Suasana sejenak hening. Indah seperti kehabisan kalimat atas ucapan Intan. Ingin rasanya jujur, menolak. Namun lagi, Indah tetap bersama penghormatannya.
“Dua tahun terasa begitu panjang ya, Dik. Kamu tidak berubah,” sambung Intan.
“Bagaimana kabar ibu, Mbak?” sahut Indah.
Argh, kenapa aku malah bertanya tentang ibunya? sesalnya.
“Alhamdulillah beliau cukup sehat. Walaupun setahun ini, beliau sering bolak-balik rumah sakit,” ucap Intan. “Sakit apa, Mbak?”
“Beliau menjalani cuci darah, Dik.”
“Astagfirullah. Saya turut berduka Mbak. Semoga penyembuhan ibu dimudahkan.”
“Amin.”
Kembali, hening.
Indah memesan kembali segelas americano. Obrolan yang panjang, membuatnya membutuhkan lebih dari segelas kopi siang ini.
“Kamu peminum kopi, ya?”
“Iya Mbak.”
“Sejak kapan?”
“Sejak sibuk di perusahaan, saya jadi kecanduan kopi. Kalau gak minum kopi, saya sulit fokus.”
“Kamu jaga kesehatan, ya. Suka gak masalah, tapi apa pun itu jika berlebihan akan jadi kurang baik untuk kesehatan kamu.”
“Iya, Mbak.”
“Dik, apakah pintu itu memang sudah tertutup untuk Rizal?” tanya Intan, kembali fokus.
Indah tercengang. Topik kembali sangat serius, membuat jantungnya berdetak tak karuan.
“Mbak, sebenarnya saya sudah sampaikan kondisi saya saat ini pada kak Rizal. Saya pikir beliau sudah paham,” kata Indah.
“Ini bukan hanya tentang Rizal, Dik. Ini tentang keinginan Mbak, pun, dengan ibu. Sejak kamu dan Rizal tidak lagi menjalin hubungan, ibu yang paling bersedih, Dik. Kondisinya pun saat ini, akibat rasa sakit hatinya pada Rizal. Dia yang paling terluka akan perlakuan Rizal padamu. Ibu yang paling sedih.”
Mata Indah berkaca-kaca. Cerita tentang ibu, selalu menghadirkan suasana mendung di hatinya. Dia yang selalu merindukan dekapan seorang ibu.
“Rizal kini sudah berubah Dik. Dia bukan lagi Rizal yang sama dengan pria yang menyakitimu dua tahun lalu. Dia kini pria yang berbeda, Indah. Mbak sangat berharap, kesempatan itu bisa kamu hadirkan kembali, bukan hanya untuk Rizal, tapi juga untuk kami.”
Pertemuan yang akhirnya menumpuk beban baru di pundak Indah. Kebahagiaan mana yang harus dia pilih. Kebahagiaan siapa yang harus dia prioritaskan. Dia jelas sudah paham, penerimaan keluarganya tentang Rizal, tanggapan sahabatnya, semuanya membenci pria itu. Bagaimana dia akan menghadapi semua orang yang disayanginya itu?
Bukan hanya pertemuan siang tadi yang kembali menjadi beban berat. Pertemuan tak terduganya dengan Rizal semalam, pun, tak bisa lagi dia jauhkan dari pikirannya. Tentang Intan, Rizal, Dona, semuanya masih saja hilir mudik dalam pikiran Indah.
“Indah, saat ini kamu punya teman dekat, atau sudah ada calon suami?”