SETIAP WAKTU ADALAH KENANGAN

Linda Fadilah
Chapter #11

10. HARI PENAKLUKAN

Kebahagiaan menyelimutiku karena aku dapat kabar bahwa kantor tempatku bekerja mengadakan gathering ke Curug yang memakan waktu dua jam perjalanan menggunakan bus dari kantorku. Awalnya, Mama tidak mengizinkan aku untuk ikut oleh karena jaraknya jauh dan juga aku jarang sekali keluar rumah, Mama takut terjadi apa-apa padaku. Namun, ketika Garra yang meminta izin, akhirnya mau tidak mau Mama mengizinkan dengan syarat Garra harus menjagaku dan memastikan aku selamat sampai pulang.

Pastinya Garra langsung berjanji pada Mama.

 Sayangnya, aku dan Garra tidak satu bus oleh karena bus dibagi per divisi dan aku malah duduk bersebelahan dengan Maudy.

“Kalau ada apa-apa, chat Garra aja, ya?” kata Garra mengirim pesan padaku sewaktu bus kami sudah melaju.

Iya,” aku membalas.

Rasanya kesal juga. Tadinya, kukira ini kesempatanku bisa dekat dengan Garra, meski tidak duduk bersebelahan tetapi paling banter ada di dalam satu bus yang sama. Tapi, justru takdir berkata lain. Pikiranku selalu mengawang dan menduga-duga kalau Garra sedang asyik di dalam busnya itu bersama para perempuan yang genit kepadanya. Mungkin saja Garra meladeni keganjenan cewek-cewek itu oleh karena dia memang tipikal orang yang tidak enakan.

Jadi, aku putuskan untuk ikut bersenang-senang saja bersama dengan kawan-kawanku di dalam bus. Membuang segala rasa kecurigaan dan overthinking yang bisa mengganggu mood-ku yang bisa saja tiba-tiba jadi hancur dan bisa juga aku jadinya kesal pada Garra oleh karena praduga yang belum tentu benarnya.

Aku bersorak ketika April dan Ike menyumbangkan sebuah lagu dangdut dan mereka bergoyang layaknya biduan yang minta saweran. Kebetulan, bus kami dilengkapi dengan karaoke di dalamnya. Suasana bus pagi itu begitu sangat meriah dan berisik. Tidak ada yang tidur satu pun dan kami semua menikmati perjalanan. Hingga tidak terasa, ternyata kami sampai di tempat tujuan.

Ketika tiba di pelataran parkir, kami diminta berkumpul untuk membaca doa bersama dan kemudian dilanjutkan dengan berganti pakaian menggunakan kaus seragam yang diberi perusahaan.

Kami berjalan menelusuri kebun dan nembus ke hutan. Dengan berbagai rintangan akar pohon besar yang menjalar seolah menjadi tantangan kami menyusuri jalan untuk menuju Curug yang berada di kaki gunung. Tidak sedikit orang-orang yang tersandung dan akhirnya terjatuh sampai kakinya terluka. Tidak jarang juga banyak pacet yang tiba-tiba ada di balik celana yang mereka kenakan.

Aku ngeri sendiri dan selalu berjaga-jaga. Aku jalan berdampingan dengan Ike sementara Maudy dengan April di depanku sembari tidak hentinya mengambil gambar dan merekam sekitar. Kalau aku boro-boro ngeluarin ponsel, yang ada takut tiba-tiba jatuh dan terinjak.

Mataku menjelajah sekitar, aku mencari sosok Garra yang tidak aku lihat semenjak kami mulai trek. Aku sebal juga, katanya dia mau menjagaku, tapi justru malah menghilang tanpa kutahu. Aku jadinya kesal, tapi aku pendam.

Sampai Maudy yang di depanku, menoleh sembari merekam pemandangan sekitar dengan ponselnya. Dia jalan mundur, aku ngeri kalau dia bisa saja tersandung. “Halo, Alisa, Ike!” katanya seolah menyapaku lewat kamera ponsel dan aku hanya senyum. Sementara Ike dadah-dadah ke kamera.

“Gimana nih treknya? Sanggup, kan?” kata Maudy lagi. Masih dengan berjalan mundur. Tapi April memegang ujung bajunya, mungkin sebagai pegangan supaya Maudy tidak tersandung atau bisa juga sebagai penunjuk jalan.

“Lumayan deehh,” kata Ike sambil mengusap kening dengan gaya dramatis seolah kegerahan, padahal tidak sama sekali.

Aku hanya cekikikan geli.

“Kalau Garra gimana, nih?” kata Maudy lagi dan membuatku terkejut. Refleks aku menoleh ke belakang dan kudapati Garra memang berjalan tepat di belakangku. “Capek, nggak?”

Garra melirikku dan tersenyum untuk kemudian menatap Maudy dan mengacungkan jempolnya. “Aman,” katanya.

Aku kembali fokus menatap ke depan. Entah kenapa tiba-tiba aku menyungging senyum tipis. Aku sudah mengira bahwa Garra akan bodo amat padaku dan tidak memedulikan aku, ternyata dugaanku salah besar. Dia bertanggung jawab atas janjinya untuk menjagaku.

Aku jadi merasa aman.

Ketika tiba di Curug dengan berjalan kaki kurang lebih satu setengah jam, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Tebing yang tinggi dengan air yang mengalir deras, dihiasi tumbuhan merambat di samping kiri dan kanan dan dikelilingi pohon-pohon besar menjulang tinggi.

Terasa sangat asri dan sejuk. Udara dingin menyelimuti dengan suara gemuruh riuh dari air yang terjatuh dari tebing tinggi itu menghantam keras sungai yang ada di bawahnya. Aku dibuat terpana akan keindahannya.

Segar. Nyaman. Damai.

Sebagian karyawan berpencar untuk bersenang-senang dan begitu juga dengan Maudy dan April yang mendadak jadi seksi dokumentasi. Ike mulai turun ke bawah untuk berenang.

Tiba-tiba, Garra berdiri tepat di sebelahku, dia berbisik, “Mau turun?”

Aku refleks menatapnya sekejap untuk kemudian kembali mengalihkan perhatian. Aku tidak mau menjadi pusat perhatian orang-orang. “Ngga tahu ... mau sih ... tapi males.”

“Jadi?” tanyanya.

“Nanti deh.”

Garra terdiam. Aku juga diam. Tapi aku curi-curi pandang ke dia dan kulihat dia sedang tersenyum memerhatikan sekitar. Entah apa yang dia lihat, tetapi senyuman itu penuh kekaguman.

“Ca ... sini turun!” teriak Ike dari arah bawah dan refleks aku menatapnya dan menggeleng.

“Nanti aja!” balasku berteriak.

“Maudy, April, sini turun!” teriak Ike.

Aku lihat Maudy menggeleng, sementara April langsung menghampiri Ike.

“Kenapa nggak turun?” kataku ke Maudy.

“Takut,” kata Maudy. “Takut terbawa arus.”

Husshh!! Ngomongnya!” kataku memperingati.

Dia memang selalu begitu. Konon katanya, Maudy takut air dengan porsi banyak—dia sering bilang air besar—maksudnya seperti sungai, laut, danau. Entah mengapa dia begitu, aku pun tak mengerti. Tiap kali Aku, Ike dan April ajak ke laut untuk menikmati sunset, dia selalu beralasan ‘takut tsunami'. 

“Beneran. Kan, nggak ada yang tahu,” katanya. Dia kembali mendokumentasikan sekitar dengan kamera ponselnya dan berlalu pergi meninggalkan aku.

Aku menatap Garra yang sedang menatapku. Dia tersenyum, aku juga tapi senyum tipis.

“Kalau mau turun, bareng Garra, ya? Garra nyamperin temen-temen dulu, nggak enak soalnya,” kata Garra.

Aku mengangguk.

Dia berlalu pergi dan hanya aku sendiri, menatap Ike dan April yang sedang asyik bermain air sembari berfoto. Aku jadi kepengen juga, akhirnya aku turun tanpa memberitahu Garra. Aku tidak mau merepotkan dia karena kulihat dia sedang mengobrol dengan teman-temannya.

“Bantuin dong!!” teriakku pada April dan Ike. Mereka yang sedang duduk di batu besar, akhirnya beranjak dan menjulurkan tangannya padaku.

Lihat selengkapnya