Garra memang menjauhiku begitu juga aku, ketika aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dengan keegoisanku yang sangat merugikan. Untukku dan untuk Garra. Namun, sebenarnya kami tidak benar-benar jauh. Aku merasa bahwa Garra selalu melindungiku dengan caranya sendiri. Misalnya ketika aku terlambat dan harus kehabisan tempat penyimpanan tas di loker dan aku dengan terpaksa hanya melemparnya di lantai dan kemudian entah kenapa tiba-tiba ketika istirahat, aku ke loker untuk memeriksa tasku, ternyata tasku sudah satu loker dengan tas milik Garra.
Atau ketika hujan sewaktu mau pulang kerja, tahu-tahu ada jas hujan disposable terselip di tasku. Aku tidak tahu pasti itu dari siapa, tapi yang jelas, baru kali ini selama aku bekerja dan ada orang misterius memberiku jas hujan seperti itu. Aku semakin yakin kalau itu perbuatan Garra.
Ada satu momen yang membuatku sadar kalau aku memang takut kehilangan Garra. Saat itu, sudah beberapa hari aku tidak melihat Garra. Bahkan ketika aku masuk ke ruang divisinya pun, lelaki itu tidak ada. Aku mulai penasaran dan bertanya-tanya ke mana Garra?
Hingga akhirnya aku mendapat jawaban dari April kalau Garra sakit. Aku tidak mengerti April tahu dari mana, yang jelas kabar itu membuatku betul-betul khawatir dan cemas. Tubuhku tiba-tiba lemas, kesemutan, dan bingung harus melakukan apa selain kelimpungan sendirian.
Tumben sekali dia sakit sampai lama begitu dan dia tidak memberiku kabar. Tapi, setelah kupikir lagi, mungkin dia tidak mau membuatku cemas atau juga mungkin dia merasa sudah tidak ada hubungan apa-apa denganku sehingga dia tidak perlu memberitahuku soal keadaannya.
Hingga dua hari dari kabar itu kudengar, tahu-tahu Garra muncul di loker ketika pagi hari dan sesaat sebelum dilaksanakan apel. Melihat lelaki itu, aku speechless beberapa jenak dan langsung kutarik tangannya. Tidak peduli kami sedang di loker dengan tatapan orang-orang. Tidak peduli bagaimana mereka akan menilaiku. Tidak peduli bagaimana perasaan Garra ketika tangannya aku genggam tiba-tiba. Yang kupedulikan hanyalah perasaan lega bahwa mengetahui Garra baik-baik saja.
“Kamu nggak apa-apa, kan?” kutanya sambil menatapnya.
Garra terdiam cukup lama sampai dia melirik tangannya yang aku genggam. Aku yang sudah mulai sadar dengan sikapku yang terlalu frontal, aku buru-buru melepaskan tanganku. Aku jadinya salah tingkah.
Garra tersenyum. Senyuman itu adalah senyuman yang selalu aku rindu.
“Aku baik-baik aja, kok,” katanya.
“Aku denger, katanya kamu sakit? Sakit apa? Kok bisa lama gitu?”
“Tipus. Kebetulan Minggu kemarin aku pulang ke Cianjur dan sakit di sana. Sempet di rawat beberapa hari, tapi aku minta pulang.”
Cianjur adalah rumah Garra dan dia asli orang Cianjur. Tepatnya, Cipeuyeum.
“Kenapa?”
“Nggak betah,” katanya sambil senyum. “Sembuhnya minum air cacing aja.”
“Syukur deh kalau gitu, lega aku dengernya.”
Garra senyum.
Tiba-tiba, beberapa karyawan mengerumuni Garra dan bertanya soal keadaannya. Dan aku memilih untuk pergi dari tempat itu dan bergabung dengan banyak orang yang sudah bersiap untuk mengikuti apel pagi.
Momen itu membuatku sadar bahwa, tidak peduli dengan apa status aku dan Garra sekarang. Rupanya aku memang begitu takut kehilangan Garra.
***
Ketika sampai rumah, aku termenung di dalam kamar, sendirian. Tiba-tiba, pikiranku di penuhi oleh Garra. Entah mengapa kepalaku selalu saja menyimpan segala kenangan dengannya. Apalagi Garra sering kali menghabiskan waktu di rumahku, otomatis segala aktivitasnya terekam jelas dalam ingatanku.
Aku berbaring sembari menatap langit-langit kamar, seolah wajah Garra tergambar jelas di sana bagaimana saat dia tersenyum manis padaku. Apalagi, ketika pagi tadi aku memegang tangannya yang terasa hangat.
Situasi terasa sangat sunyi-senyap. Tidak ada suara apa pun yang terdengar. Hening, pekat tanpa suara. Akhirnya, aku gunakan waktuku yang terasa hampa itu dengan mendengarkan lagu yang kuputar dari ponsel. Kuputar lagu dari Melly Goeslaw yang judulnya Bimbang.
Ada liriknya yang berhasil menamparku,
“...Kata orang, rindu itu indah
Namun bagiku, ini menyiksa
Sejenak kupikirkan
Untuk ku benci saja dirimu
Namun sulit ku membenci...”
Aku memejamkan mata, merasakan bagaimana rindu ini sungguh sangat menyiksaku. Biasanya, kalau aku sedang rindu Garra, aku langsung menelepon atau mengirim pesan padanya. Atau aku memintanya untuk berkunjung ke rumah. Namun, sekarang, boro-boro aku memintanya untuk menemuiku, saling mengirim pesan saja tidak pernah. Ponselku tidak ada notifikasi lagi dari Garra. Seolah duniaku sangat hampa dan kosong.
Rasanya, semakin aku memikirkan Garra semakin aku sadar bahwa, masa sih aku menyerah begitu saja hanya karena aku dilabrak sama perempuan itu? Dan masa sih aku melepaskan Garra oleh karena aku cemburu melihat dia mengobrol dengan perempuan itu tanpa aku dengar alasan dia mengobrol untuk kepentingan apa.
Aku berpikir bahwa, masa dia saja yang memperjuangkan hubungan ini tapi aku sendiri yang justru tidak tahu diri, bersikap semena-mena dan membuat Garra akhirnya menyerah. Aku sadar, aku tidak mampu untuk melepas Garra dalam hidupku. Tanpanya, duniaku terasa kosong dan sepi. Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa dan harus bagaimana.
Aku hanya sering kali melamun dengan memaki diriku sendiri yang sok jagoan dan sok kuat. Padahal dalam relung hatiku terdalam, aku sangat lemah dan takut.
Akhirnya, aku mengirim pesan pada Garra dan bilang padanya bagaimana penyesalan selalu menghantuiku, aku tidak peduli bagaimana dia membalas, bagaimana dia bereaksi dan bagaimana dia peduli. Yang jelas, aku hanya mengutarakan semua isi hati.
Kira-kira, pesanku pada Garra seperti ini,
[Garra ... aku mau bicara soal keputusan aku tempo lalu tentang hubungan kita. Setelah aku pikir-pikir, maafin aku ya, waktu itu aku benar-benar egois. Aku emang keras kepala dan malah mentingin ego daripada perasaan. Dan maaf aku malah marah-marah sama kamu, malah ingkar sama janjiku sendiri tanpa aku denger dulu penjelasan kamu. Aku kayak gini cuma, aku ini insecure, Gar. Aku malu, aku nggak pede jalan sama kamu, berdampingan sama kamu. Aku ngerasa diri aku itu kurang. Aku minta maaf, Gar. Aku nggak mau putus.]