Tadinya, kukira dunia pekerjaan yang kujalani selama 3 tahun ini akan terus terasa membosankan dan monoton pada posisi di mana aku menjalani hari demi hari dengan siklus yang sama. Bangun tidur, bekerja, pulang, tidur. Begitu saja, hingga terkadang aku merasa berada di titik malas bekerja.
Saat masa sekolah, kalau aku malas, aku tinggal izin atau tidak masuk tanpa keterangan yang selanjutnya akan selalu aman tanpa ada sanksi yang harus kudapati. Namun, saat aku masuk di dunia pekerjaan, aku harus mengubah kebiasaan burukku itu. Aku tidak bisa seenak hati izin untuk tidak masuk kerja, apalagi tanpa keterangan. Akan ada banyak sekali pertanyaan dan juga sanksi yang aku dapatkan bilamana aku berani macam-macam. Begitu juga dengan gaji yang akan dipotong perusahaan.
Sangat disayangkan sekali, bukan?
Namun, ketika pertama kali aku melihat Garra, entah mengapa semangatku untuk bekerja tiba-tiba membara. Aku tidak lagi merasa malas, tidak lagi merasa monoton dan bosan. Bahkan, seperti ada sebuah tujuan tiap kali aku berangkat bekerja.
Hanya sekadar melihat wajahnya saja, seolah membuat hormon Endorfinku melesat naik.
Aku jadi sering kali curi-curi pandang padanya tiap kali dia berada di dekatku atau sekadar lewat di depanku. Berhubung kami bekerja di lantai yang sama namun hanya berbeda divisi. Saat itu, aku sedang mengobrol dengan Maudy, April dan Ike. Oh ya, aku belum memperkenalkan April dan Ike pada kamu. Mereka berdua sahabatku selain Maudy. Kami dipertemukan di perusahaan tempat kami bekerja sekarang.
Ike adalah sosok perempuan yang ramah dan sangat easy going, bahkan mungkin saja dia kenal dengan semua karyawan karena dia memang selalu mengajak kenalan duluan. Orangnya menyenangkan tetapi terkadang juga mendadak menjadi pendiam dan dia satu-satunya sahabatku yang punya pemikiran paling dewasa di antara April dan Maudy.
Ada April, dia perempuan yang bisa kusebut pecicilan. Ya, memang begitu, tetapi dia sangat baik meski agak sedikit kasar dan cerewet. Dia itu pemberani, kalau ngomong ceplas-ceplos tanpa pikir panjang, apa yang ada di kepalanya pasti langsung dia ungkapkan, tanpa disaring terlebih dulu. Sudah sering kali kami peringatkan, tetapi dia memang begitu karakternya.
Kami mencuri-curi waktu mengobrol di sela-sela bekerja. Membahas hal tidak penting yang mendadak menjadi penting. Seperti meriview orang random dan terkadang membahas siapa suami dari kucing bunting yang selalu masuk kantor.
Hingga atensiku tersita oleh kemunculan Garra di hadapan kami. Aku yang sedang tertawa terbahak-bahak mendadak jadi pendiam dan meredam rasa malu yang mendadak menguasai seluruh perasaanku.
“Maaf ganggu, boleh pinjam gunting, nggak?” tanyanya dengan senyuman ramah khasnya dan intonasi suara yang amat sangat lembut.
“Boleh dong,” kata Ike sambil mengambil gunting di lacinya. Dia menyerahkan gunting itu ke Garra, namun ketika Garra hendak mengambil gunting itu justru Ike malah bermain-main dengan cara kembali memasukkan gunting itu ke dalam lacinya.
Kulihat Garra tertawa hambar, sementara Maudy dan Ike tertawa jahil. Sedangkan April berjalan mendekati Garra dan tiba-tiba meraba lengan atas kanan Garra, sambil berpose layaknya penggoda, sampai membuat Garra tersentak kaget dan melangkah menjauh.
Kulihat wajahnya memerah bagai tomat ranum. Terlihat lucu dan menggemaskan, apalagi ketika April terus saja menggodanya. April memang begitu orangnya, sukanya usil dan jahil dengan kegenitan yang bikin cowok jantungan dan kadang bikin cowok ngeri dengan keganjenannya.
“Jahil banget,” kataku. “Kasih, Ike.”
Ike masih cekikikan geli dan akhirnya memberikan gunting itu ke Garra.
Wajah Garra masih kentara merah dan dia cengengesan, mengambil gunting itu. “Pinjem sebentar, ya?”
“Kamu nggak mau di sini dulu, gitu?” tanya April yang kulihat seraut wajahnya seperti berusaha menggoda Garra. Aku saja sampai enek lihatnya.
“Nggak, banyak kerjaan,” kata Garra masih cengengesan dan bergegas melangkah pergi.
Kuyakini kalau Garra geli atau bisa jadi takut kalau harus lama-lama dekat dengan kami, terlebih April dan Ike yang jahilnya setengah mampus.
“April najis!” kataku sambil mendorong bahunya dan dia tertawa. “Kamu mirip wanita penggoda.”
“Penggoda iman dia?” tanyanya. “Abisnya dia senyum-senyum mulu. Kan, jadi gemes.”
Aku tersentak ketika mendengar April bicara demikian dan sedikit agak nyelekit di hati. Namun, aku berusaha bersikap biasa saja dan berharap tidak ada yang menyadari perubahan sikapku. Entah, rasanya ada perasaan aneh yang menghantam hatiku. Itu terasa agak menyakitkan. “Kamu naksir dia?”
April tertawa dan menggeleng. “Nggak lah, mana ada. Suka aja jahilin cowok pendiam kayak dia. Cewek-cewek di sini kebanyakan yang penasaran sama cowok itu.”
“Tapi banyak juga sih yang suka,” timpal Maudy. “Suka sama sikapnya.”
“Termasuk kamu?” kutanya ke Maudy.
Maudy mengernyitkan dahi sambil menggeleng. “Nggaklah, dia bukan tipeku. Tipeku itu kayak Jefri Nichol. Badboy bikin bergetar.”
“Bergetar?” tanyaku dengan kernyitan di dahi karena heran. “Hatimu?”
“Dinding rahim,” katanya dengan seraut wajah sangat datar.
Aku, Ike dan April refleks menoyor kepalanya sembari berkata, “Goblok!”