Saat yang dinanti tiba.
Makan malam Asti bersama orangtua Aditya, akhirnya terwujud. Pertemuan yang tak sepenuhnya berjalan mulus. Hubungan Aditya dan orangtuanya yang belum membaik, juga turut memengaruhi suasana makan malam yang berlalu tanpa banyak obrolan berarti.
Suasana berkendara terasa dingin. Asti diam. Sorot matanya tidak menggambarkan sedikit pun bahagia, meninggalkan kediaman orangtua Aditya.
“Kamu gak apa-apa?” Aditya memecah keheningan. “Aku baik, Mas.”
“Aku mohon maaf, atas sikap dingin orangtuaku. Kondisi hubungan kami sudah seperti itu sejak dahulu. Apa saja yang menjadi pilihanku, selalu direspons seperti itu oleh mereka.” Aditya mencoba meluruskan suasana makan malam tadi yang jauh dari harapannya.
Asti menghela napas. “Aku merasa, akan lebih baik, jika Mas Aditya mencoba memahami keinginan orangtua, Mas.”
“Maksud kamu?”
“Mereka jelas menginginkan Mas bersama orang lain. Bagaimana bisa aku tidak merasa seperti itu, jika di momen yang seharusnya menjadi ruang untukku dan Mas Aditya, orangtua Mas justru membahas wanita lain?”
“Asti, aku tidak pernah punya perasaan pada Sandra. Ibu memang sejak dahulu selalu menjodohkanku, tapi sampai saat ini keputusanku masih sama. Saat ini sampai di masa depan, aku hanya ingin kamu!”
Asti terpaku.
Bagaimanapun Aditya berusaha menjelaskan, kalimat-kalimat penolakan dari orangtua pria yang dicintainya itu, terus melekat tanpa jarak.
“Orangtua kamu bekerja di bisnis apa?” ucap ayah Aditya di makan malam beberapa jam sebelumnya.
“Ayah saya sudah meninggal, Om. Saya hanya tinggal bersama ibu saat ini. Beliau ibu rumah tangga,” kata Asti.
Kedua orangtua Aditya saling berpandangan.
“Oh gitu. Mama kira, orangtua kamu juga punya bisnis seperti kami,” sambung ibunda Aditya, menutup obrolan.
Setelah pembahasan orangtua Asti, kedua orangtua Aditya meninggalkan meja makan. Suasana pertemuan yang sama sekali jauh dari harapan Asti.
Sikap yang diterimanya, dirasakan Asti menjadi pembenar jarak antaranya dan Aditya memang terbentang begitu jauh.
“Asti?” Aditya mendapati wanita di sampingnya, melamun. “Iya.” Asti terjaga.
“Mau singgah?” tanya Aditya, tepat di depan gerbang pasar malam.
Asti menggangguk.
Seperti biasa, keduanya berjalan menuju tempat duduk, tepat di samping komedi putar kesukaan Asti.
Suasana pasar malam terlihat sepi. Jelas, waktu sudah semakin larut, menunjuk pukul sebelas malam.
Aditya kembali mendapati wanita di sampingnya menatap kosong jauh ke depan.
“Asti, kamu kenapa? Kamu tidak bahagia bertemu kedua orangtuaku?”
“Mas, ada baiknya, kita memikirkan kembali hubungan ini!”