SETIAP WAKTU ADALAH KENANGAN

Linda Fadilah
Chapter #2

01. SEULAS SENYUM

2020.

Gedoran pintu kamar beradu dengan suara alarm berpadu menjadi satu, menciptakan irama bising tak menentu. Memekakkan telinga hingga alam bawah sadarku. Aku meregangkan tubuhku sembari menguap lebar, mataku mengerjap berkali-kali dan masih berusaha untuk mengumpulkan sepenuhnya nyawaku yang masih mengawang bebas di alam bawah sadar. Namun, ketukan di balik pintu kamarku tidak manusiawi disertai dengan suara Mama yang tidak kalah bising.

Seperti memperingati kalau sedang ada gempa bumi.

“Teh ... bangun! Udah jam berapa ini?!”

“IYAAAAA!!!” aku menjawab dengan suara serak layaknya seseorang yang baru bangun tidur. Lebih ke nge-bass.

Aku mengucek kedua mataku dan beranjak untuk duduk. Aku menghela napas panjang dan menyikap selimut yang membalut setengah tubuhku. Kakiku yang hangat menjejak lantai yang dingin seolah menjadi perpaduan serasi.

Aku beranjak bangkit, berjalan perlahan menuju jendela kamar yang gordennya masih tertutup rapat namun cahaya pagi sudah mulai menerobos masuk dari sela-sela gorden. Aku menyikap kain itu, dan aku mengernyitkan dahi, merasakan betapa silaunya cahaya pagi bertabrakan dengan kedua bola mataku yang belum beradaptasi.

Aku membuka jendela kamar, hingga semilir angin pagi berembus lembut mengecup kulitku yang hangat. Terasa dingin namun menghangatkan. Aku berbalik badan untuk berjalan menuju pintu kamar, kubuka pintu dan pemandangan pertama kali yang kulihat adalah kedua adikku yang sedang sarapan di depan televisi dan Mama yang sedang sibuk bulak-balik dengan kesibukannya, seolah seperti setrikaan.

Mama menatapku bingung. “Malah bengong di situ. Mau sarapan dulu apa mandi dulu?”

“Mandi,” jawabku singkat dan bergegas melangkah menuju toilet.

Sementara adik-adikku yang sedang sarapan, refleks menoleh menatapku dengan mulut yang penuh dengan makanan.

Sebelum jauh, aku akan memperkenalkan diriku dulu, untuk kamu paham bagaimana kehidupanku.

Namaku Alisa—Alisa Nuramanah—aku biasa dipanggil Ica. Tapi terserah kamu mau memanggil aku apa, senyaman kamu, asalkan selalu ingat aku. Aku kelahiran tahun 1999 dan sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Aku anak ke empat dari enam bersaudara. Tiga kakakku perempuan, satu adikku laki-laki dan adik bontotku perempuan. Jadi, di rumah hanya adikku nomor lima yang paling ganteng karena di kelilingi banyak perempuan. Pokoknya, dia yang paling dimanja deh ketimbang yang lainnya. Tapi aku tidak masalah, toh, Mama selalu menganggap semua anak sama saja di matanya.

Dan juga... aku termasuk ke dalam kategori golongan orang introvert, aku tidak suka keramaian, aku tidak suka banyak orang, aku tidak suka menyapa lebih dulu dan yang aku suka hanya menyendiri. Iya, menyendiri di dalam kamar ditemani secangkir cokelat panas dan camilan, dengan backsound rentikan air hujan seolah menjadi alunan irama pengantar tidur dengan tayangan film drama Korea yang menguras air mata.

Sekitar kurang lebih dua puluh menit, aku selesai mandi dan berpakaian. Aku duduk bergabung dengan adik bontotku—Kekey—yang sedang bersiap-siap untuk sekolah. Sementara adik laki-lakiku sudah berangkat bekerja, namanya Noval—namun panggilannya di rumah Opang—kebetulan dia sudah bekerja di salah satu distributor besar.

Ada roti bakar sandwich tersaji manis di atas meja lengkap dengan satu gelas susu vanila kesukaanku. Aku menyantapnya sambil menonton tayangan televisi SpongeBob yang sedang berjualan cokelat dengan Patrick.

Mungkin kamu berpikir cara serapanku seperti orang bule? Hahaha... mungkin betul juga. Tetapi asal kamu tahu, aku tidak suka nasi. Iya, ini sungguh. Dibilang takut—dulu iya—tapi sekarang tidak. Dalam pandangan dan sugestiku bahwa nasi itu seperti belatung yang menggeliat geli. Bahkan terkadang terlihat seperti pocong yang menyeramkan. Entah, aku pun tidak tahu mengapa persepsiku selalu demikian, tapi itulah yang aku rasai.

“Teh ... aku berangkat dulu,” Kekey menjulurkan tangannya di hadapanku.

“Oh, sama siapa?” kutanya sambil menggamit tangannya dan dia menyalami tanganku.

“Sama ojek.”

“Oh,” aku mengangguk-angguk. “Ya udah hati-hati.”

“Iya.” Dia berlalu pergi dan aku kembali menyantap makananku.

Kulihat Mama masih saja terlihat sibuk sembari menenteng beberapa kotak plastik bening yang berisi kue basah, seperti Putu Ayu, Dadar Gulung dan kue bolu kukus. Mamaku itu single parents setelah ditinggal Bapak sejak aku masih duduk di bangku SMP. Mama harus banting tulang menjadi orang tua tunggal. Menurutku, Mama adalah Strong woman sekaligus Super Hero dalam keluargaku, yang mampu mengambil alih peran Bapak namun tidak pernah terlihat mengeluh atas apa yang dia lakukan dan dia kerjakan.

Sepanjang waktu Mama selalu bisa mengerjakan pekerjaan rumah tanpa ada yang terlewat, tidak lupa juga setiap hari Mama selalu membuat kue untuk kemudian dititip ke warung untuk dijual, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau orang-orang mengidolakan Wonder-Woman sebagai ikon pahlawan wanita, maka untukku, sosok itu adalah Mama.

Oleh dirinya, aku belajar bagaimana cara bertahan dalam gencatan kejamnya dunia. Bagaimana cara bertahan hidup dalam situasi pilihan yang membuat Mama bertahan sendirian untuk menghidupi anak-anaknya. Aku tersadar, bahwasanya aku belum bisa membuat Mama bangga namun dengan itu aku bersemangat tentang hal ini.

Lihat selengkapnya