SETIAP WAKTU ADALAH KENANGAN

Linda Fadilah
Chapter #8

07. INGIN DIMENGERTI

Perasaanku ketika sudah berpacaran dengan Garra, terasa lebih deras dari hujan dan melambung lebih ringan di banding udara. Di hatiku hanya ada dia, dengan perasaan hangat yang kumiliki. Di pikiranku hanya ada dia, dengan semua sensasiku dan alam imajinasiku yang melayang. Akan aku kunci dirinya dalam hatiku dan aku buang kuncinya, tidak apa, aku sengaja. Aku tidak mau ada yang bisa merebutnya dariku. Atau dia yang mencoba kabur dari hatiku.

Setelah aku menjalin hubungan dengannya, tidak lepas Garra selalu mengantar-jemputku tiap kali aku berangkat bekerja atau tiap kali aku ingin keluar rumah. Tidak pernah sekalipun dia membiarkan aku keluar rumah tanpa dirinya. Aku jadinya seperti punya pelindung atau penjaga, aku jadi lebih aman dan merasa sangat diperhatikan. Aku diperlakukan layaknya Tuan Putri di istana kerajaan, dia yang menjadi Raja dan memperlakukan aku begitu sangat istimewa.

Saat itu, saat di mana begitu amat romantis bagiku, di bawah guyuran hujan, kami tertawa terbahak-bahak dan terlibat dalam beberapa perbincangan. Seolah semuanya terkesan sangat baik dengan apa yang aku rasakan dan aku alami. Kupeluk Garra sambil mengenang kembali kali pertama aku diantarnya pulang tepat ketika hujan turun. Dan momen itu kembali aku rasakan ketika kami sudah resmi berpacaran.

Aku menempelkan daguku di bahu kirinya sambil kutatap wajahnya yang serius di kaca spion.

“Neduh dulu, yuk?” ajaknya.

“Ih, nggak mau!” kataku sedikit agak berteriak oleh karena mengimbangi suaraku yang lemah lembut dengan suara gemuruh dan percikan air hujan.

“Kenapa?” tanyanya.

“Kamu tahu nggak sih, aku itu suka hujan?”

“Kenapa?”

“Karena hujan adalah kebahagiaan aku yang sederhana. Hujan itu ibarat penolong buat aku.”

“Penolong?”

Aku mengangguk “Iya, ketika aku lagi sedih dan pengen nangis, tapi aku malu, aku lebih milih hujan-hujanan karena hujan bisa menyamarkan air mata aku. Seolah-olah hujan tahu gimana perasaan aku, seolah hujan ngerti apa yang aku ingin dan seolah hujan menutupi kesedihan aku dari atensi orang-orang.

“Karena hujan, aku bisa meluapkan semuanya. Aku bisa meluapkan semua emosi aku. Aku juga bisa nari di bawah derasnya hujan tanpa malu dilihatin orang, tanpa aku takut mengganggu ketenangan orang. Aku bisa juga teriak sekencang yang aku pengen, karena aku tahu, hujan pasti menyamarkan suara teriakan aku.”

Aku melirik Garra di kaca spion kiri yang sedang tersenyum. Dia melirikku. “Aku bakalan kasih tahu kamu soal filosofi hujan yang aku suka.”

“Gimana?” kutanya.

“Kita cari tempat teduh dulu, ya?”

Aku kira dia akan membawaku ke mana pun yang dia mau. Aku bahkan bersedia kalau dia mengajakku ke tempat yang tidak pernah terjamah oleh manusia sekalipun, asal dengannya, aku merasa aman. Tapi justru yang dia lakukan malah membawa aku ke sebuah minimarket karena motornya belok ke arah parkiran Minimarket yang kulihat tidak begitu ramai yang berteduh di sana.

“Kok malah ke sini?” kataku kebingungan saat aku turun dari motor.

Dia senyum dan turun dari motor. Dia menggenggam tanganku dan mengajakku untuk masuk ke dalam minimarket. “Neduh dulu, takut sakit. Kamu udah basah kuyup kayak gini.”

“Padahal seru tahu,” kataku sedikit agak kesal. Aku cemberut. “Padahal aku udah biasa hujan-hujanan. Kayak udah sahabatan.”

Garra tersenyum. Dia mengacak lembut puncak rambutku dan membuat seluruh wajahku mendadak hangat. Aduh! Sepertinya wajahku memerah.

“Sahabat juga kadang ada yang bikin sakit,” katanya. “Kalau kamu sakit, nanti aku khawatir. Terus kalau aku khawatir, nanti aku ikutan sakit. Terus kalau aku sakit, nanti yang jagain kamu siapa?”

Aku tersenyum dibuatnya. Sungguh. Entah kenapa aku merasa amat sangat bahagia mendengar Garra berkata demikian. Seolah tubuhku yang menggigil mendadak terasa desiran hangat mengaliri darahku.

“Kamu nggak boleh sakit,” kataku. “Nanti aku sedih.” Seraut wajahku seolah bersedih yang kubuat dramatis dan membuat Garra tertawa sembari tangannya kembali mengacak puncak rambutku.

Aku ketawa, dia juga.

“Kamu ini, bisa aja,” katanya. “Mau Pop Mi, nggak?”

Aku menggeleng. “Masih kenyang.”

“Kopi?”

Aku menggeleng lagi.

“Mau apa dong? Biar kamu nggak kedinginan. Buat angetin badan.”

Aku tersenyum. “Mau kamu aja.”

Garra ketawa lagi dan kembali mengacak gemas rambutku. “Kamu, ya, kok bisa sih? Aku kan udah jadi punya kamu.”

“Tetap jadi milik aku, ya?”

Garra tersenyum, dia membungkuk, menyejajarkan wajahnya dengan wajahku. “Aku janji.” Garra mengacungkan jari kelingkingnya.

Aku menyungging senyum, kuamit jari kelingkingnya. Mengunci janjinya. Aku bahkan saat itu tidak sadar bahwa di tempat itu bukan hanya aku saja yang berteduh, tetapi ada beberapa orang yang mungkin saja memusatkan perhatiannya pada aku dan Garra dengan tatapan sinis, sebal atau ... iri?

Entah. Aku tidak peduli. Rasanya, tempat itu bukan lagi minimarket, bukan lagi tempat umum untuk orang-orang berteduh, bukan lagi tempat perbelanjaan, melainkan milik aku dan Garra. Sebagai keindahan yang nyata, bahwa pemilik minimarket itu sudah dengan khusus membuat bangunan itu hanya untuk aku dan Garra. Khusus untuk merayakan bagaimana bahagianya hatiku merasa.

Garra mencubit gemas hidungku dengan seraut wajahnya seolah seperti gemas padaku. Aku cekikikan dibuatnya.

“Kamu tahu, filosofi hujan yang paling aku suka?” tanyanya.

Aku mengernyit heran. “Apa?”

Dia tersenyum, menegakkan tubuhnya ke posisi semula dan menghadap ke depan—menatap hujan. Aku menatapnya lekat, menunggu jawaban.

“Hujan ... meski terkadang nggak disukai orang, tapi dia selalu membawa manfaat meski nggak pernah disadari sama beberapa orang. Contohnya setahun kemarau, bisa sejuk hanya dengan satu hari hujan,” Garra terdiam sejenak, dia berpaling menatapku. Kami saling bertatapan. “Begitu juga dengan kita manusia, yang nggak selalu disukai oleh orang lain, maka jadilah seperti hujan. Jadilah sosok yang membawa manfaat, meskipun tetap saja ada orang-orang yang tidak menyukai keberadaan kamu, tapi kamu jangan pernah menyerah. Hujan aja nggak pernah nyerah untuk terus turun meski hanya tetesan kecil.”

Aku menyungging senyum. Kata-katanya seolah membuatku tersadar dan ditampar realita bahwa apa yang dia katakan begitu sangat benar. Aku terkagum dengan cara berpikir Garra, dengan apa asumsi dia, dengan segala perkataannya yang membuatku merasa senang.

Kamu boleh menganggap itu biasa saja, tetapi bagiku, itu lebih dari sekadar kata. Banyak hal yang aku suka darinya. Cinta memang mungkin aneh atau mungkin membuat orang buta, seperti apa yang sering menjadi slogan tentang definisi cinta. Jika kamu menganggap aku berlebihan dalam menilainya, itu tidak masalah, mungkin itu bisa disebabkan oleh karena selama hidupmu kamu tidak pernah mendapat seperti apa yang aku rasakan.

Pokoknya, Garra sudah menyalakan sihir dan api dalam diriku untuk percaya pada adanya cinta sejati. Aku tidak tahu mengapa aku bisa jatuh cinta padanya sedalam ini.

Lihat selengkapnya