Dadanya tiba-tiba sesak. Duduk di hadapan Rizal, Indah merasa sulit fokus. Dia takut mendengar kenyataan. “Aku sudah mendapatkan seluruh informasi yang kamu butuhkan,” ujar Rizal memulai percakapan.
Indah menghela napas panjang.
“Dream Mega Mall milik Big Land dan Angkasa Group, lokasi perkampungan bawah yang terbakar tiga puluh tahun lalu, Indah.”
Indah menutup mata. Ucapan Rizal benar-benar kalimat yang tidak ingin didengarnya. Air mata itu tak lagi bisa dibendungnya.
“Indah, kamu baik-baik saja?”
Indah berusaha menenangkan diri. “Kak Rizal lanjutkan saja,” ucap Indah, terbata-bata.
“Konsersium Big Land dan Angkasa Group ditengarai menjadi penyebab kebakaran itu. Namun pengusutan kasusnya tiba-tiba terhenti, tanpa kejelasan di tahun yang sama.”
“Indikasi keterlibatan Big Land di mana, Kak?”
“Tiga bulan sebelum kebakaran itu, seluruh masyarakat melakukan penolakan terbuka atas penawaran pembelian lahan oleh konsersium Menara Langit.”
“Yang lainnya, Kak?”
“Tidak sampai satu tahun kejadian itu, pembangunan Dream Mega Mall dimulai.”
Indah tak lagi menjawab. Lidahnya kaku. Dia sangat tertekan dengan semua kenyataan yang makin jelas di hadapannya.
“Sekarang giliranku bertanya. Ada hubungan apa, kamu dengan perkampungan bawah?” tanya Rizal. “Aku lahir di sana. Dan aku menjadi yatim piatu karena kejadian itu.”
Giliran Rizal yang tercenung. Kebingungan melandanya. “Orangtua? Mbak Desi dan—”
“Mereka orangtua angkatku, Kak.”
Rizal menarik napas panjang. Kenyataan yang sangat mengejutkan.
Setelah pertemuan yang menguras energi, Indah dan Rizal meninggalkan Liebe Box. Mereka menghadiri pernikahan rekan kerja Rizal, yang juga putra rekanan bisnis Big Land.
Dari balkon lantai dua Liebe Box, Dona terus memperhatikan sikap Indah dan Rizal.
“Apakah Indah benar-benar memberikan kesempatan ke dua? Apakah aku salah memberi pertimbangan?” gumam Dona.
Tatapan Dona terhenti pada sosok pria yang melangkah masuk ke dalam Liebe Box. Wanita itu seketika meninggalkan balkon.
“Mas Yusuf…,” ucap Dona, menyambut kedatangan pria berwajah ramah dengan senyuman manis itu. “Sibuk?” tanya Yusuf.
“Seperti biasa aja, Mas. Tumben jam segini gak di kantor?”
“Aku kebetulan lewat sini. Aku ingin menyapa kamu aja,” jelas Yusuf, senyumannya benar-benar memabukkan.
Roman wajah Dona memerah. Pria itu berhasil membuka gembok pertahanan hati Dona.
Yusuf mengambil tempat di meja dekat jendela. Dona mengikuti.
“Don, tadi itu Indah, kan?”
“Mas Yusuf lihat?”
“Iya. Aku seperti mengenal pria yang bersamanya.”
“Rizal?”
“Tepat. Ternyata perkiraanku tidak salah. Rizal Pramana, Eco Technology.”
Dona terpaku. Dia fokus memperhatikan Yusuf, yang tiba-tiba serius membahas perihal Rizal.
---
Suasana pesta pernikahan Alexa dan Edward sangat meriah. Keluarga berkumpul penuh kebahagiaan. Yudi tampak mendekati Rakha yang berdiri disamping ibunya.
“Papa dengar kamu tidak mau kembali ke TEM? Juga gak mau kembali ke Big Land? Gak mau juga ke Angkasa Group. Terus kamu mau ngapaian?!”
Rakha hanya diam. Dia tidak ingin terpancing dan membuat suasana memburuk.
“Rakha, Rakha. Kenapa kamu tidak pernah berubah. Lihatlah Edward. Dia benar-benar membanggakan keluarga.”
“Jadi aku tidak pantas menjadi keluarga Yudi Ahmad Wibawa?” Rakha terjaga. Dia mulai tidak terkendali.
Yudi tidak menjawab.
“Entahlah, Pa. Aku pun tidak pernah meminta untuk lahir di keluarga ini!”