SETIAP WAKTU ADALAH KENANGAN

Linda Fadilah
Chapter #15

14. SELALU KHAWATIR

Malamnya, sekitar pukul delapan, aku dan Garra sudah pulang dan hampir sampai rumahku. Malam itu rasanya aku ngidam onde-onde mini yang selalu dijual abang-abang di pinggir jalan. Kebetulan, jalan yang kami lewati pasti melewati abang-abang penjual onde-onde itu. Aku bilang ke Garra,

“Sayang ... nanti di depan berhenti, ya? Aku pengen beli onde-onde mini dulu.”

“Iya, sayang,” katanya.

Ketika sampai, ternyata abang-abang itu enggak jualan, alias tutup. Gerobaknya pun sudah dibungkus pakai terpal biru. Aku mendengus sebal. Padahal, rasa onde-onde itu sebelumnya sudah kurasai seperti ada di lidahku bahkan air liurku mendadak banyak dan harus aku tahan supaya tidak ngeces.

Tapi harapan tidak sesuai realita. Aku sudah berekspektasi tinggi tetapi kenyataan justru anomali.

“Nggak jualan, sayang,” kata Garra sambil membalikkan setengah tubuhnya untuk menatapku.

Aku menghela napas. Pandanganku tertuju ke gerobak onde-onde itu dan berpaling menatap Garra. “Udah habis kali, lagian ini udah malem juga.”

“Gimana dong?”

“Ya udah pulang aja, nggak apa-apa,” kataku, bagai putus asa.

“Atau kita cari dulu? Hm?”

Aku menggeleng. Aku tidak ingin menyusahkan Garra oleh karena malam itu sudah cukup larut dan aku yakin Garra pasti lelah oleh karena seharian ini begitu banyak menguras banyak energi. Apalagi dia yang bawa motor selama 3 jam penuh tanpa istirahat sekalipun.

Jadi, aku berusaha mengerti dan menenggelamkan rasa inginku melahap onde-onde.

“Nggak usah. Gampang, nanti lagi aja,” kataku.

“Tapi, kan, kamu pengen?”

“Nggak pengen banget kok,” kataku sambil senyum. “Udah, ya, pulang? Aku gerah banget pengen cepet mandi.”

Garra tersenyum dan mengangguk, hingga akhirnya motor kembali melaju pergi.

“Sayang, aku besok ke Cianjur,” kata Garra.

Aku meliriknya di kaca spion kiri. “Mau pulang? Kenapa hari Senin? Kamu nggak akan kerja?”

“Justru kerja,” katanya. “Aku disuruh Pak Chandra buat sidak cabang Cianjur.”

“Lho, kok jadi kamu? Itu, kan, bukan bagian kamu?”

“Iya, tapi bukan aku aja, banyak. Dari pusat juga banyak. Aku disuruh jadi perwakilan dari cabang sini.”

“Oh ...,” aku mengangguk-angguk. “Ya udah kalau gitu. Aku kira pulang.”

“Minggu depan aja,” katanya.

“Ya udah,” kataku.

Dan esoknya, Garra menjemputku dan seperti biasa, kami berangkat bersama. Garra masuk ke dalam kantor hanya untuk mengambil beberapa berkas dan kemudian kembali pergi untuk ke Cianjur. Bahkan, kami tidak sempat berpamitan oleh karena Garra buru-buru.

Sorenya, ketika waktu jam pulang, aku dan ketiga sahabatku mengantre untuk cek body. Dan ada seseorang, aku tidak ingat siapa namanya, yang jelas laki-laki menepuk bahuku. Aku yang sedang mengobrol dengan April, refleks menoleh.

“Ica ... tadi di cariin Garra,” katanya.

“Garra?” kataku seolah tak percaya. Karena kukira dia masih di Cianjur.

“Iya,” katanya.

“Di mana?”

“Di parkiran atas.”

“Oh, oke. Makasih, ya!”

Cowok itu tersenyum dan mengangguk. Untuk kemudian dia pergi lebih dulu.

“Bukannya ke Cianjur, ya?” tanya April.

“Iya,” kataku.

“Nggak nginep?”

“Nggak tahu. Malah aku kira, dia nginep.”

“Nggak tahan kali dia,” kata April sambil senyum jahil. Entah apa artinya itu, tapi sungguh membuatku geli. Apalagi ketika dia mengedikkan bahunya ke bahuku.

“Apaan, sih?” kataku. “Nggak tahan apaan?”

“Nggak tahan rindu,” katanya sambil cekikikan dan aku ketawa.

“Lebay,” kataku.

Kami sampai di loker dan beres-beres. Sampai akhirnya, April, Ike dan Maudy pamit duluan dan meninggalkan aku sendirian yang masih ganti sandal.

Aku mengeluarkan ponsel yang belum aku mainkan sejak selesai istirahat tadi. Aduh, pasti Garra sudah mencariku. Dan benar saja, ada beberapa panggilan tak terjawab, beberapa pesan belum dibaca dari Garra.

[Aku nunggu di parkiran atas, ya, sayang.]

Aku membalas...

[Oke, aku jalan ke situ.]

Aku berjalan keluar loker dan berjalan menuju tangga samping loker untuk menuju langsung ke parkiran lantai atas. Aku menemukan Garra sedang duduk di samping motornya sendirian dengan pandangan menatap sekitar dan dahinya mengernyit kepanasan. Aku menyungging senyum dan bergegas kuhampiri dia dengan berlari kecil.

“Hei!” sapaku dan dia langsung menoleh ke arahku.

Dia tersenyum dan langsung beranjak dari duduknya. Aku berdiri tepat di hadapannya.

“Kok kamu pulang, sih? Aku kira kamu nginep di Cianjur. Pulang ke rumahmu. Kenapa malah pulang ke sini?”

Garra tersenyum, dia mengacak gemas puncak kepalaku. “Nggak apa-apa dong. Aku, kan, pengen jemput kamu.”

“Emangnya udah selesai, ya, kerjaannya?”

“Aman,” katanya.

Aku enggak tahu maksud kata aman itu apa? Sudah apa belum? Aku tidak bertanya soal itu. Aku keburu girang karena bertemu Garra setelah seharian bekerja tidak melihat wajahnya. Rasanya sedih dan tidak semangat.

“Ya udah, yuk, naik?” ajaknya.

Dia menaiki motornya lebih dulu dan pakai helm. Dia memberikan helm padaku dan aku pakai.

Kemudian Aku pun ikut naik di boncengannya. Tiba-tiba, Garra memberikan kantong keresek kecil berwarna hitam padaku. Aku dibuat kebingungan dan sedikit agak kaget. Aku tidak tahu apa di dalamnya sampai aku mengambilnya,

“Ini apa?” kutanya.

“Coba buka aja,” kata Garra.

Garra belum melajukan motornya, bahkan mesinnya juga belum dia nyalakan.

Dengan rasa penasaran, aku mengikuti instruksi Garra untuk membukanya. Begitu terperangah aku ketika melihat ternyata itu onde-onde mini yang aku pengen semalam. Refleks aku menyungging senyum lebar dengan rasa haru dan tidak menyangka.

“Ih, kok bisa?” kataku sambil menatap Garra.

Dia berbalik menatapku sambil senyum. “Bisa dong. Waktu jalan pulang dari Cianjur, sepanjang jalan aku cari yang jual onde-onde mini. Alhamdulillah ketemu. Soalnya aku inget, semalem, kan, kamu pengen onde-onde.”

“Ih, ya Allah. Padahal nggak apa-apa, malah aku udah lupa.”

Garra tersenyum. “Nggak apa-apa, aku ngerasa punya hutang aja.”

“Kok hutang?” kutanya kebingungan.

“Iya, soalnya belum turuti kemauan Ica.”

Aku semakin terharu dibuatnya. Aku mengelus lembut pipinya. “Padahal nggak apa-apa. Jadi ngerepotin kamu, kan.”

“Nggak. Kamu nggak pernah ngerepotin. Ya udah, yuk, pulang?”

Aku mengangguk girang sambil senyum. “Ayok!”

Garra menyalakan mesin dan melaju pergi.

Aku betul-betul tidak menyangka dengan apa perjuangan dia untuk menuruti keinginanku. Meski ini hal sederhana, namun semua itu menjadi begitu sangat bermakna oleh dirinya yang berjuang membuatku selalu senang. Membuatku begitu sangat diistimewakan dan membuatku merasa sangat dicintai habis-habisan.

Mungkin kamu akan menilai bahwa ini hal biasa saja dan tidak begitu istimewa atau mungkin kamu mengira aku ini terlalu berlebihan membangga-banggakan Garra. Tetapi menurutku ini berbeda, di spesialkan oleh orang yang kita cintai akan terkesan indah dan penuh makna, bahkan dengan cara sederhana tapi hati bisa berbunga-bunga, dengan cara sekecil apa pun itu sudah menunjukkan bahwa dia benar-benar peduli dan perhatian. Ketimbang di Ratukan oleh seseorang yang sama sekali tidak membuat kita nyaman.

Mungkin saja, pandanganmu dan pandanganku berbeda. Namun, inilah yang kurasa. Kumengerti setiap pandangan orang-orang berbeda cara menanggapi setiap peristiwa, aku hargai itu. Tapi aku yakin, apa yang aku rasakan akan kamu rasakan juga bila kamu bersama dengan orang yang tepat.

***

Hari itu hari Kamis, aku tidak ingat tanggal berapa, yang jelas awal bulan November. Kantor tempatku bekerja mengadakan acara Safari Sukses yaitu sebagai sebuah acara untuk menghargai kinerja para karyawan karena sudah bekerja keras, dengan cara mengadakan berbagai lomba sebagai hiburan.

Iya, semacam sebuah jeda bekerja dan digantikan dengan bersenang-senang untuk merefresh pikiran dan raga karena sudah berjibaku dan berkutat dengan setumpuk pekerjaan. Acara ini selalu dilaksanakan setiap satu tahun sekali.

Untuk mengikuti lombanya, semua divisi digabung untuk akhirnya dipecah dan dibagi menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari sepuluh orang—cewek dan cowok—dengan tujuan untuk saling mengenal satu sama lain dan mengetes kekompakan.

Banyak sekali lomba yang diadakan, seperti tarik tambang, memindahkan air dari dalam drum air ke dalam ember menggunakan mangkuk kecil dengan jarak sepuluh langkah, lomba memasukkan bola tenis ke dalam kardus dengan cara bola tenisnya diikat menggunakan tali untuk kemudian tali itu melingkar di pinggang setiap peserta, ada juga lomba balap karung tapi dengan cara berjongkok dan pakai helm. Masih banyak lagi lomba yang diadakan dan seru-seru.

Suasananya sangat ramai dan meriah sekali waktu itu, banyak tawa, teriak dan keributan untuk saling mendukung setiap peserta jagoannya.

Sayangnya, saat itu aku tidak satu kelompok sama Garra. Jadi aku mau tidak mau harus bersaing dengannya untuk merebut kemenangan. Aku ingat, saat lomba memasukkan bola ke dalam kardus, aku bertanding dengan beberapa perempuan dari kelompok lain dan termasuk kelompok Garra. Saat itu, kelompokku teriak paling kencang dan heboh menyebut namaku, memberiku semangat tapi yang ada aku justru malu.

Apalagi ketika bola itu susah sekali aku masukkan, padahal aku sudah menggoyangkan pinggulku untuk berusaha memasukkan bola itu ke dalam lubang kardus, tapi sulit. Sampai aku dengar suara teriakan lantang yang aku kenal,

“ICA PASTI MENANG ... EH, ANGGI JUGA!”

Dia Garra yang labil dan tidak suportif. Orang-orang sampai meneriaki Garra oleh karena dia tidak menentu untuk dukung siapa. Kebetulan, Anggi itu dari kelompoknya. Semua tertawa dan aku berusaha fokus pada bola itu.

 Tapi sayangnya, aku tidak menang. Kelompok Garra juga tidak menang. Yang menang itu dari kelompok April dan Ike karena kulihat mereka mainnya bar-bar alias rusuh. Belum lagi supporternya paling membahana.

Lomba-lomba berikutnya tidak kalah seru, apalagi ketika memindahkan air ke dalam ember. Banyak peserta yang terpeleset dan akhirnya terjatuh. Bukannya ditolong, malah ditertawakan. Tapi itu enggak masalah, soalnya yang jatuhnya juga tertawa terpingkal-pingkal, seolah tidak sakit sama sekali tapi yang ada malu.

Sampai baju kami semua basah kuyup. Kulihat rambut Garra basah seperti habis keramas karena dia terlalu bersemangat.

Lihat selengkapnya