SETIAP WAKTU ADALAH KENANGAN

Linda Fadilah
Chapter #14

13. SWASTAMITA DI CAKRAWALA

Hari demi hari hubungan asmaraku dengan Garra sungguh sangat terjalin semakin indah dan dekat. Semakin berwarna dan hangat. Aku banyak belajar padanya apa arti dari kesetiaan dan menghargai pasangan dalam setiap momen yang pernah kami lewati.

Malam itu, tepat malam Minggu, Garra ke rumahku. Dia mengajakku ke pasar malam yang aku tidak tahu letaknya di mana. Tapi, dia bilang,

“Tempatnya seru. Banyak jajanan sama wahana gitu. Ala-ala Dufan.”

Akhirnya aku setuju. Sebetulnya aku mau di bawa Garra ke mana saja karena aku yakin kalau sama dia suasana bakalan seru dan asyik. Tidak akan terasa membosankan.

Aku turun dari motor setelah Garra sudah memarkirkan di pelataran. Pandanganku seolah terpana pada berbagai wahana yang ada di pasar malam yang dihiasi oleh berbagai lampu warna-warni dan memancar indah. Suasana begitu sangat ramai dan penuh canda tawa, teriakan histeris dan berbagai suara kebahagiaan kudengar jelas dalam indra pendengaran. Sungguh, aku merasa sangat bahagia Garra membawaku ke tempat itu.

“Yuk?” Garra menggenggam tanganku dan membawaku masuk.

Garra mengajakku berkeliling. Benar apa kata Garra, banyak stan makanan dan wahana layaknya seperti di Dufan. Mungkin, ini Dufan KW, tapi tidak untuk seraut kebahagiaan yang terpancar dari wajah setiap pengunjung.

“Seru banget, ya?” kataku dan menatap Garra.

Garra menatapku dan senyum. “Kamu suka?”

Aku menyungging senyum dan mengangguk girang. “Suka bangeeett. Apalagi sama kamu!” aku memeluk tangan kiri Garra yang semula aku genggam.

Garra mengajakku membeli beberapa jajanan seperti cumi bakar, kentang spiral dan minuman. Kami berkeliling sembari melihat-lihat wahana yang ada di sana, dengan berbagai ekspresi senang orang-orang terpancar indah dari seraut wajah mereka. Suara tawa dan teriakan sungguh mendominasi diiringi suara musik yang berdengung dari masing-masing wahana.

Garra menunjuk wahana seperti kora-kora. “Mau naik itu, nggak?”

“Mauuu ... tapi ... takut,” aku melirik Garra dengan memasang seraut wajah seolah takut dan mungkin saja terlihat manja.

Garra tertawa dan mengacak lembut puncak rambutku. “Ada aku. Yuk?”

Alhasil, aku dan Garra naik kora-kora yang lumayan membuat jantungku seolah keluar dari tempatnya semula. Aku sampai gemetaran dan sepanjang wahana itu berjalan, aku hanya menenggelamkan wajahku di lengan atas Garra dan mencengkeram kuat tangannya sambil teriak-teriak enggak jelas. Sungguh, aku merasa takut tapi aku berusaha beranikan diri sambil komat-kamit baca doa supaya tetap selamat.

Aku memang payah.

Selepas itu, ketika kami sudah turun, aku lihat Garra seperti seseorang yang merasa bersalah karena sudah mengajakku naik wahana itu. Aku yang masih gemetar, dengan tidak aku sangka Garra justru menarik tubuhku masuk ke dalam pelukannya. Aku membeku dan juga membatu. Jantungku yang semula masih berdebar seolah kembali berdebar semakin kencang tanpa bisa kukendalikan.

Ini kali pertama Garra memelukku bahkan tanpa kuduga, dia begitu berani melakukan itu di depan khalayak umum. Seolah orang-orang di sekelilingnya tidak begitu penting baginya, seolah rasa malunya redam dan tidak ada yang lebih penting dari menenangkan aku yang seperti orang tremor.

“Gar ....”

“Maafin Garra, ya?” dia mengelus lembut rambutku.

Refleks, aku langsung melepas pelukan Garra. “Gar ... malu. Di sini banyak orang. Kamu pikir cuma kita doang?”

Aku sedikit agak jengkel tapi sepertinya wajahku tidak bisa bohong kalau aku gugup bukan kepalang. Kurasai aliran darahku berkumpul di wajah dan kurasai terasa begitu hangat dan kuyakini pasti memerah.

“Kamu kenapa nggak bilang kalau kamu takut ketinggian?” tanyanya dengan sorot mata teduh menatapku namun bisa kutangkap dari bola matanya terpancar rasa bersalah.

“Aku nggak takut, cuma agak kaget aja. Aku kira nggak akan sekencang itu. Ternyata kenceng banget.”

Garra tersenyum sembari menyelipkan sejumput rambutku yang terurai ke belakang telinga. Tatapan teduhnya membuatku mabuk kepayang. Entah kenapa malam itu sekelilingku seolah tidak ada yang menarik perhatian kecuali Garra. Bodo amat dengan pandangan orang-orang terhadapku dan Garra, yang jelas aku merasa sangat senang.

Namun, malam itu mendadak gerimis turun. Aku langsung menatap langit yang gelap. Entah kenapa juga aku refleks melakukan itu. Aku berpaling menatap Garra yang juga sedang menatap langit, Garra menatapku ketika aku menatapnya.

“Gar ... hujan,” kataku sedikit agak cemas tapi ada senangnya.

Aku cemas karena aku tidak mau Garra sampai kehujanan dan aku senang karena turun hujan yang begitu lembut mulai membasahi kulitku.

“Kenapa? Biarin aja. Aku suka hujan,” kata Garra yang membuatku tercengang tak percaya.

“Kamu ... Gar, nanti kamu sakit.”

“Ada obat,” katanya sambil senyum. “Aku suka hujan, Ca.”

“Kenapa kamu suka hujan?”

“Karena hujan ... bisa buat aku merasa lepas. Aku bisa teriak sekenceng yang aku mau tanpa ngeganggu orang-orang.”

“Tapi, kalau hujannya kecil? Pasti didenger orang, kan?”

“Kalau hujannya kecil, aku suka sengaja jalan di bawah guyuran air itu. Menikmati setiap momen air hujan yang turun mulai nyentuh aku, dari mulai rambut, sampai ke kaki. Aku selalu mengikuti langkah kaki aku jalan yang entah ke mana bakalan bawa aku pergi.”

Aku menyungging senyum. Aku tidak menyangka bahwa Garra sama sepertiku. Penyuka hujan. Pantas saja dia pernah bilang soal filosofi hujan yang membuatku tersadar akan kehidupan.

Hujan turun semakin deras hingga berhasil mengguyur kami sampai basah kuyup. Orang-orang berlarian mencari tempat untuk berteduh, semua wahana terpaksa harus berhenti beroperasi. Sementara berbeda dengan aku dan Garra, kami memilih diam dan menatap langit malam yang begitu sangat gelap. Merasakan rentikan air hujan menyentuh kasar wajahku. Aku menyungging senyum bahagia dan kurentangkan tangan, menikmati setiap tetesan air hujan seolah menyerbu untuk memelukku dengan erat.

Kulihat Garra pun begitu. Dia menarik tanganku untuk selanjutnya membawaku berlari menuju parkiran motor.

“Ke mana?” kutanya.

“Naik aja,” katanya.

Aku naik ke boncengan motornya dan motor melaju pergi. Di bawah guyuran hujan, kami tertawa terbahak-bahak dan terlibat ke dalam berbagai perbincangan.

“Kamu tahu nggak, dulu, waktu aku kecil, aku kan main hujan-hujanan, terus Mama marahin aku, tapi akunya malah kabur. Dicariin sampai malem, padahal aku ngumpet,” kataku ke Garra.

“Hah? Ngumpet di mana?”

“Di kebun depan rumah. Di depan rumah aku ada kebun, kan? Nah, di situ!”

Garra ketawa. “Kok bisa nggak ketahuan?”

“Soalnya aku naik ke pohon Mangga. Aku sebenernya denger Mama teriak nyariin. Tapi aku sengaja, soalnya aku marah.”

“Bukannya Mama kamu yang marah? Kenapa kamu ikutan marah?”

“Abisnya nggak bolehin aku hujan-hujanan.”

Lihat selengkapnya