Pukul delapan malam, Aditya ditemani Asti sudah terlihat di apartemen Indah. Berselang tak begitu lama, Rakha pun tampak sudah hadir.
“Terima kasih atas kehadirannya semua, malam ini. Perlu aku perjelas, ini dokumen-dokumen yang harus diselesaikan dalam dua hari ini,” ungkap Indah menunjuk tumpukan proposal proyek yang sedari pagi membebani pikirannya.
Rakha menoleh ke Aditya. “Apakah kamu siap, Bung?” tanyanya.
“Pasti!” sahut Aditya, penuh semangat.
“Tunggu, tunggu,” sela Asti. “Bapak-bapak perlu tahu dulu, informasi apa yang kami butuhkan. Agar hasilnya bisa dipahami lebih mudah dan keputusan yang diambil bisa adil untuk semua.”
“Serius banget sih, Sayang,” goda Aditya, menarik Asti dalam pelukannya.
Rakha dan Indah yang mendapati sikap Aditya, hanya bisa tersenyum, geli.
“Ehm, gak kenal tempat ya,” singgung Rakha.
“Hanya depan kalian berdua. Makanya, segera punya pasangan,” ujar Aditya. Lagi, menggoda Rakha dan Indah.
Rakha menggeleng.
Indah mengalihkan topik pembicaraan. Dia segera membagi dokumen-dokumen itu menjadi empat bagian. Sesuai jumlah personil yang akan melakukan verifikasi. Masing-masing di letakkan di depan Rakha, Aditya, Asti dan di hadapannya sendiri.
“Baik, sebelumnya, sekali lagi aku ucapkan terima kasih banyak atas bantuan ini. Selanjutnya aku akan menjelaskan format yang kami butuhkan. Untuk verifikasi sendiri mengenai kelayakan, aku yakin Rakha dan Aditya sudah ahli dalam hal ini. Kami membutuhkan proposal yang layak menjadi prioritas berdasarkan semua analisis yang sudah disiapkan di halaman depan masing-masing proposal.”
“Siap, Ibu CEO!” kata Aditya, lagi, menggoda Indah.
Wanita itu hanya tersenyum. “Kita bisa mulai?” tanya Indah. “Oke!” ucap yang lainnya, serentak.
Saat Aditya dan Rakha mulai fokus mempelajari seluruh dokumen yang ditugaskan untuk mereka, tampak Asti dan Indah menuju dapur. Mereka menyiapkan makanan ringan dan minuman hangat, untuk menemani kerja berat mereka, malam ini.
“Mbak.” Asti berbisik. Mendekat pada Indah. “Ada apa?”
“Bagaimana pendapat Mbak, tentang pak Rakha?” sambung Asti. Indah tersentak. Tak sadar, sendok yang dipegangnya, terlepas.
Dia menoleh dan menatap Asti, serius. “Ada apa kamu bertanya tentang beliau?”
“Ehm. Aku dan mas Aditya sempat membahas ini. Mbak dan pak Rakha, kan, sekarang hubungannya sudah lebih cair. Malah semakin dekat. Kami berdua sejenak terpikir, bisa gak ya, kalau hubungan mbak dan pak Rakha bisa naik ke level yang lebih dari sekedar teman biasa?” ungkap Asti, sedikit ragu. Dia tidak pernah membahas persoalan pribadi yang terlalu dalam dengan Indah. Namun, untuk yang satu ini, dia berusaha memberanikan diri.
Indah kembali fokus menyeduh teh dan kopi, yang sempat terhenti. Pertanyaan Asti tidak mendapatkan jawaban.
Sikap Indah yang bergeming, dipahami Asti. Dia tidak menuntut jawaban. Dia memberikan waktu untuk Indah mempertimbangkan semua kata-katanya.
“Dit, aku mau ke dapur, ngambil air minum. Kamu mau?” tanya Rakha.
“Boleh,” sahut Aditya.
Rakha berdiri dan melangkah menuju dapur. Dia menoleh dan mendapati beberapa frame foto Indah semasa kecil.
“Ada apa?” suara Indah, membuyarkan lamunan Rakha.
“Ini foto-foto kamu?” tanya Rakha. “Iya. Ini aku, mbak Desi, bapak dan ibu.”
“Kamunya yang mana, ini atau ini?” tanya Rakha sambil menunjuk foto dua anak perempuan berkepang dua.
“Ini, aku,” jelas Indah.
Tatapan Rakha terhenti pada foto kecil Indah. Sepintas sebuah bayangan hadir, membuatnya termangu.
“Rakha?” Indah menyadarkan pria itu. “Iya.”
“Ada apa?”
“Gak apa-apa,” jawab Rakha, berusaha tersenyum. “Aku ke belakang dulu, ya,” ujar Rakha, melanjutkan langkah ke dapur.