Setiap Momen adalah Kamu

Jane Lestari
Chapter #27

27

Pertemuannya dengan Dewi, terus menjadi beban di hati Asti. Bagaimana dia harus menjauh dari seseorang yang juga sangat dicintainya. Ketika restu menjadi sebuah jarak, haruskah perlawanan menjadi sebuah pilihan. Ataukah bakti menjadi kata terakhir jejak semua cinta.

Pukul lima sore, Asti tiba di rumah. Lebih cepat dari biasanya. Kondisi ibundanya yang beberapa hari ini yang kurang sehat, membuatnya berusaha menyelesaikan semua pekerjaannya lebih cepat.

Saat membuka pintu, Asti tersentak di ambang pintu. Ibunya tergeletak di lantai. Tak jauh dari kamar tidurnya.

Panik!

Asti menjatuhkan semua barang yang dibawanya. Fokus pada kondisi wanita yang sangat disayanginya.

Wajahnya pucat. “Ibu….”

Terus membangunkan sang bunda. Namun tak ada respons. Segera, Asti menelepon taksi. Butuh sekitar sepuluh menit, taksi tiba di halaman rumah.

Sopir taksi sigap membantu Asti memindahkan ibundanya ke dalam mobil bercat biru itu. Tak ada lagi perasaan tenang.

Asti berusaha menahan tangis. Dia sadar, selain kekuatannya, ibunya tidak punya hal lain. Dia harus jauh lebih kuat. Ibunya membutuhkannya.

Tiba di rumah sakit. Segera, ibunda Asti dipindahkan dengan brangkar, didorong oleh dua perawat pria, menuju ruangan bertuliskan UGD. Perasaannya benar-benar tidak tenang. Asti terus bolak-balik di luar ruangan tertutup itu.

Beberapa menit, dokter sudah tampak berjalan menuju Asti. Sebuah harapan, kabar baik, bahwa ibunya akan baik-baik saja.

Setelah menyampaikan beberapa kalimat Dokter meninggalkan Asti yang berdiri terpaku.

Air matanya tak tertahan. Dia terduduk, menutup seluruh wajahnya. Mencoba mencari kekuatan, menghadapi kesedihan yang benar-benar tak terelakkan di hadapannya.

---

Big Land, pukul 21.00

Indah masih tampak sibuk di ruangannya. Dia menatap komputer di hadapannya, membaca beberapa laporan.

Ponselnya berdering. Sebuah senyuman hadir, mendapati sebuah nama yang muncul di layar.

“Nur?” ucap Indah, cukup terkejut menerima telepon dari teman lamanya. “Iya, kamu apa kabar?”

“Baik. Kamu gimana?” tanya Indah, lagi. “Kita skip dulu ya basa-basinya. Ada hal yang lebih penting,” ungkap Nur.

“Ada apa Nur?”

“Kamu kenapa gak ke rumah sakit?” sambung Nur. “Ke rumah sakit?” sahut Indah, heran.

“Bukannya, Asti itu, sekretaris kamu, kan?”

“Iya. Ada apa dengan Asti?”

“Sore tadi, dia datang bersama ibunya. Ibunya tidak sadarkan diri. Saat ini beliau dirawat di ICU.”

“Asti belum ngasih kabar. Aku gak tahu hal ini,” jelas Indah. “Ya, makanya aku hubungi kamu.”

“Makasih banget ya Nur. Aku segera ke rumah sakit.”

“Oke.”

Setelah melanjutkan pembicaraan tentang beberapa hal, percakapan keduanya berakhir. Indah meninggalkan ruangannnya, melangkah cepat dan segera meninggalkan kantornya menuju rumah sakit.

Segera masuk ke dalam mobil, Indah mendapati sosok Aditya yang juga baru turun dari kendaraanya.

“Pak Aditya?” seru Indah. Mendengar panggilan Indah, pria itu berjalan mendekat. “Iya, Mbak?”

“Udah dengar kabar dari Asti?” kata Indah. “Ada apa?” tanya Aditya, mulai khawatir.

“Ibunya tidak sadarkan diri. Sekarang beliau di rumah sakit.”

“Saya belum dengar kabar apa pun, Mbak,” ujar Aditya. “Baik. Saya duluan ke rumah sakit, Pak,” sambung Indah, mengakhiri obrolan.

Dia masuk ke dalam kendaraannya, segera meninggalkan Aditya yang masih berdiri di tempatnya, berpikir.

“Apakah Asti benar-benar menciptakan jarak? Dia sama sekali tidak memberi kabar tentang ibunya,” gumamnya.

Lihat selengkapnya