SETIAP WAKTU ADALAH KENANGAN

Linda Fadilah
Chapter #3

02. GARRA SUJIANTO

Mataku menatap pantulan diriku di cermin, merapikan jilbabku agar terlihat lebih menawan. Begitu juga merapikan pakaianku untuk terlihat lebih menarik. Aku tersenyum di pantulan cermin itu, seolah cuaca cerah pagi itu berhasil membuat perasaanku berbinar terang. Seakan hari itu kebun bunga dalam hatiku bermekaran indah.

Aku nyaris tidak pernah percaya dengan ungkapan jatuh cinta pada pandangan pertama. Menurutku itu konyol. Namun, ketika aku melihat senyuman manis laki-laki itu, melihat tatapan teduhnya, mendengar tutur suaranya yang lembut, membuat pikiranku seolah terperangkap untuk terus memikirkannya. Seolah isi kepalaku disita habis oleh seraut wajah tampannya.

Aku tidak tahu siapa dia dan aku pun tidak pernah melihatnya. Sungguh aneh bukan? Jatuh cinta pada pandangan pertama tetapi tidak tahu nama? Atau mungkin aku terlalu cuek dan tidak peduli sekitar, sampai aku tidak menyadari ada laki-laki setampan dirinya bekerja di perusahaan ini.

“Dih, najis senyum-senyum!”

Aku mendadak bungkam oleh karena tiba-tiba Maudy berada di belakangku tanpa ada tanda-tanda, persis seperti cenayang yang datang tiba-tiba. Kulihat dia sedang merapikan pakaiannya di belakangku.

Oh iya, aku belum memperkenalkan Maudy. Perkenalkan, gadis berjilbab dengan tubuh proporsional itu adalah sahabatku. Aku dan dirinya sudah bersahabat sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Kami satu bangku dan pernah punya cita-cita untuk bekerja di perusahaan yang sama dan akhirnya Malaikat mencatat dan Tuhan mengabulkan. Dan juga punya cita-cita untuk pergi liburan ke Candi Borobudur bersama, ingin menikmati suasana Yogyakarta yang kami anggap sebagai kota impian karena banyak peninggalan sejarah ada di sana. Iya, kami ingin mengelilingi kota itu.

Dia tahu segala tentangku dan aku pun tahu segala tentangnya. Bisa dibilang, semua kartuku ada pada dirinya dan begitu juga sebaliknya. Jadi, aku atau pun dia saling percaya dan saling mengunci.

“Minggir dong, Mbak!” dia menyerobot di sampingku dan aku akhirnya mengalah untuk melangkah mundur, memberi ruang untuknya.

Sementara aku memilih untuk menyandarkan punggungku di tembok tepat di belakangnya, kutatap Maudy di pantulan cermin itu. Dia fokus merapikan jilbab dan bajunya.

“Aku tadi hampir kesiangan,” kataku.

“Selalu,” katanya.

“Terus ...,” aku sengaja tidak melanjutkan perkataanku dan memilih untuk bungkam. Tadinya, aku ingin bercerita perihal laki-laki yang kutemui di loker dan sudah membantuku itu. Tapi, aku tidak yakin dengan respons Maudy. Dia selalu mendukung tetapi terkadang menyebalkan, kalau soal aku bercerita tentang laki-laki padanya, apalagi laki-laki itu yang dia kenal, terkadang bibirnya enggak bisa di rem. Pasti saja mendadak jadi makcomblang. Atau minimal disampaikan langsung ke orangnya kalau aku naksir.

Nyebelin, kan?

“Terus apaan?” tanyanya dan kulihat dia melirikku di pantulan cermin.

“Nggak jadi ah. Kamu suka comel!”

Kulihat Maudy mengernyitkan dahi, sepertinya dia penasaran dan dia berbalik badan, menatapku. “Apaan? Belum juga ngomong?”

“Nggak jadi. Udah, yuk, ah. Bentar lagi brifing.” Aku melangkah meninggalkan toilet sekaligus meninggalkan Maudy yang kulihat terakhir kali dia masih mengernyitkan dahi dan menatapku dengan seraut wajah penasaran.

***

Aku ikut bergabung dengan teman-teman yang sudah berkumpul untuk brifing dengan atasan. Maudy duduk di sebelahku. Kami mendengarkan beberapa persoalan dan rencana ke depan untuk perusahaan dengan saksama. Tidak ada suara selain suara Pak Alex—Manajer yang bertubuh tambun namun sangat berwibawa. Hingga akhirnya aku mulai merasa bosan, pandanganku mengitari sekitar untuk sekadar mengalihkan perhatian karena rasa kantuk yang mulai melanda dan atensiku tercekat pada satu objek lurus di depan mataku.

Iya. Dia laki-laki misterius yang membantuku.

Aku bisa melihat dengan jelas dirinya. Mataku seolah terkungkung dan terhipnotis yang justru termangu tidak berkedip. Kulitnya putih bersih, alisnya tebal membingkai matanya yang teduh, garis wajahnya terlihat sangat ramah dan terkesan cowok baik-baik yang pantas aku sematkan padanya. Aku suka bagaimana cara dia memperhatikan perkataan Pak Alex. Bibirnya selalu menyungging senyum.

Ketika mataku tidak lepas menatapnya, dia melirikku. Kami bertatapan dalam satu orbit lurus dan jarak nyaris terbakar hangus. Entah aku yang ge-er atau memang dia tidak berhenti menatapku. Sampai akhirnya Maudy memecahkan konsentrasiku, dia menyenggol bahuku dan refleks aku menoleh ke arahnya.

“Ih apaan sih?!” aku berbisik kesal padanya.

“Gimana dong? Katanya kalau bulan ini nggak capai target, kita disidang?” katanya dan kulihat wajah Maudy terlihat cemas.

Lihat selengkapnya