Liebe Box
Dona terpaku melihat kedatangan Indah. Wajah sahabatnya itu, kini tak banyak senyum. Beratnya langkah, tergambar jelas dalam setiap langkahnya.
Indah duduk di sudut ruangan. Seperti biasa, menatap ke luar jendela, pojok Liebe Box. Membuang pandangan jauh, menyaksikan kendaraan yang lalu lalang tanpa jeda.
Dona mendekat dengan secangkir kopi kesukaan sahabatnya itu. Dona bergabung, duduk di hadapan Indah.
“Gimana acara Asti?” kata Dona, memulai. “Lancar,” sahut Indah, singkat.
Pandangannya masih saja menjauh. Kehadiran Dona, belum juga membuatnya mengalihkan perhatiannya.
“Indah, aku mau ngomong tentang Rizal,” sambung Dona.
“Aku perhatikan, kalian semakin dekat. Apa kamu benar-benar kembali pada pria itu?”
Indah tidak menjawab.
“Beberapa hari lalu, mas Yusuf ke sini. Tepat, saat kamu dan Rizal meninggalkan Liebe Box. Mas Yusuf ternyata mengenal Rizal,” ungkap Dona.
Indah menghela napas panjang. Dia akhirnya mengalihkan pandangannya, menatap Dona lebih dekat.
“Jika kamu hanya ingin membicarakan hal-hal yang tidak penting, lebih baik tinggalkan aku sendiri, Don. Jika kamu ingin membantu,” kata Indah, tatapannya tajam, tak lagi bersahabat.
“Indah, demi kebaikanmu.”
Indah, lagi, menghela napas panjang. Dia tak lagi sanggup untuk menjelaskan kondisinya. Ia tak lagi kuat, membahas sesuatu yang tidak menjadi fokusnya saat ini.
“Aku tidak ingin, kamu telanjur jauh. Aku tidak sanggup membuatmu kembali terluka. Itu tugasku sebagai sahabat kamu,” tegas Dona, tetap lembut.
“Oke. Aku mendengarkan.” Indah mengalah. Akhirnya ia mau membuka diri.
“Indah, Rizal terkena kasus penipuan di kantor lamanya, sebelum pindah ke ET. Bukannya dia sebelumnya sekantor dengan mbak Desi, kan?” tanya Dona, menunggu respons.
Indah mengangkat dagu, menatap tajam, terlihat menahan amarah.
“Aku tidak mengerti. Kamu dan mbak Desi begitu dendam dengan kak Rizal, ya. Sampai segitunya mencari cela, untuk menjatuhkannya di hadapanku?!” ujar Indah.
“Indah, kamu kok berpikir sedangkal itu? Tidak bisakah kamu membuka diri sedikit menerima kenyataan yang ada? Kami ini menyayangimu. Kami tidak ingin membuatmu tertipu, lagi dan lagi!” Dona pun tak lagi dalam kendali.
Indah kembali mengalihkan pandangannya.
“Apa pun yang terjadi, itu semua masa lalu. Yang aku tahu, saat ini, kak Rizal banyak membantuku, Don. Cukup untukku menerimanya, karena hari ini.” Indah terus membela Rizal.
Dona kehilangan harapan. Pembahasan tentag Rizal, kini tak lagi ada artinya. Pria itu benar-benar telah sukses membutakan Indah dengan sikap manisnya.
Dalam keheningan, Dona dikejutkan dengan kehadiran pria yang sangat tidak diinginkannya saat ini.
“Kamu janjian dengan Rizal?” tanya Dona. “Iya,” jawab Indah.
Dona menggeleng. Tanpa kata, dia meninggalkan Indah, tepat, saat Rizal mendekat.
“Udah lama?” tanya Rizal, menarik kursi tepat di tempat Dona sebelumnya. “Lumayan,” singkat Indah.
Rizal memanggil pelayan dan memesan secangkir kopi hitam.
“Gimana? Kamu sudah memutuskan?” sambung Rizal. “Keputusanku akan segera aku sampaikan, setelah aku bertemu pak Dimas, besok.”
Di tengah percakapan serius Indah dan Rizal, perhatian Dona belum beranjak dari sahabatnya. Dia menatap Indah dari ruangan barista. Dia terbawa cerita Yusuf tempo hari.