SETIAP WAKTU ADALAH KENANGAN

Linda Fadilah
Chapter #9

08. PARADIGMA RASA

Hari itu, aku betul-betul merasa sangat-sangat kesal ke Garra tapi ada sedikit rasa bersalah juga karena aku tidak menyangka bahwa dia akan membuntutiku hingga depan rumah.

Kulihat seraut wajah dia kecewa bercampur sedih dan juga bingung. Aku tahu dan paham betul bagaimana dia merasa, aku akui bahwa aku memang keras kepala. Padahal dia tidak salah apa-apa dan memang tabiatnya ramah dan murah senyum tapi malah aku yang jadinya kesal sendiri. Aku tidak bisa mengungkapkan bagaimana aku merasa, bagaimana kecewanya aku padanya. Aku hanya bisa menunjukkan kekesalanku dengan cara diam seribu basa.

“Ca ... dengerin Garra dulu,” katanya sambil menahan tanganku untuk tidak pergi meninggalkannya.

Aku mau tidak mau berbalik, menatap dingin wajahnya.

“Apalagi?” kataku. “Pulang gih.”

“Emang Garra punya salah apa ke Ica? Kan, bisa diomongin secara baik-baik,” katanya dengan intonasi suara yang amat sangat lembut.

“Ya, kamu pikir aja sendiri, deh!” kataku sedikit agak membentak sambil menghempaskan tangannya di pergelangan tanganku.

“Iya salah aku di mana, Ica?”

Aku diam. Menatap tajam seraut wajahnya yang memelas meminta penjelasan. Sungguh, aku akui bahwa aku tidak tega melihat seraut wajahnya yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Aku memang mungkin terkesan agak jahat. Tapi, di sisi lain, aku betul-betul sangat cemburu ketika melihat dia terlalu friendly ke semua perempuan. Aku tidak biasa dengan laki-laki macam Garra. Aku merasa aneh. Aku merasa janggal dan aku merasa sangat tidak dihargai.

Aku cemburu dan aku gengsi untuk mengatakan hal itu padanya langsung.

Aku menghela napas panjang, untuk menetralisir segala kegundahan dalam dada. “Ya udah, gini deh ... silakan kalau kamu mau cari cewek lain. Aku nggak apa-apa. Kalau sikap aku kayak gini, nggak bisa kamu terima dan justru malah bikin kamu bingung. Aku sadar diri kok, Gar.”

Jangan tanya bagaimana reaksi Garra saat itu. Sudah pasti dia terkejut dengan kedua kelopak matanya yang melebar. Entah bagaimana juga aku bisa mengatakan hal itu, padahal aku sudah berhasil mendapatkan dia, berhasil mengalahkan puluhan perempuan yang berbondong-bondong untuk bisa mendapatkan seluruh atensinya. Mungkin karena aku sudah terlalu kesal padanya, mungkin apa yang sudah Garra lakukan betul-betul membuatku sangat marah!

Aku akui aku memang sangat berengsek yang mengikuti kata gengsi daripada kata hati. Logika seolah mendominasi ketimbang perasaan. Aku betul-betul merasa sudah menempatkan diriku dalam situasi yang sangat mengerikan. Tapi, aku rasa apa yang aku lakukan itu tidak ada hubungannya dengan benci. Aku mencintai Garra, tetapi hal itu yang kulakukan lebih karena aku terlalu marah pada Garra.

“Kenapa?” tanya Garra keheranan. Aku sangat yakin bahwa Garra tidak akan menyetujui apa kemauanku untuk putus dengannya. Aku yakin dia akan mempertahankan hubungan kami yang baru berjalan satu bulan ini.

“Aku nggak pantas buat kamu, Gar, aku banyak kurangnya. Kayak sekarang, ini sifat jelek aku. Itu kenapa waktu kamu nyatain perasaan kamu ke aku dan aku bilang, kita belum kenal jauh, kita belum tahu sifat kita masing-masing.

“Kamu belum tahu sifat aku gimana dan aku belum tahu sifat kamu gimana. Sifat jelek aku, sisi buruknya aku gimana. Kamu sekarang bisa lihat, kan, ini salah satu sifat buruk aku. Aku tahu kamu pasti kaget.”

Garra terdiam. Menatapku sambil menggelengkan kepalanya.

“Kenapa juga sih, Gar, kita PDKT bentaran banget? Kenapa juga kamu pengen buru-buru kita pacaran sedangkan waktu PDKT kita terlalu singkat buat aku, Gar. Sekarang kamu nyesel, kan? Nyesel karena udah tahu sifat jelek aku kayak gini?” aku hampir setengah memekik di depannya. Kutatap matanya. Dia tampak kebingungan. Seolah-olah dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan.

“Jadi gimana?” tanyanya. “Ica mau nyerah aja? Kalau Garra mah pengen sama Ica.”

Sorot matanya yang teduh sungguh membuat hatiku berdebar.

Sungguh saat itu aku benar-benar ingin putus dengannya, aku merasa memang aku tidak pantas untuk menjadi pendampingnya. Aku betul-betul minder—sangat minder berlebihan.

Aku mengalami pergolakan batin.

Antara lanjut, atau berhenti sampai di sini dan memilih pergi menjalani kehidupan masing-masing. Aku tidak mau membebani kehidupan Garra. Aku tidak mau membebani pikiran dia oleh karena segala perlakuanku dan juga sikapku yang terkadang kekanak-kanakan dan ingin dimengerti. Aku kasihan padanya. Aku yang egois sangat tidak pantas untuk dia yang sangat penyabar.

“Ya udah kamu pikir baik-baik, ya? Tapi yang Garra mau, kita terus bareng-bareng. Garra mau berjuang buat Ica, asal Ica juga berjuang buat Garra. Garra nggak mau Garra yang berjuang sendirian.” Dia mengelus lembut puncak rambutku seperti apa yang biasanya dia lakukan padaku.

Aku terenyuh. Aku menunduk dan aku menangis. Aku tidak tahu mengapa, aku merasa seperti telah melakukan hal yang salah dan benar-benar buruk. Meskipun aku tahu semua itu kulakukan adalah untuk kebaikan Garra sendiri.

Sungguh, aku tidak pernah berpikir untuk benar-benar putus dengan Garra. Tapi aku merasa itu harus aku lakukan untuk memberi dia kebebasan oleh karena sikapku yang bisa saja membebani kehidupannya.

Kamu pasti tahu bagaimana aku mencintainya. Kamu pasti tahu bagaimana harapan besarku untuk mendapatkan cintanya. Kamu pasti tahu bagaimana bahagianya aku bisa berhasil mendapatkannya.

Pikiranku saat itu betul-betul sangat kacau. Aku menangis terisak di hadapan Garra untuk pertama kalinya. Aku merasa malu oleh karena aku yang meminta putus tetapi justru aku yang malah menangis.

Aku menyesal.

Garra mengusap air mataku dan aku mengangkat wajah, menatap wajah Garra yang tersenyum tipis penuh arti.

“Aku minta maaf,” kataku sambil menangis. “Aku ... aku juga mau berjuang sama kamu.”

Garra menyungging senyum. Kembali mengusap air mataku. “Ya udah, ya, sekarang jangan marah-marah lagi. Maafin Garra soal tadi, ya? Tadi Garra emang pengen bareng sama Ica pulangnya.”

Aku tersenyum dan mengangguk. Padahal, sungguh aku bukan marah padanya gara-gara itu. Tapi aku tidak bilang bahwa aku cemburu kalau dia sudah ramah dan mengumbar senyum manisnya ke cewek itu. Tapi aku tidak bilang kalau aku marah gara-gara itu. Aku masih tetap gengsi kalau bilang aku ini cemburu.

Pokoknya Aku tidak rela dan tidak ikhlas.

Senyuman Garra cuma buat aku, enggak boleh buat yang lain!

***

Di kantor keesokannya, aku baru saja keluar dari toilet dan berjalan masuk menuju ruang divisiku. Kulihat, ada beberapa orang sedang berkumpul di dekat kubikelku, termasuk Pak Chandra—Supervisor divisi Garra—ada Ike, April dan Maudy juga. Mereka sedang tertawa terbahak-bahak yang aku tidak tahu sedang menertawakan apa. Sepertinya pembahasan yang amat lucu. Aku mendekat dan berniat untuk duduk di kubikelku.

“Nah, ini, Pak. Yang lagi deket sama Garra,” celetuk April yang betul-betul membuatku refleks kaget.

Pak Chandra, kulihat sama kagetnya denganku sambil menatapku. “Serius?”

Aku menggeleng, memberi isyarat bahwa yang dikatakan April tidaklah benar. Kulihat Maudy melirikku sambil berdeham. Ingat, tidak ada yang tahu hubunganku dengan Garra kecuali Maudy!

“Wah, harus minta restu dulu nih sama Kakaknya,” kata Pak Chandra.

Aku mengernyitkan dahi, bingung. Kakaknya? Siapa? Selama aku berpacaran dengannya, aku tidak tahu dia punya Kakak.

“Siapa, Pak?” tanya April yang kulihat saat itu dia begitu antusias.

“Lusi.”

“Lusi mana?”

Lihat selengkapnya