Malam Minggu. Kira-kira setelah aku sudah selesai Shalat Magrib, Garra menelepon. Banyak sekali yang aku dan dia bahas, dengan berbagai topik pembicaraan yang membuatku senang. Dia selalu bisa menghidupkan suasana menjadi lebih seru dan asyik. Kalau sudah bicara dengannya, berasa hidup ini jadi ringan, rasanya hidup ini jadi begitu sederhana.
Dia bilang padaku kalau aku jangan dulu tidur.
“Kenapa emangnya?” kutanya.
“Jangan dulu tidur pokoknya. Aku mau beli makan. Kamu jangan makan kenyang-kenyang ya sekarang. Pokoknya tunggu aku.”
“Kok gitu? Nanti kalau aku nggak nyenyak tidur, gimana?”
Dia ketawa di balik telepon sana.
“Aku mau beli Mi Goreng biar bisa makan barengan sama kamu.”
“Ih, nggak apa-apa, buat kamu aja.” Aku langsung menolak.
“Nggak, pokoknya aku mau. Tunggu, ya!”
Garra menutup teleponnya.
Sekitar tiga puluh menit, suara motor berhenti tepat di depan rumahku. Aku sudah sangat hafal betul kalau itu motor milik Garra. Aku buru-buru keluar rumah dan kutemui dia. Kedatangannya memberiku perasaan terbaik yang pernah bisa kurasakan.
Perasaanku tidak bisa kukendalikan karena terus rindu padanya.
“Hai!” sapaku dengan sangat gembira.
Dia tersenyum, menghampiriku yang ada di balik gerbang yang aku buka. Dia mengacungkan kantong plastik berwarna hitam yang di genggam.
Aku tersenyum dan menggeleng, aku memintanya untuk masuk ke dalam rumah dan dia disambut hangat oleh Mama.
“Tante maaf, ya, Garra malem-malem ke sini,” katanya setelah sudah menyalami tangan Mama.
“Nggak apa-apa. Kan, apel,” kata Mama sambil senyum. “Ayo duduk.”
“Iya, Tante,” kata Garra dan dia duduk.
Sementara Mama berlalu pergi, meninggalkan aku dan Garra di ruang tamu.
“Ini, aku bawa dua. Kita satu berdua, satunya lagi buat Mama,” kata Garra sambil menyerahkan kantor plastik yang berisi Mi Goreng itu padaku.
Harumnya semerbak di udara dan menggiurkan. Aku yang sudah kenyang saja, mendadak lapar lagi.
“Oke,” Kataku dan langsung berlalu pergi untuk menuju dapur mengambil piring dan sendok. Sekalian memberi satu bungkus Mi Goreng itu pada Mama dan Mama bilang makasih.
Aku kembali ke Garra sambil membawa nampan yang berisi minuman dan juga Mi goreng yang sudah kutuang ke dalam piring. Aku simpan di atas meja, di hadapan Garra.
Garra tersenyum. “Yuk, makan.”
“Aku udah kenyang, tahu,” kataku padahal aku jaim. Aslinya aku tergiur oleh karena aromanya yang harum.
“Biar tidur kamu nyenyak,” kata Garra sambil senyum.
Aku terkekeh geli. Akhirnya, aku ikut makan dengannya. Satu piring berdua. Aduh! Bener-bener romantis, kan? Jangan iri! Tapi kurang romantis sih, soalnya enggak suap-suapan. Garra fokus makan karena kulihat dia sepertinya benar-benar lapar dan aku lebih fokus memerhatikan wajahnya yang berada tepat di hadapanku.
Terus, aku bilang ke dia,
“Pakai nasi.”
“Nggak ah. Kan, biar bisa berdua sama kamu,” katanya dan menatapku sambil senyum.
“Ih, nggak apa-apa. Pakai nasi, ya?”
“Nggak, nggak mau,” Garra kembali menunduk dan fokus makan.
“Aku ambilin, ya?”
Garra menggeleng dan memegang tanganku, berusaha menahanku untuk tidak pergi. Dia menatapku. “Nggak usah, Ca. Kamu di sini, jangan ke mana-mana.”
Aku akhirnya menurut. Terdiam menatapnya dan dia lanjut makan.
Alhasil, Mi Goreng itu kami habiskan. Meski aku sengaja makan sedikit untuk kubiarkan Garra yang makan lebih banyak. Aku tidak tega lihatnya dan aku ingin memastikan bahwa dia benar-benar kenyang.
Aku pindah duduk di samping Garra. Dia tersenyum dan menggenggam tanganku.