SETIAP WAKTU ADALAH KENANGAN

Linda Fadilah
Chapter #7

06. MALAM YANG TERANG

Hal yang paling bahagia dalam hidupku saat itu hanyalah bisa dekat dan semakin dekat dengan Garra. Aku tidak peduli dengan cibiran orang-orang akan hal yang mungkin saja membuatku justru mundur dengan pencapaian yang sudah aku raih saat itu.

Aku tidak harus bersikeras untuk mengubah diriku menjadi orang lain demi dekat dengannya lebih intens dan ... intim. Aku tidak perlu menjelma menjadi perempuan ganjen yang jauh dari sifat diriku. Aku tidak perlu mencari perhatian lebih pada Garra demi mendapat notice darinya. Aku tidak perlu menurunkan kadar harga diriku hanya untuk bisa mendapat feedback darinya. Aku tidak perlu mengubah penampilanku menjadi bukan diriku demi lelaki itu. Aku hanya menjadi diriku apa adanya dan di porsi seadanya. Tidak aku lebihkan dari apa yang aku punya dan dari apa kemampuanku.

Aku merasa seolah diriku saat itu menjadi perempuan yang sangat amat beruntung karena dalam sejarah percintaanku, ketika aku menyukai laki-laki dan lelaki itu memberi timbal balik sama halnya seperti perasaanku. Seperti halnya berdoa meminta sesuatu pada Tuhan dan langsung Tuhan kabulkan.

Aku ingat betul saat itu tepat di hari Minggu dan sore, kebetulan kami libur bekerja, Garra mengajakku untuk bertemu dan aku menyetujuinya. Dia menjemputku ke rumah dan bertemu Mama sembari meminta izin untuk membawaku jalan-jalan dan Mama akhirnya setuju dengan syarat jangan pulang terlalu larut malam.

Kuingat betul saat itu kumandang Azan Magrib terdengar dari beberapa masjid dan posisiku dengannya sedang berada di jalan.

“Ca ... ke Masjid Agung dulu, yuk? Kita Shalat dulu.”

“Oh, iya,” jawabku.

Akhirnya kami mengunjungi Masjid Agung yang saat itu begitu sangat banyak pengunjung. Aku kebetulan tidak memakai hijab dan mendadak hati begitu juga dengan perasaanku dirundung rasa malu yang teramat besar. Sungguh. Aku merasa seperti terintimidasi ketika melihat banyaknya pengunjung perempuan yang memakai hijab dan seolah pandangannya terpusat padaku. Padahal mereka hanya melihat saja, tetapi aku merasa sangat tidak pantas.

Aku minder. Aku hanya membatu di pintu masuk masjid—bahkan bukan di pintu masuknya dan hanya di depan tangga menuju masjid—aku belum sempat menginjak tangga itu. Pandanganku hanya terpaku pada orang-orang yang berlalu-lalang di area Masjid. Tanganku meremas tali tas selempang dan Garra kulihat sudah membuka sepatunya.

“Ayok mau masuk, nggak? Mau Shalat, nggak?” tanya Garra yang memecahkan seluruh atensiku dan aku refleks menatapnya yang sedang duduk di tangga dan buka sepatu.

“Em ... nggak ah, nanti aja. Soalnya malu aku nggak pakai kerudung,” jawabku sambil cengengesan.

“Serius?” tanyanya sambil berdiri.

Aku mengangguk ragu.

“Ya udah kalau gitu. Tunggu bentar, ya, aku Shalat dulu?”

Aku mengangguk lagi dan senyum.

Dia senyum dan berlalu pergi meninggalkanku. Aku menatap punggungnya hingga tidak terlihat. Aku menghela napas jengah, aku berbalik badan membelakangi Masjid dan pandanganku mengitari sekitar, mencari tempat untuk menunggu Garra. Pandanganku tertuju pada sebuah kursi taman dan aku memilih untuk duduk di sana.

Kebetulan, di depan Masjid Agung terbentang taman luas yang sangat asri dan terawat, banyak pengunjung yang duduk-duduk di sana untuk hanya sekadar nongkrong dan melepas penat.

Sekitar sepuluh menit menunggu, akhirnya Garra menghampiriku. Kulihat rambutnya basah oleh karena terkena air wudu yang membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. Aku terperangah dibuatnya, sempat aku tidak berkedip beberapa detik. Hingga Garra bertanya,

“Jadi mau Shalat di mana? Masjid deket kantor?”

Aku langsung menggeleng cepat. Aku tidak mau kalau sampai karyawan kantor ada yang melihat aku dengan Garra. Aku masih merahasiakan kedekatanku dengannya di depan khalayak umum karyawan kantor. Aku belum siap dengan segala macam gosip yang beredar dan aku belum siap juga dengan segala cemoohan dan delikan sinis cewek-cewek padaku nantinya.

Memang konsekuensi itu aku harus tanggung, tetapi mentalku yang introvert belum siap.

“Terus mau di mana dong?” tanyanya dengan senyuman manisnya yang khas.

“Em ...,” aku masih berpikir.

“Ya udah, di masjid deket Mall aja, gimana?” tanyanya.

Aku terdiam sejenak, memandangnya. Sebetulnya aku menimbang-nimbang ajakannya karena mengingat di Mal itu sangat minim sekali aku bertemu dengan karyawan kantorku. Akhirnya, aku mengangguk setuju dan dia senyum.

“Ya udah, yuk?” ajaknya.

Aku mengangguk dan berdiri. Kami berjalan menuju motor dan meninggalkan Masjid Agung itu. Sekitar kurang lebih sepuluh menit, akhirnya kami sampai di Mal. Mal itu tidak terlalu ramai dan aku langsung menuju tempat tujuan dan diikuti Garra.

Aku Shalat di masjid Mal itu dan Garra menungguku. Sungguh, aku semakin jatuh cinta padanya saat dia mau menungguku Shalat di Masjid lain hanya karena agar aku Shalat. Untuk pertama kali dalam sejarah hidupku, aku menemukan laki-laki seperti dirinya. Laki-laki yang kuanggap Shaleh dan taat pada perintah Tuhan.

Biasanya, laki-laki yang aku temukan sebelum Garra, boro-boro mengajakku Shalat, yang ada saat aku suruh Shalat selalu banyak saja alasan.

Setelah selesai Shalat, aku temui Garra yang masih menunggu tepat di luar masjid. Dia tersenyum ketika menyadari kemunculanku.

“Udah?” tanyanya.

Aku senyum dan mengangguk.

“Ya udah yuk. Kita cari makan, aku laper nih,” dia mengusap perutnya dengan seraut wajah meringis dan dramatis.

Aku tidak tega juga melihatnya.

“Iya, iya, ayok.”

Akhirnya Garra membawaku ke salah satu warung soto kaki lima.

“Kamu harus cobain soto di sini, enak banget,” katanya sambil menarik kursi plastik dan duduk.

Aku tersenyum dan aku duduk di sebelahnya. Dia memanggil pelayan dan memesan. Aku ingat bahwa aku belum memberi tahunya kalau aku tidak suka nasi.

“Mas, sotonya dua, ya?” kata Garra.

“Eh, satu aja,” kataku yang tiba-tiba menginterupsi perkataannya.

Lihat selengkapnya