Beberapa hari setelah pertemuannya dengan orangtua Aditya, suasana dingin dan penolakan masih dirasakan oleh Asti. Dia tampak merenung di meja makan. Makanan yang sedari tadi hanya ditatapnya.
“Nak,” suara ibu membuat Asti terjaga. “Iya, Bu,” jawab Asti, berusaha menampakkan wajah dengan senyuman.
“Kamu, kenapa? Kok belum selesai juga makannya?”
“Ini, Asti baru mau mulai, Bu.”
Ibu duduk di hadapan Asti. “Kamu ada masalah?”
Asti menatap ibunya. Dia tidak pernah mampu menyembunyikan apa pun dari sosok yang sangat disayanginya.
“Ibu menyukai mas Aditya?” tanya Asti. “Iya, Ibu menyukai anak itu. Dia kelihatan pria yang baik dan bertanggung-jawab. Dia tulus menyayangimu.”
Asti menghela napas. “Tapi, jika orangtuanya tidak merestui kami, Bu?” sambung Asti.
Sejenak, ibu terdiam.
Suara anak-anak berlarian, yang melintas di depan rumah Asti, seketika menjadi pariwara keheningan.
“Ibu mau jujur, Nak.”
Asti meletakkan sendok. Perhatiannya seketika fokus pada ibunya yang bergeser lebih dekat dengannya. “Ibu selalu percaya pada cinta dan ketulusan. Namun, saat pertama kali, kamu mengenalkan nak Aditya, ibu pun sempat ragu, Nak. Banyak pertanyaan dan kekhwatiran Ibu. Apakah orangtua anak itu akan setuju, jika anaknya memilih kamu? Sedangkan status sosial kita dengan mereka sangat berbeda.
“Tapi beberapa kali melihat sikap nak Aditya padamu. Sikap sopan dan hormatnya pada Ibu. Ibu yakin, cintanya bisa membuat segala perbedaan menjadi perekat, bukan lagi penghalang.”
“Tapi, Bu. Apa yang harus Asti lakukan sekarang? Sedangkan ibu mas Aditya sudah menunjukkan dengan sangat jelas ketidaksukaannya pada Asti?”
Belum sempat ibu memberi jawaban, terdengar bunyi ponsel Asti. Tampak sebuah pesan.
Raut wajah Asti kembali menampakkan suasana yang tidak sepenuhnya baik.
“Kenapa, Nak?”
“Ibu mas Aditya meminta bertemu, Bu. Sekarang.”
“Iya, kamu pergi saja. Temui beliau. Ibu yakin, ada hal baik yang akan kamu dapatkan dari pertemuan ini.”
“Tapi Bu….”
“Semua akan baik-baik saja, Nak,” ujar ibu, menenangkan. Setelah diyakinkan oleh ibundanya, Asti pun segera berganti pakaian. Berbagai praduga hadir.
Dia merasa ingin berjuang, namun melihat kenyataan yang begitu sulit, harapan itu perlahan samar.
---
Satu jam kemudian
Asti terlihat lebih tegar dan jauh lebih percaya diri di hadapan Dewi, ibunda Aditya.
“Saya langsung saja. Kamu pasti maksud pertemuan ini.”
“Iya, Tante.”
Asti menunduk. Dia begitu kehilangan keberanian menatap wajah wanita di hadapannya.
“Saya minta, kamu jangan lagi bertemu dengan putra saya!” ucap Dewi, tegas.
“Saya sudah menyampaikan hal ini pada Aditya, Tante. Tapi beliau tetap menemui saya,” jawab Asti, menemukan dirinya. Dia mengangkat muka, dan menatap Dewi, percaya diri.