Rumah Sakit
Suasana hening masih menghiasi kamar ibunda Asti. Tampak Asti mulai terjaga, matanya terbuka, perlahan. Aditya menunggu sesaat. Sampai sang istri benar-benar sadar.
“Mas, masih di sini?” tanya Asti, mendapati suaminya masih ada di dekatnya.
“Aku menunggu sampai kamu bangun dulu,” ucapnya, bersama senyuman penuh cinta.
Asti memeluk sang suami. Perlahan kedukaan akan kondisi ibunya yang belum membaik, tergantikan dengan kehadiran pria yang begitu mencintainya.
“Sayang, aku ke rumah mama dulu, ya. Gak apa-apa, kan?” tanya Aditya, setelah mendapati Asti sudah terbangun dari tidur singkatnya.
“Iya, Mas.”
Lagi, Aditya mengecup mesra puncak kepala sang istri. Kasih sayang itu, sangat nyata.
“Aku sangat mencintaimu. Aku akan melakukan apa pun demi kebahagianmu dan ibu,” kata Aditya, mengenggam tangan istrinya.
Asti melepas tangannya, dan memegang ke dua pipi sang suami.
“Aku pun, sangat mencintaimu. Terima kasih sudah hadir untukku dan ibu,” ujar Asti, penuh kelembutan. Cinta begitu terasa indah. Dari setiap tatapan yang penuh kehangatan yang hadir dari keduanya. Giliran Asti, mencium dengan lembut kening sang suami.
Aditya mencium punggung tangan istrinya. Kemudian melakukan hal yang sama pada mertuanya yang masih terlelap.
“Segera kabari aku, jika ada perubahan kondisi ibu,” ucap Aditya, kembali mengecup tangan sang istri.
“Iya, Mas.” Asti melepas Aditya dengan senyuman penuh kasih.
Aditya meninggalkan rumah sakit.
Beberapa menit, Asti menatap lebih dekat ibundanya. Dia membelai lembut pipi sang bunda. Membelai kepala dan mengecup kening wanita yang sangat disayanginya.
“Ibu, kenapa selalu cantik, ya? Asti pengen banget punya kulit wajah sekencang dan semulus kulit Ibu.” Asti berbicara seperti biasa. Dia yakin bahwa ibunya akan mendengar semua apa yang diucapkannya.
Mencoba tegar, tetap saja, Asti kembali mendapati dirinya tak bisa terus baik-baik saja. Tembok pertahanan yang sekuat tenaga ia bangun, akhirnya runtuh.
Air matanya mengalir deras. Segala pikiran buruk menguasai pikirannya. Dia tidak sanggup menahan diri, untuk tidak terbawa perasaan sakit, jika ibunya tak lagi bangun dan mengucap sepatah kata pun.
Kesendirian, kembali mendatangkan duka yang begitu dalam. Kesedihan terasa begitu menyayat hatinya.
“Asti,” suara Indah, akhirnya memecah hening. Indah mendekat dan memberikan pelukan menguatkan.
“Ingat, ibu akan sedih, jika kamu seperti ini. Cobalah kuat demi ibu, ya.” Kalimat Indah, justru mendatangkan pahit yang lebih dalam. Asti benar-benar tak lagi bisa menahan dukanya. Napasnya terputus-putus oleh kesedihan dan tangis yang sangat menyiksa.
---
Kediaman Aditya
Kembali, suasana pertemuan keluarga menjadi neraka. Tamparan berulang kali diterima Aditya. Sedangkan pria itu terus terpaku, tanpa berusaha menghindar atau mencegah kemarahan ibundanya.
Tyas hanya bisa menangis tanpa suara, di pojok ruangan itu.
“Apakah kamu benar-benar tidak lagi peduli pada keluarga ini. Betapa kamu mempermalukan Mama dan Papa. Kamu bangga, melemparkan kotoran pada wajah orangtuamu sendiri?!” ucap Dewi, tak bisa mengendalikan amarahnya.
“Apa yang kamu lihat dari wanita itu. Dia tidak lebih dari wanita matre yang hanya mengincar hartamu—"
“Stop, Ma!” Aditya mengangkat muka dan menghentikan kalimat tidak pantas ibunya.
“Asti saat ini adalah istriku, sah! Mama tidak punya hak mengatakan hal buruk tentangnya!” kata Aditya, berusaha tetap bersikap baik. Berusaha menahan emosi.
Dewi menyeringai. Dia benar-benar tidak mengenali putranya, lagi.
“Apa yang kamu lihat dari anak itu? Keluarga tidak jelas! Tampang, biasa-biasa saja. Sandra jauh lebih cantik berkali-kali lipat dari wanita itu!”
“Please, Ma. Jangan lagi mengatakan kalimat buruk itu. Aku masih sangat menghargai, Mama.”
“Ceraikan dia! Atau kamu tidak lagi diterima di keluarga ini!” ungkap Dewi, dikuasai amarah.
“Tidak, Ma.”
Plakkk
Lagi, tamparan keras mendapat di pipi kanan Aditya.
“Pergi dari rumah ini! Jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi!”
Tak ada lagi kasih sayang. Semua kalimat Dewi tak lagi menggambarkan ketulusan seorang ibu.