SETIAP WAKTU ADALAH KENANGAN

Linda Fadilah
Chapter #6

05. MERAUP ATENSI

Tadinya kukira setelah kejadian Garra mengantarku pulang sambil hujan-hujanan itu bisa membuatku dan dirinya semakin dekat, tapi dugaanku malah meleset. Harapanku ketinggian sampai aku mengira Garra telah menghidupkan kembali perasaanku yang sudah aku kubur dalam-dalam dan nyaris sudah aku lupakan.

Nyatanya tidak!

Dia masih tetap sama, humble ke semua orang terutama perempuan dan tidak mengindahkan aku apalagi menjadikan aku prioritas. Akunya saja yang terlalu berlebihan beranggapan demikian. Bahkan aku sempat mengira bahwa dia hanya mempermainkan perasaanku saja karena dia tahu kalau aku menyimpan rasa padanya. Huh. Ternyata begini rasanya jatuh cinta sendirian.

Aku kembali teguh dalam prinsipku di awal untuk tidak berharap berlebihan pada laki-laki seperti Garra. Bukan karena apa, demi mengantisipasi perasaanku yang justru bisa saja terbawa arus dan malah mengukir luka dengan sengaja kubuat.

Seingatku, sekitar satu Minggu berlalu saat Garra mengantarku pulang, ternyata tidak ada gosip apa pun yang menyebar luas di kalangan karyawan kantor, bahkan para sahabatku tidak ada yang membahas perihal aku diantar Garra pulang. Mungkin bisa jadi mereka tidak tahu juga kabar itu oleh karena aku tidak memberitahu mereka. Syukur deh!

Aku jadi bisa menyimpulkan bahwa Garra bisa saja sering kali mengantar perempuan seperti dia mengantarku juga.

Setelah saat itu aku dan Garra tidak lagi saling menyapa. Aneh? Ya, begitulah!

Aku sendiri yang merasa tidak pantas dan menjauhkan diri kalau aku dan dia tidak sengaja bertemu, atau dia tersenyum padaku dan aku memilih untuk cuek dan datar. Sama seperti aku yang dulu sebelum aku mengenal dirinya. Aku begitu karena ingin meyakinkan diriku bahwa tidak ada harapan lebih besar darinya selain sebagai perempuan yang masuk ke dalam geng kategori pengagum Garra.

Aku tidak bisa memaksakan perasaan orang lain untuk membalas perasaanku. Itu adalah hak setiap orang, mau bagaimana Garra berperasaan, atau dia yang sangat lemah lembut dan perhatian, kalau dirinya tidak ada rasa padaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Sejak saat itu aku menyibukkan diriku sepenuhnya pada tumpukan pekerjaan. Berjibaku dengan segala tugas yang membuatku lupa dengan kejadian yang pernah aku alami, atau dengan orang-orang sekelilingku yang mengganggu. Tidak lagi aku memikirkan atau mencari tahu tentang Garra. Aku sudah berusaha penuh untuk membuang jauh-jauh pikiranku soal laki-laki itu.

Pernah ada satu momen di mana aku disuruh atasanku untuk membuat pamflet acara perusahaan. Aku duduk sendirian di balik kubikelku dan fokus pada layar komputer yang menampakkan sebuah gambar pamflet yang baru saja selesai kubuat.

“Udah selesai, Lis?”

Kudengar ada suara laki-laki tepat di belakangku, refleks aku menoleh dan mendapati Pak Aprio yang sedang berdiri di sana.

“Sudah, Pak,” jawabku. “Tinggal Print.”

“Ya udah kalau gitu kamu kasih ke bagian divisi konten creator, biar mereka yang print. Sekalian buat bahan mereka promosi juga.”

Aku mengangguk-angguk. “Oke, Pak, kalau gitu. Berarti kasih ke Pak Chandra, ya?”

“Iya.”

Aku mengangguk-angguk paham. Pak Aprio berlalu pergi dan aku kembali sendirian. Aku terdiam sejenak. “Kalau aku ke ruangan Pak Chandra, nanti ketemu Garra dong? Itu kan divisinya?” aku bergumam sendiri dengan segala pemikiran yang mendadak bergelut hebat dalam kepala, antara aku yang mengunjungi ruangan divisi itu sendiri atau aku menyuruh orang lain?

***

Aku berdiri tepat di depan ruang divisi Konten Creator. Kulihat suasana di dalam sangat ramai dan setiap orang disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing. Mataku menjelajah sekitar untuk mencari sosok Pak Chandra yang tidak aku temukan selama aku berdiri di depan ruangan itu sekitar dua puluh menit lamanya.

Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku dan menunjukkan waktu istirahat sebentar lagi. Aduh! Sementara Pak Aprio memintaku untuk segera menyetorkan hasil pamflet itu sebelum jam istirahat.

Aku nyaris menyerah, hingga ada seseorang yang menepuk bahuku. Aku refleks menoleh dan kutemukan Garra sedang tersenyum dengan sorot matanya yang teduh.

Aduh! Kenapa sih harus ketemu dia?

Aku hampir tidak bisa mengendalikan diriku dan nyaris kehilangan konsentrasiku, kalau saja aku tidak segera berpaling dan buang muka, bisa saja aku malah melongok seperti setiap kejadian sebelumnya. Untung saja aku bisa menguasai diri.

“Nyari siapa, Ca?” tanyanya.

“Oh ... itu ... siapa ... Pak Chandra.” Aku justru malah gelagapan. “Ada, nggak?”

“Oh, lagi keluar dulu. Ada perlu apa?”

Aku menyerahkan flashdisk yang sedari tadi aku genggam. Sialnya, kenapa tanganku tiba-tiba basah dan bergetar? Ayolah, Ca! Kendalikan dirimu!

“Ini dari Pak Aprio, hasil pamflet yang kubuat udah ada di sana. Nanti tinggal print buat promosi anak-anak Konten Creator.” Aku masih enggan menatap wajahnya dan masih saja menundukkan kepala. Seperti seseorang yang takut melihat hantu di depan mata, atau yang menjaga pandangan dari lawan bicara?

Ya, itu yang pas sepertinya. Menjaga pandangan!

“Oh ... oke,” Garra mengambil flashdisk dari tanganku.

Dan kamu tahu? Itu untuk pertama kalinya jarinya dan jariku bersentuhan! Kulitku yang dingin dan basah, menyentuh kulit jarinya yang terasa hangat. Sungguh, aku tidak bisa mengendalikan degup jantungku yang berdetak nyaris seperti berlomba-lomba untuk siapa yang lebih dulu terdengar.

Aku mendadak lemas dan aku bingung harus berbuat apa selain langsung melengos pergi meninggalkan Garra sendirian tanpa mengucapkan satu patah kata pun, apalagi melihat wajahnya. Aku tidak mampu!

Mungkin Garra akan menganggapku aneh dan sombong?

Aku akui kalau saat itu aku terkesan sombong dan judes, bahkan mungkin egois dan tidak dewasa? Aku lebih mementingkan perasaanku ketimbang perasaannya yang mungkin saja terluka karena sikapku yang kekanak-kanakan dan tidak jelas.

Dari kejadian itu aku belajar, bahwa duniaku tidak seharusnya mengikuti apa kata hati dan perasaan. Aku juga harus memikirkan bagaimana perasaan orang lain melihat sikapku yang tiba-tiba berubah menjadi sosok menyebalkan, bahkan membuat mereka bingung.

***

Malam itu aku merasa sangat bersalah dan justru malah kepikiran soal diriku yang cuek dan judes pada Garra. Kepalaku seolah kembali di penuhi oleh sekelebatan wajah Garra yang tampak kebingungan dengan sikapku, atau terlintas juga ketika dia menatapku dengan senyuman.

Lihat selengkapnya