Suasana berlanjut hening setelah kepergian Tyas. Asti masih menunggu penjelasan Aditya, atas apa yang baru saja terjadi.
“Kamu yakin, akan memenuhi undangan mbak Tyas?” Aditya bangkit dari kebisuannya.
“Sebenarnya saya masih bingung, Mas. Sedari tadi semuanya berjalan seperti adegan yang sangat asing di benak saya. Mas Aditya juga belum pernah bercerita sedikit pun tentang mbak Tyas dan orangtua Mas Aditya. Mas kenalkan saya sebagai calon istri, sedangkan saya sama sekali tidak mengenal keluarga Mas Aditya.
“Kemudian, saya baru tahu juga, Mas Aditya tidak tinggal bersama orangtua. Terlalu banyak cerita yang sangat asing untuk saya, Mas. Apakah Mas Aditya berkenan memberikan saya kebenarannya?” pinta Asti.
“Aku mohon maaf. Aku baru sadar, aku bersikap sangat egosi selama ini. Kamu selalu terbuka tentang keluarga kamu, sedangkan aku sebaliknya,” ujar Aditya. “Oke berarti waktunya sudah tiba. Apakah saya bisa mendengarkan semua ceritanya?” sambung Asti.
“Tentu saja. Aku sangat mencintaimu,” ucap Aditya, kembali bersama senyuman tulus yang sempat menghilang sesaat yang lalu.
Asti berdeham. Pria itu selalu saja bersikap manis di saat-saat tidak tepat.
“Aku sekarang tinggal di apartemen. Satu bangunan dengan apartemen Rakha. Aku meninggalkan rumah sudah setahun lebih.”
“Ada masalah di rumah?” sambung Asti.
“Di rumah, aku sering berdebat dengan mama. Dia selalu saja memberikan kritikan apa saja yang kulakukan. Aku membutuhkan dukungan, tapi dia selalu hadir melemahkan. Aku lelah jika setiap hari harus bertemu dan berdebat tanpa henti. Kasihan papa dan mbak Tyas. Mereka selalu ikut dapat masalah, jika aku dan mama kembali bertemu dalam perdebatan panjang.”
“Jadi alasan itu, Mas Aditya meninggalkan rumah?”
“Iya, seperti itu.”
“Walaupun tidak tinggal bersama, setidaknya Mas Aditya sesekali mengunjungi rumah.”
Aditya membisu.
“Bagaimana saya bisa yakin akan cinta Mas Aditya, jika Mas Aditya memperlakukan orangtua Mas tanpa kasih sayang?”
“Asti, ini berbeda.”
“Tidak Mas. Ketulusan yang sebenarnya, diukur dari cara Mas menyayangi keluarga. Bagaimana bisa cinta untuk orang lain bisa tumbuh, jika Mas tidak tahu caranya mencintai keluarga Mas sendiri.”
Aditya menarik napas. Percakapan yang lagi-lagi membuat persoalan baru.
“Akhir pekan ini, Mas Aditya mulai mengunjungi rumah, ya?”
“Tapi, Asti—"
“Saya akan ikut malam malam, sekaligus kenalan dengan mama dan papa.”
Aditya tersenyum. “Aku makin mencintaimu, Asti Ayuningtyas.”
Asti menjawab dengan senyuman yang sama.
Percakapan yang cukup panjang akhirnya berakhir. Keduanya meninggalkan resto dan melanjutkan perjalanan meninggalkan rumah sakit.
---
Kondisi Big Land perlahan membaik setelah Indah kembali. Bulan-bulan yang sangat berat kini sudah terlewati. Operasional perusahaan kembali normal seperti sediakala.
Sebuah kejutan hadir di pagi ini. Setelah sekian lama bertugas, Farhan kembali ke Big Land.
“Indah,” ucap pria, saat bertemu Indah di lobby, yang tampak akan meninggalkan kantor.
“Pak Farhan?!” Indah tersentak.
“Kamu apa kabar? Setahun gak bertemu, kamu tambah cantik aja,” sambung Farhan, dengan senyuman yang begitu menyebalkan bagi Indah.
Indah pun membuang muka. Tidak berubah! gumam Indah.
“Maaf Pak, saya ada pertemuan,” ujar Indah, yang kemudian berlalu meninggalkan pria itu.
“Pak Farhan?” sapa seorang rekannya.
“Udah balik dari Kalimantan?” sambungnya. “Iya, mulai hari ini saya kembali ke Big Land.”