuk siapa pun. Saya bukan adiknya, saya bukan keluarganya. Tapi seluruh perhatiannya, tak berbatas, untuk saya dan ibu.”
Aditya teringat kalimat Asti. Kini, dia akhirnya meyakini, semua ucapan Asti adalah kebenaran.
Seorang perawat tampak mendekat. “Pak Rakha siap untuk dipindahkan.”
“Baik, Sus,” sahut Aditya. Dia bersama Indah seketika berdiri, dan mendorong brankar Rakha, saat perawat sudah mengeluarkannya dari ICU.
Dia belum sadarkan diri, batin Indah. Tatapannya begitu sendu. Sosok yang selalu menyakiti, tampak begitu tak berdaya di hadapannya.
Kondisi Rakha masih terlihat lemah. Dia masih menyatu dengan mimpi. Indah dan Aditya tampak berdiri di samping tempat tidurnya.
“Aku benar-benar terluka melihat kondisinya seperti ini. Tapi, aku sangat berterima kasih, karena Mbak Indah bersedia mendonorkan darah. Jika saja aku bisa mewakili, aku minta maaf atas semua kesalahan Rakha selama ini. Dia sebenarnya baik, tulus. Tapi memang kondisi psikisnya buruk,” ucap Aditya, suaranya bergetar. Tatapannya tidak bergerak dari Rakha yang masih terbaring.
“Semua sudah saya lupakan Pak. Masa lalu hanyalah memori yang seharusnya sudah tidak ada kaitannya dengan hari ini. Dan bantuan saya, memang sudah sepantasnya saya berikan, atas dasar kemanusiaan.”
Aditya tersenyum.
“Kasihan dia. Saya mengenalnya sejak remaja. Saya merasakan penderitaannya, kepedihannya. Bagaimana dia menghabiskan waktunya sendiri, menyakiti dirinya dengan minum alkohol sepanjang waktu. Saya menyesali, mengapa mengenalkannya pada alkohol. Sayalah yang paling bersalah. Dia hidup sendiri, tanpa kasih sayang.”
Indah terpaku. Suasana hatinya kembali buruk. “Kita bisa ngobrol di luar?” pinta Aditya.
“Baik, Pak.”
Keduanya meninggalkan kamar perawatan Rakha.
“Begini Mbak Indah. Rakha sudah dinonaktifkan dari TEM.”
Indah lagi-lagi dibuat terkejut.
“TEM sudah menunjuk Direktur Utama baru. Saya bingung, apa yang harus saya lakukan jika Rakha sadar.”
“Apakah hubungan Rakha dengan orang tuanya kurang baik, Pak? Karena kehadiran keluargalah yang paling dibutuhkan di saat-saat terburuk.”
Aditya menggangguk. “Hubungan dia dan ibunya buruk. Rakha selalu keberatan, jika ibunya ada di dekatnya.”
“Ayah beliau?”
“Sudah dengan keluarga barunya.”
Kembali, Indah tercengang.
“Ibunya sibuk dengan bisnisnya, akhirnya Rakha terbiasa dengan kesendirian. Dia akhirnya tidak menerima kehadiran siapa pun. Dia asing akan kasih sayang, karena ibu dan ayahnya berpisah saat dia beranjak remaja.”
Jiwa Indah benar-benar terguncang. Dia yang di usia dewasa kini, baru merasakan sesaknya kesendirian, sedangkan Rakha sudah tersiksa dengan kesendiriannya begitu lama.
Suasana berlanjut hening.
Entah bagaimana menggambarkan suasana duka yang tak kunjung berakhir. Kehidupan Rakha seketika menghadirkan kesedihan bagi orang di sekitarnya. Penderitaannya menjalani hari, lingkungan yang tidak mendukungnya, telah menjadi cerita pilu yang tidak ada habisnya.