Big Land
Indah datang lebih pagi hari ini. Asti mengambil cuti sepanjang mungkin untuk menjaga ibundanya yang masih tidak sadarkan diri di rumah sakit.
Indah tampak sibuk. Dia menyusun semua dokumen-dokumen penting ke dalam lemari kaca di ruangannya. Mejanya bersih. Dia menatap semua barang-barang yang ada di ruangannya. Matanya berkaca-kaca.
Setelah memastikan ruangannya telah benar-benar rapi, dia memasukkan notebooknya ke dalam tas dan meninggalkan ruangannya.
Langkahnya terlihat menuju ruangan Direktur Utama.
Suasana yang tercipta tak lagi sama. Jika biasanya komunikasi di antara keduanya begitu cair dan hangat, kini berganti suasana mencekam.
Dimas yang selalu tampak berwibawa dan penuh kasih sayang pada Indah, kini menampakkan kegelisahan dan ketidakpercayaan diri.
“Saya mohon maaf sebelumnya, Pak, atas kelancangan saya ini. Akhir-akhir ini, saya mendengar begitu banyak cerita, begitu banyak berita, yang membuat saya semakin tidak mengerti tempat saya berpijak saat ini.
“Tanpa mengurangi hormat saya. Dengan tetap mengedepankan praduga tak bersalah, saya hanya ingin mendengar kebenaran itu. Saya sulit menemukan fakta saat semua informasi, hanya saya dapatkan dari mereka yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa pembangunan Dream Mega Mall,” tutur Indah, matanya menahan tangis.
Rasa hormat dan kedekatan emosional yang selama ini tumbuh dalam kebersamaannya dengan Dimas, seakan membuat lidahnya begitu berat menyatakan isi hatinya.
Dimas menarik napas panjang. Mengembuskannya dengan kuat, berusaha menenangkan diri saat semua tabir kejadian masa lalu, harus benar-benar terungkap saat ini.
“Baik Indah…,” tuturnya, terdengar berat.
“Pada pembangunan Dream Mega Mall, saya menjabat pimpinan proyek. Salah satu proyek terbesar kami di tahun 1991. Proyek yang melibatkan beberapa perusahaan. Kami tergabung dalam konsersium Menara Langit.”
Dimas mengambil jeda. Kembali menatap Indah, nanar.
“Perusahaan yang tergabung saat itu, Big Land, Angkasa Group dan beberapa perusahaan lainnya. Namun dalam pembangunannya terjadi musibah yang juga kami tidak inginkan,” sambung Dimas.
“Tidak diinginkan? Sedangkan korban jiwa nyaris seluruh penduduk kampung bawah?” sela Indah. Nada suaranya mulai meninggi.
“Izinkan saya menjelaskan…,” pinta Dimas.
Indah kembali diam.
“Kejadian kebakaran perkampungan bawah, tidak disengaja.”
Dimas kembali mengambil jeda.
Kemudian melanjutkan, “Ya, saat itu, Menara Langit sulit mendapatkan izin dari seluruh penduduk kampung bawah untuk melepas tanahnya sebagai lahan Dream Mega Mall. Tapi kami tidak pernah merencanakan melakukan pembakaran untuk menyelesaikannya.
"Saat melakukan beberapa instalasi pada pondasi awal bangunan di lahan yang sudah kami kuasai, terjadi gangguan jaringan listrik yang menyebabkan salah satu mesin kami meledak.”
Indah menghela napas panjang.
“Ceritanya mengapa terdengar begitu berbeda dengan rumor yang berkembang Pak?” ujar Indah, kebingungan.
“Ya terkadang yang menarik untuk menjadi bahan berita adalah hal-hal di luar konteks. Tapi itulah kenyataannya. Penyebab utama kebakaran yang melanda perkampungan bawah. Benar-benar kejadian itu, di luar kendali kami.”
Hening.
“Bagaimanapun peristiwa ini terjadi, orangtua saya dan ratusan anak lainnya, juga kehilangan orangtua. Saya tidak percaya, saya bekerja pada orang-orang yang membunuh orangtua saya!” ungkap Indah, suaranya bergetar.
“Indah, kami benar-benar sangat menyesali peristiwa itu.”