Setiap Momen adalah Kamu

Jane Lestari
Chapter #31

31

Dona tampak hadir di kediaman Asti. Dia turut menguatkan Asti. Saat Asti kehilangan seluruh kekuatannya. Dia hanya terduduk terus dalam pengawasan Indah.

“Adikku, apakah kamu tidak ingin memberikan penghormatan terakhir pada ibu dengan senyuman terbaikmu? Ibu sudah beristirahat sekarang. Ibu akan hidup di tempat terbaik di sisi-Nya. Ibu ingin melihat senyumanmu, melepasnya, Dik,” tutur Indah, lembut, membelai kepala Asti.

Asti menguatkan diri, menghela napas panjang. “Iya, Mbak.”

Dia mencoba berdiri perlahan dengan sisa tenaganya. Dia mengecup kening sang bunda.

Ibu yang menjadi tujuan hidupnya. Wanita kuat yang terus bersamanya dalam berbagai ujian hidup. Wanita yang selalu menguatkan dan terus bersama senyumannya, bahkan di akhir hayatnya.

“Asti sangat mencintai ibu. Asti b-bahagia…. I-ibu sudah beristirahat, sekarang. Asti percaya, Allah telah menyiapkan tempat terbaik untuk I-ibu, di surga-Nya….

Dona dan Indah juga tak mampu menahan tangisnya.

Dari pintu, terdengar suara putaran roda. Beberapa orang yang hadir di ruangan itu, serentak berbalik menoleh ke sumber suara.

“Aditya?!” Indah tersentak. Dia kembali mengalihkan pandangannya pada Asti. Namun wanita itu, benar-benar hanya fokus pada kesedihannya. Sejak pagi tadi, dia sama sekali tidak pernah menyinggung keberadaan suaminya.

Tangisan pecah. Air mata pria itu mengalir dengan derasnya. Menyaksikan kesedihan mendalam sang istri yang terekam jelas dalam sorot matanya.

Asti akhirnya menyadari kehadiran Aditya, Rakha dan Tyas. “Mas,” ujarnya.

“Ada apa?” Lidahnya terdengar kelu, tak ada kekuatan sedikit pun. Kejutan mendapati suaminya dalam kondisi tidak baik, semakin membuatnya kehilangan kekuatannya.

Rakha mendorong kursi roda Aditya lebih mendekat pada Asti. Bersama sisa kekuatan, Asti menguatkan diri, berdiri dan memeluk suaminya.

“Mas, I-ibu…,” ucap Asti. Suaranya begitu menyesakkan. Aditya mengusap bulir-bulir air yang masih belum kering di bawah mata sang istri.

“Maafkan, Mas. Sayang….” Aditya menyesali kondisinya sendiri. Dia melepaskan pelukan Asti. Menghapus air mata yang masih saja membasahi pipi wanitanya.

“Ibu sudah beristirahat, Sayang. Kamu kuat, ya,” lagi Aditya berusaha menguatkan walaupun dia pun tak sanggup menutupi perih hatinya. Saat istrinya membutuhkannya, dia malah terjebak dalam kursi roda yang membatasinya.

Setelah beberapa persiapan, jenazah ibunda Asti diberangkatkan menuju pemakaman. Tujuan semua kehidupan. Tujuan yang paling pasti dan selalu setia menunggu kedatangan tamunya.

Pemakaman berlangsung dipenuhi duka. Hadir rekan-rekan kerja Asti dari Big Land. Dia hanya memiliki sang bunda. Dia merasa kehilangan seluruh hidupnya.

“Dit, kamu harus kembali ke rumah sakit,” ujar Tyas, mengingatkan.

Tampak ke dua kaki pria itu masih terbalut perban tebal. Jelas, kondisinya masih membutuhkan perawatan.

“Tapi, Mbak—"

“Kamu ingin membuat Asti semakin sedih dengan kondisi kamu seperti ini?” sambung Tyas.

Aditya menghela napas, lagi. Dia menatap Asti yang masih dalam pelukan Indah.

Tiba di rumah, kondisi Asti masih tidak stabil.

“Bagaimana aku bisa meninggalkannya dengan kondisi ini, Mbak?” Aditya masih berusaha meyakinkan Tyas untuk bisa tetap tinggal menemani Asti.

“Apa yang bisa kamu lakukan dengan kondisi ini?!” Kalimat Tyas menohok.

Dia mulai sewot dengan Aditya yang tidak mau menuruti perintahnya.

Aditya terpaku. Kalimat Tyas seketika menghempaskan harapannya tetap tinggal menemani istrinya.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Asti menoleh ke arah suaminya. Jeda beberapa jam, Asti mulai menemukan penerimaan dan ketegaran.

Asti berlutut di depan Aditya. Menggenggam tangan suaminya. Mencium punggung tangannya.

“Aku sudah lebih kuat, Mas. Kembali ke rumah sakit, ya. Aku akan menemanimu.” Kalimat-kalimat yang begitu mendamaikan dari seseorang yang baru saja kehilangan cahaya hidupnya.

Lihat selengkapnya