Indah berdiri membatu. Wajahnya tak sanggup memandang pria yang terlihat begitu lemah di hadapannya.
“Masuk, Indah,” pinta Dimas. Dimas lantas duduk di sofa, diikuti Indah dan Adrian.
“Adrian sudah cerita beberapa hari yang lalu, bahwa kamu datang mencari saya. Tapi, seperti yang Adrian sudah sampaikan, saya lagi berduka. Hidup saya kehilangan gairah sejak ibu pergi untuk selama-lamanya,” lanjut Dimas, matanya berkaca-kaca.
Ingatan tentang sang istri kembali membawa keharuan yang tak berjeda. Kasih sayangnya yang utuh, tampak dari roman wajah dan matanya yang tak kunjung melahirkan cahaya, seperti yang biasa bersamanya.
Indah tak lagi bisa menahan diri. Air matanya kembali mengalir, pelan. Napasnya sesak. Serasa seluruh ruang dalam dadanya tertutup tanpa cela.
“P-pak, saya turut berduka cita….” Perasaan Indah berkecamuk duka. Dia tidak mampu mengangkat wajahnya. Dia terus menunduk, tak berani menatap Dimas.
“Iya. Inilah kehidupan. Setiap pertemuan, hanya menunggu adanya perpisahan. Seperti itulah juga untuk Big Land saat ini. Yang membuat saya begitu sedih dan khawatir, saya belum bisa menemukan seseorang yang bisa menjaga Big Land setelah keputusan pensiun saya.”
Suara Dimas terdengar berat. Terasa beban di pundaknya, yang enggan berkesudahan.
“Saya sudah membicarakan hal ini, juga dengan Mbak Indah beberapa hari yang lalu,” sebut Adrian.
“Saya tidak ingin membahasanya lagi. Saya tidak ingin, Indah merasa tertekan dengan pembahasan ini nantinya. Dia berhak menentukan rumah yang nyaman untuk masa depannya. Saya hanya berharap, di waktu yang tersisa, yang tak banyak ini, saya bisa mendapatkan sosok yang setara dengan Indah Efrina,” jelas Dimas.
Indah masih dalam kediamannya. Air mata itu kembali menari-nari di pipinya.
“Yang perlu Indah tahu, Big Land akan selalu jadi rumah yang merindukannya. Seluruh karyawan Big Land sangat mencintainya,” sambung Dimas.
“Baiklah, ada yang bisa kami bantu, Indah?” tanya Dimas, menyadari Indah belum menyampaikan satu kalimat pun terkait kedatangannya.
Adrian mendapati Indah masih diam. Akhirnya pria itu yang menjawab, “Indah meminta izin, bisa kembali ke Big Land,” katanya.
Dimas tersenyum lebar. Mata yang sebelumnya hanya becermin duka, berganti cahaya penuh kebahagiaan.
“Kami sangat bahagia menerimamu, Indah Efrina,” ungkap Dimas. Matanya berkaca-kaca, sangat terharu.
“Kepergian ibu meninggalkan kesedihan yang mendalam untuk saya. Ditambah kepergianmu dari Big Land. Saya seketika kehilangan harapan, semuanya. Saya dan ibu, sudah menganggap Indah seperti anak kami sendiri. Kebahagiaan Indah, juga menjadi kebahagiaan kami….” Kesedihan, kembali hadir dalam setiap kata-kata Dimas.
“Saya mohon maaf Pak. Semoga ibu tenang dalam peristirahatannya. Saya berjanji, akan memberikan yang terbaik. Segalanya dari diri saya untuk Big Land,” tutur Indah, kini lebih kuat mengendalikan sesaknya.
Adrian dan Dimas saling menatap, tersenyum.
Lega, akhirnya permasalahan Big Land, menemukan solusi terbaik. Kehadiran Indah, jelas, akan mengembalikan kejayaan Big Land.
“Ternyata ucapan Rakha, benar. Dia begitu yakin, Indah akan kembali pada kita,” ucap Dimas, setelah Indah meninggalkan ruangan.
“Rakha pernah memprediksi ini?” tanya Adrian. “Iya, dan dia sangat yakin,” sambung Dimas.
“Jika saja, Rakha bersedia kembali. Duet mereka akan menghentak industri ini. Big Land jelas akan menempati posisi puncak,” ungkap Adrian.
“Iya pasti. Tapi Rakha sudah memutuskan berpisah dengan perusahaan. Dia akan fokus pada Langit Motor, yang memang sesuai dengan passionnya.”
“Anak itu benar-benar berubah.”
“Iya,” ucap Dimas, mengakhiri pembicaan.
Mereka pun menyusul Indah. Berkumpul di ruangan meeting.
Hari pertama kembalinya Indah ke Big Land, diisi dengan pertemuan dengan seluruh karyawan beserta anggota Direksi.
Hari yang sama, Dimas Aryaguna resmi meninggalkan perusahaan sekaligus penunjukkan Indah Efrina sebagai Chief Executive Officer Big Land. Jabatan paling bergensi yang menjadi idaman seluruh eksekutif muda.
“Bu…,” kata pertama Asti, mendapati sosok Indah berdiri di hadapannya. Air matanya tumpah dalam pelukan Indah.
Sangat bahagia, kembali menemukan Indah, sosok yang sangat disayanginya ada di Big Land.
“Cutinya sudah selesai?” tanya Indah. “Sudah, Bu,” jawab Asti, matanya masih berselimutkan keharuan.
“Gimana kabar suami kamu?” sambung Indah. “Sudah jauh lebih sehat, Bu.”
“Saya turut bahagia mendengarnya.”
“Ibu kembali ke Big Land? tanya Asti, penuh harapan. Indah menggangguk.
“Terima kasih, Bu,” ucap Asti, tersenyum bahagia.
“Saya mungkin selanjutnya tidak di ruangan ini lagi,” jelas Indah, menunjuk ruangan Direktur Keuangan.
“Jadi di mana Bu? Apakah saya boleh ikut?”
Indah tertawa. “Jadi Wakil Direktur, mau?”
Asti tercenung. “Jadi Ibu, jadi pengganti pak Dimas?”
“Iya, Asti,” jawab Indah.
Lagi, Asti terharu. Dia sangat bahagia. Sejak dahulu, dia selalu yakin, suatu hari, Indah akan menduduki posisi puncak Big Land.
“Gimana tawaran saya?” sambung Indah. “S-saya, mungkin belum pantas, Bu,” ujar Asti, terbata-bata. Tawaran Indah begitu mengejutkannya.
“Oke. Bulan depan, kamu ikut training eksekutif. Siapkan dirimu. Tapi jangan lupa izin dulu dengan suamimu. Ada izin, baru boleh. Oke Asti?”
Asti terpaku. Lidahnya kaku.
Indah tersenyum dan berlalu.
Big Land menjadi sangat sibuk dengan rapat-rapat yang berlangsung terus seharian. Banyak persoalan yang mendesak, menunggu penyelesaian, segera.