Beberapa hari setelah meninggalkan Big Land, Indah kembali menghabiskan banyak waktunya di Liebe Box. Dona yang mendapati sahabatnya itu hanya banyak diam, tak bisa banyak bicara.
“Semalam, kamu jadi makan malam di rumah Rizal?” ucap Dona, mendekati Indah di balkon.
“Iya.”
“Kamu sempat ke rumah Rizal tapi gak ke rumah nengok ibu?!” ketus Dona.
Indah tidak merespons.
“Aku tidak yakin, kamu mau mendengarkan ini. Tapi, sebagai sahabat, aku merasa, kamu bukan lagi Indah yang kukenal.”
Indah tersentak. Dia menoleh dengan tatapan serius pada Dona.
“Aku mengagumi kasih sayangmu pada keluarga. Tapi ternyata, pandanganku, keliru!”
Indah bergeming.
“Indah. Tidakkah kamu coba melihat dari sudut pandang yang berbeda dan lebih luas. Semua tentang masa lalumu?”
Lagi, tidak ada jawaban.
“Kamu bisa bertahan dan tumbuh baik, sempurna dengan segala pencapaianmu hari ini, karena siapa? Itu karena, bapak, ibu, keluarga mbak Desi. Demikian mudah, kamu mengabaikan semua itu?”
Seperti petir yang menyambar. Tatapan tajam itu berubah berkaca-kaca.
“Kamu ingat, kamu bukan siapa-siapa tanpa bapak dan ibu. Pun, mbak Desi yang bertahun-tahun terus mendukung dan mendampingi seluruh perjalananmu. Aku marah, dan benci dengan sikapmu yang tidak tau diri ini!” Dona tak terkendali. Emosinya tersulut atas sikap tak dewasa yang ditunjukkan sahabatnya itu.
Indah masih terpaku. Pandangannya terbang jauh.
Jelas, dia sedang tidak baik-baik saja. Beban di pundaknya terasa kian menenggelamkannya dalam kegamangan akan kehidupannya.
“Apa artinya masa lalu? Kita berada di hari ini. Tujuannya ya untuk hari esok. Mana mungkin dengan alasan masa lalu, kamu menyakiti mereka yang terus hadir bersamamu sampai hari ini? Sepahit apa pun perjalanan dari masa lalu, itu bagian dari takdir, Indah. Semua demi kebaikan dan kebahagiaanmu!”
Dona mendapatkan panggung dengan kediaman Indah. Tak biasanya, sahabatnya itu mau mendengarkan tanpa menyela.
Hening.
Melihat Indah terus bersama perasaannya sendiri, Dona memutuskan meninggalkannya sendiri di lantai dua Liebe Box.
Dona turun ke lantai satu, ikut menyatu dengan para karyawannya yang sibuk dengan customer yang cukup banyak pagi ini.
Gaya hidup masa kini. Pagi hari para karyawan menyempatkan membeli berbagai minuman hangat sebelum ke kantor.
Senyum Dona terbit mendapati sosok pria manis dan selalu menghadirkan kenyamanan dengan kehadirannya.
Menikah? Apakah aku benar-benar siap menghabiskan sisa hidupku, bersamanya? guman Dona, sambil melangkah mendekat ke Yusuf.
“Tumben, pagi banget sudah ke sini, Mas?” sambut Dona, menarik kursi, mempersilakan pria itu, duduk.
Yusuf tidak menjawab. Dia menarik selembar dokumen dari dalam tas ransel yang dibawanya.
“Apa ini?” Dona penasaran, langsung mengambil tempat di samping Yusuf.
“Rumah impian dengan halaman luas, depan dan belakang. Sesuai impianmu,” ucap Yusuf, senyumannya melebar.
Dona terkesiap. Dona menarik pandangannya. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Maksudnya?” Dona menelisik, mengangkat alis.
“Aku tidak perlu menunggu jawabanmu, untuk mempersiapkan semua yang kamu impikan, Don.”