Liebe Box
Suasana ramai begitu terasa dari sebuah meja yang dikelilingi empat pria ditambah kehadiran Dona dan Yusuf.
“Benar-benar surprise, kamu meninggalkan posisi bergengsi di perusahaan demi jadi montir!” ujar Beni.
“Tolong ya, kalimatnya dijaga. Dia bukan montir biasa lho. Sekarang dia pemilik bengkel motor terbesar di Jakarta, dengan nilai perusahaan, stabil di posisi paling aman untuk para investor. Luar biasa!” sambung Desta, terus menggoda Rakha yang sedari tadi tidak memberikan respons.
“Selamat ya, Kha,” ucap Yusuf, menambahkan.
Didit menggeleng. “Aku juga tidak menyangka, perjalanamu bisa sedramatis ini, Kha. Seluruh kejutan kamu hadirkan bersamaan. Sampai jantung ini, seperti tidak bisa lagi berdetak normal,” ujar Didit.
Lagi, Rakha hanya tersenyum.
“Kamu tidak menambahkan? Agar aku sekalin menjawab semua?” tanya Rakha pada Ade yang hanya fokus mendengarkan sedari tadi.
“Jika mereka melihat yang kamu dapatkan saat ini, aku justru melihat ketidaksempurnaanmu.” Tawa Ade, pecah.
Namun, rekan-rekannya hanya menatap keheranan. Mereka tampak tidak mengerti kalimat Ade.
Melihat tidak ada respons, Ade melanjutkan kalimatnya. “Aduh, kalian ini. Masa tidak mengerti? Apalah arti kesuksesan seorang pria, jika dia masih jomlo!”
“Ow…,” ucap serentak, rekan-rekannya.
Ade menggeleng. “Jadi, apa jawabanmu?” tanyanya pada Rakha.
Belum sempat Rakha memberikan jawaban, kehadiran Indah memberi kejutan. Tanpa disadari oleh mereka, Indah telah di sana sedari tadi, namun dari jarak yang tidak terlihat, karena banyaknya pengunjung Liebe Box.
Rakha dengan cekatan menarik sebuah kursi dan meletakkan di samping Dona, yang ada di hadapannya.
Lagi, semua yang hadir di sana, menatap bersamaan pada Rakha. Rekan-rekannya saling menatap satu sama lain. Mereka jelas memikirkan hal yang sama.
Dona sumringah. Dia membaca sebuah sikap yang berbeda dari Rakha, pun dengan senyuman yang Indah berikan.
“Tumben, gak ke kantor?” tanya Dona, memulai. “Aku gak apa-apa gabung di sini?” sahut Indah. “Dengan senang hari, Mbak Indah!” jawab Ade, lantang.
Indah tersenyum. “Aku ada meeting dekat sini. Udah selesai,” jawabnya, atas pertanyaan Dona sebelumnya.
Suasana berganti, hening.
“Kok malah diam begini, sih?” tanya Dona. “Pada terpesona ya, dengan CEO Big Land?” sambungnya.
“Aku kehilangan kata. Ingin memuji, tapi pujian apa yang cocok ya?” ujar Beni. “Aku benar-benar kaget. Ternyata wanita yang pernah aku lihat di sini, sekarang adalah CEO perusahaan konstruksi terbesar di Jakarta,” ungkapnya.
Ade, Desta dan Didit, hanya tersenyum. Berada di hadapan Indah, semua mendapati mulut mereka kaku tak bisa berbicara banyak.
Indah hanya tersenyum mendengar berbagai pujian yang hadir untuknya. Sedang Rakha, juga hanya diam tanpa respons sedikit pun.
“Tumben nih, lengkap banget?” lanjut Indah. “Kamu belum tahu?” tanya Dona.
“Rakha yang mengundang hari ini. Langit Motor mendapatkan investor baru dari Jerman,” sambung Dona.
“Keren. Selamat ya Kha,” ucap Indah.
“Wah udah akrab banget nih panggilannya. Perasaan, kemarin masih panggil pak Rakha deh,” tutur Dona. Menatap Indah, serius.
“Wah, wah, ada apa ini?” sambung Didit. Dia menatap Rakha yang tampak mengalihkan matanya.
“Gak apa-apa, Don. Kamu jangan mulai deh. Kami dekat karena urusan Big Land. Rakha saat ini, jadi partnerku dalam struktur baru Big Land.” Indah berusaha menjelaskan.
“Kalau partner hidup, bisa gak?” celetuk Desta. Pria yang sedari tadi diam, seketika mengejutkan dengan satu kalimatnya.
“Des?” tanya Rakha, menggeleng ke arah rekannya itu.
“Iya, bisa aja kan? Aku setuju dengan Desta. Ade, Dona dan Mas Yusuf, setuju, kan?” tutur Didit, menoleh ke semua rekannya.
Dona dan Yusuf, tersenyum dan memberi persetujuan. Demikian juga dengan Ade dan Desta, terus sumringah. Godaannya tampak berhasil membuat Rakha salah tingkah.
Dalam keriuhan pria-pria itu menggoda Rakha, Indah tampak menoleh ke Dona. Sahabatnya itu terlihat memahami tatapan Indah.
“Jawab saja, sesuai keyakinan kamu. Jangan karena kami di sini, akhirnya kamu mengabaikan keinginan hatimu sendiri. Ucapan mereka itu hanya ingin mempertegas. Bukan sesuatu yang wajib mendapatkan persetujuanmu,” bisik Dona.
Indah sejenak terpaku.
“Iya sih, aku baru memikirkan hal ini juga,” tutur Indah. Membuat enam orang disekitarnya tersentak dan terfokus menatap Indah.
Rakha merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Dia tak pernah menyangka, pertemuannya dengan teman-temannya akan berakhir pertemuan dengan Indah dalam suasana seserius ini.
“Kha, nikah yuk?” ucap Indah, menatap serius Rakha yang duduk di hadapannya namun dibatasi oleh meja.
Tatapan enam orang itu terbuka lebar. Pria-pria itu menelan ludah, serentak. Kalimat Indah seperti menghentikan detak jam dinding Liebe Box. Terasa tidak ada kehidupan. Semuanya berubah kaku.
Pria-pria itu lanjut menatap serius Rakha. Mereka tampak menunggu jawaban pria itu.
Dona terus tersenyum. Dia pun tidak menyangka, Indah akan menjadi wanita penuh percaya diri hari ini. Belum lagi, Indah dan Rakha punya masa lalu yang tidak baik.
“Tidak usah dijawab sekarang!” jelas Indah.
“Aduh!” Sikap rekan-rekannya serentak kecewa. Mereka ingin mendengarkan langsung jawaban Rakha, namun kalimat Indah membuyarkan harapan mereka.
Giliran Yusuf yang menatap serius Dona.
Dona yang mendapati tatapan yang begitu dalam, mulai berpikir maksud tatapan itu.
Dona akhirnya mengerti. Dia tersenyum lagi. “Ada yang cemburu, ya?” ucapnya, sambil tersenyum.
Yusuf tidak merespons. Dia masih menatap Dona, menunggu jawaban atas tatapannya yang penuh arti itu.
“Baiklah. Di hadapan saudara-saudaraku ini, bisakah aku ngomong serius, Mas?” tanya Dona.
Yusuf terpaku. Kalimat Dona menghadirkan kekhawatiran, tiba-tiba. “Mas Yusuf….” Dona mengambil jeda. “Mau gak nikah ama aku?”
Suara lima orang lainnya bergema, memancarkan kebahagiaan.
Yusuf menarik napas panjang. Lega, hanya perasaan itu yang kini terasa olehnya. Dua tahun memperjuangkan cintanya, akhirnya hari ini, dia mendapatkan kata ‘iya’ dari Dona.
Pertemuan yang tidak terencana. Membawa banyak kebahagiaan. Namun dilema bagi Rakha. Galau bagi Indah. Sampai pertemuan berakhir, belum ada jawaban pasti untuk Indah atas permintaannya pada Rakha. Pria itu berlalu hanya dengan senyumannya yang tidak memberi arti apa-apa pada Indah.
“Kamu kenapa?” tanya Dona, mendapati Indah kembali termangu menatap langit. Di balkon lantai dua Liebe Box.
“Aku benar-benar sudah gila!” ucap Indah. “Gila kenapa?”
“Aku mengajak nikah, Rakha. Itu jelas sesuatu yang gila!”
Dona tersenyum.
“Jujur, aku begitu terkejut mendapati sosok Indah yang berbeda hari ini. Kejutan, tapi aku juga berbahagia karenanya. Kamu Indahku, kini mampu menyatakan perasaannya. Mampu menentukan pilihannya sendiri. Kamu benar-benar yakin dengan Rakha?”
“Entahlah, Don.”
“Kok, entahlah?”
“Ya itu. Aku merasa aneh, sekarang. Rakha pun tidak menjawab permintaanku. Semakin membuatku berpikir, apakah sikapku ini benar atau sebaliknya?” jelas Indah.
“Indah, tidak mudah menjadi pria seperti Rakha. Aku yakin, siapa pun pria yang berada di posisi Rakha saat ini, akan bersikap sama. Pria mana yang tidak terkejut diinginkan oleh wanita sepertimu?”
“Gak usah berlebihan, Don. Aku mulai jenuh dengan semua pujian-pujian itu. Aku merasa masih wanita yang sama. Wanita yang masih terus belajar dan masih berproses dalam banyak hal.”