Hari itu aku bangun pagi, dengan sambutan kicauan burung milik tetangga yang kudengar merdu. Cahaya matahari seolah menyoroti dari ventilasi terasa hangat seperti hatiku.
Aku yakin aku tidak akan pernah melupakan sore kemarin. Selamanya akan tertanam dalam ingatan, bersama jantung yang selalu berdebar dengan perasaan yang selalu senang.
Aku benar-benar merasakan aku jatuh cinta pada Garra di setiap harinya.
Kira-kira pukul tujuh pagi, Garra datang untuk menjemputku. Aku menyambutnya dengan senyuman dan aku menaiki boncengan motornya hingga melaju pergi meninggalkan rumah.
“Kamu sarapan belum?” kutanya.
“Belum,” jawabnya.
“Oke, aku sengaja udah bikin roti selai buat kamu. Kamu suka?” kutanya sambil menatapnya dari samping.
Dia menoleh sedikit sambil senyum. “Apa pun bikinan kamu, aku selalu suka.”
Aku senyum. Dia juga. Sampai akhirnya kami sampai di pelataran parkir.
Saat itu, lumayan banyak yang sedang parkirin motornya di sana. Aku turun dan buka helm, memberikannya ke Garra. Aku menatap sekeliling dan kulihat beberapa orang curi-curi pandang ke arahku apalagi perempuan.
Aku malas kalau sudah begini, jadi pusat perhatian yang tidak seharusnya. Tapi, itu pasti aku dapatkan oleh karena orang-orang itu pasti penasaran bagaimana bentukan kekasih Garra. Aku merasa minder lagi.
“Yuk?” ajak Garra. Dia hendak memegang tanganku, tapi aku tepis oleh karena aku malu.
“Emm ... ini bentar ...,” aku merogoh tasku dan mengeluarkan kotak yang isinya roti yang sudah sengaja aku buat untuk Garra. “Buat kamu.”
Garra mengambilnya. “Ya udah, ayo makan bareng kamu.”
“Nggak, aku udah,” kataku sambil menggeleng.
“Beneran?”
Aku mengangguk.
“Ya udah kalau gitu. Yuk?”
Aku mengangguk dan aku jalan berdampingan dengannya sampai ke loker. Orang-orang tentu saja memusatkan seluruh atensinya padaku dan Garra.
Itulah harinya. Hari pertama aku jalan berdampingan dengannya di area kantor. Meski dengan tatapan orang-orang yang seolah mengintimidasi tapi Garra sepertinya tidak peduli. Bahkan aku bisa rasai bahwa dia sengaja untuk dekat-dekat denganku oleh dirinya ingin memberi tahu pada seluruh penduduk kantor, bahkan juga penduduk Bumi, kalau akulah kekasihnya.
Bahwa aku miliknya dan dia milikku.
***
Aku sedang berduaan dengan Maudy dan mengobrol, aku menceritakan soal aku dilabrak sama cewek nggak jelas itu di toilet kemarin dan Maudy bilang,
“Kok kayak anak sekolah? Labrak-labrakan di toilet lagi.”
“Iya,” kataku.
“Garra tahu?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Tahu.”
“Terus?”
“Ya ... dia nggak bilang apa-apa sih, Cuma katanya aku nggak usah bete, nggak usah marah. Tapi ... kamu ngerti, kan, gimana rasanya? Kayak anak kecil banget. Nggak jelas dia!”
“Dih, masa bilang gitu doang? Serius?”
Aku mengangguk.
“Nggak bilang apa-apa lagi?”
Aku menggeleng. “Dia nenangin aku, sih, terus dia bilang nggak usah dipikirin. Biarin aja. Dia bilang katanya, yang jelas aku milik dia dan dia milik aku.”
Maudy berdecak. “Tahu nggak sih, itu kata-kata yang kayak buat nenangin anak kecil yang rewel? Alias cuma gombal doang.”
“Tapi aku yakin dia nggak begitu,” kataku yang berusaha membela Garra.
“Iya, karena kamu terlalu cinta. PDKT kalian itu singkat banget. Emang iya, kamu udah langsung cinta pada pandangan pertama. Tapi kalau dia? Emang bisa langsung secepat itu, ya? Aku nggak yakin, sih. Takutnya, dia masih ada hubungan sama cewek itu di belakang kamu. Kan, kamu nggak tahu. Apalagi kamu terlalu polos dan gampang percayaan.”
Aku tercenung dibuatnya. Mendengar perkataan Maudy seolah aku merasa ada benarnya. Pikiran negatif mulai menguasai, aku takut apa yang dikatakan Maudy memang benar adanya dan aku takut karena aku terlalu cinta jadinya aku dibodoh-bodohi dengan segala bujuk rayu yang membuat aku gampang percaya.
Saat itu, aku kebelet buang air dan aku pamit ke Maudy mau ke toilet. Setelah selesai, aku keluar dan tanpa kusengaja, atau memang kebetulan, aku melihat Garra sedang mengobrol dengan perempuan.
Kamu tahu itu siapa? Dila! Ya, perempuan yang melabrakku kemarin.
Sialan! Kataku memaki dalam hati.
Ngapain mereka ngobrol berdua? Garra, kan, sudah tahu kalau aku tidak suka sama cewek itu dan baru kemarin aku bilang kalau cewek itu labrak aku. Tapi sekarang, aku lihat malah mereka mengobrol layaknya sangat dekat. Seperti membicarakan perihal serius oleh karena aku melihat seraut wajah cewek itu menatap Garra begitu lekat dan fokus. Sementara posisi Garra, membelakangiku.
Aku sengaja diam di samping pintu masuk toilet, di luarnya, aku perhatikan mereka berdua dari kejauhan. Sialnya, aku tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan oleh karena banyak suara yang masuk ke dalam telingaku.
Aku betul-betul gemas dan sangat penasaran. Berani-beraninya Garra berbuat demikian! Aku semakin yakin, apa yang baru saja dikatakan Maudy itu benar!
Terus terang, aku sangat cemburu. Jadi, di belakangku ternyata dia suka ngobrol sama cewek-cewek dan termasuk Dila, si cewek aneh dan sok jagoan itu. Sudah tahu aku sensitif ke cewek itu, malah diajak ngobrol. Kan, brengsek!
Aku langsung merasa tak suka ke Garra dari semenjak saat itu.
Sebagian dari diriku bagai hangus rasanya, dibakar api cemburu yang semakin aku lama di tempat itu untuk memerhatikan mereka justru semakin nyala membesar. Apalagi oleh api amarah ke cewek itu yang masih belum padam.
Itu membuat semangat bekerjaku jadi turun. Itu membuat aku benar-benar malas untuk bertemu dengan Garra.
Entah apa yang akan dia katakan kalau aku bilang, aku memergokinya mengobrol dengan Dila. Entah kata-kata bujuk rayu apalagi yang akan dia katakan untuk sekadar membuatku tenang dan tidak lagi membahas.
Tapi, aku yakin kalau aku akan terus bahas soal ini padanya!
Aku jadinya bingung pada Garra, apa sebenarnya hubungan dia dengan Dila? Apakah masih dekat seperti dulu dia sebelum mendekatiku, atau bagaimana? Atau dia memilih jadi pacarku oleh hanya ingin membuat Dila cemburu? Atau mereka masih dekat tapi aku tidak tahu?