Beberapa hari setelah aku menemani Garra ke Dokter, dan aku selalu bulak-balik tempat kost-nya untuk mengantar makanan dan sedikit rawat dia, akhirnya dia sudah sembuh dan sudah masuk kerja lagi. Senang sekali rasanya melihat dia kembali sehat dan segar-bugar. Aku jadi tidak begitu khawatir lagi.
Hari itu, aku berangkat kerja dengan Garra lagi bersama pagi yang indah. Menembus kabut tipis, udara dingin menyusuri jalan di atas motor bersama Garra untuk menuju sampai kantor.
Aku dan Garra pisah di gerbang untuk selanjutnya Garra menuju pelataran parkir. Memang selalu begitu. Aku berjalan sendirian dengan secarik senyum tipis dan embusan angin pagi begitu menyejukkan. Seolah Semesta paham apa yang aku rasakan.
Tiba-tiba, ada yang menepuk pundakku dari belakang dan refleks aku menoleh, kudapati Ike dan Maudy, jangan tanya April ke mana, dia selalu kesiangan dan hampir setiap hari kerjaannya begitu, hingga atasan sudah lelah hukum dia.
“Hei!” kusapa mereka yang berdiri di samping kanan dan kiriku.
“Gimana pacarmu? Udah sembuh?” tanya Ike.
Aku mengangguk dan senyum. “Alhamdulillah, udah. Tadi bareng sama dia.”
“Syukur, deh.”
“Ngomong-ngomong ... nanti kita istirahat ke mana?” tanya Maudy dan langsung dapat toyoran dari aku dan Ike.
“Masuk kantor aja belum, kerja aja belum, udah nanya istirahat,” kata Ike.
“Iya nih, pikirannya makan mulu!” kataku.
“Kalau nggak makan, ya mati,” kata Maudy. “Abisnya kalau mikirin kerjaan, pasti gitu-gitu aja, flat. Bener nggak, sih?”
“Ya, iya juga, sih,” kata Ike dan aku mengangguk setuju.
“Jadi pikirin itu istirahat mau ke mana nanti? Jangan ujung-ujungnya malah ngang-ngong nggak jelas di pintu karyawan sampai dua puluh menit, abisin waktu!”
“Ya udah, nanti aja kalau udah di dalem, deh, pikirinnya,” kataku dan mereka setuju.
Tidak berasa, kami sudah sampai loker. Sudah ada Garra di sana sedang menyimpan tasnya dan merapikan seragamnya. Aku menatapnya dan kebetulan dia juga menatapku.
Aku senyum. Dia juga.
“Simpen di sini tasnya,” kata Garra.
Aku awalnya diam, enggan menyimpan tas bareng dia di loker yang sama. Tapi, setelah kulihat ternyata tidak ada lagi tempat. Belum lagi tiba-tiba Ike merebut tasku dan langsung dikasih ke Garra.
“Kebanyakan mikir,” kata Ike.
Aku hanya senyum. Padahal bukan kebanyakan mikir, hanya saja aku malu banget dilihat banyak orang. Meski sebetulnya mereka semua mungkin saja sudah tahu hubungan antara aku dengan Garra. Tapi tetap saja, aku malu karena aku sungguh tidak terbiasa berpacaran diumbar pada publik. Aku lebih suka Backstreet. Itu lebih nyaman dan aman, menurutku dan bagiku. Entah, kalau bagimu.
Kami keluar loker bersama dan berbaris karena apel pagi akan segera dimulai.
***
Waktu istirahat tiba, saat itu aku istirahat bersama Ike karena April belum selesai perihal pekerjaannya dan April meminta Maudy untuk menunggu. Alhasil, aku dan Ike duluan.
Sampai di depan loker, ketika aku menunggu Ike berganti sepatu pakai sandal, tiba-tiba Garra mengirim pesan padaku.
[Sayang, kamu bisa ke parkiran mobil sebentar, nggak?]
Aku membalas...
[Ngapain ih?]
Garra membalas...
[Sini dulu bentar]
Aku membalas...
[Ya udah bentar]
Ike keluar dari loker menghampiriku dan aku bilang ke dia untuk tunggu sebentar soalnya Garra memintaku untuk menemuinya dan Ike setuju.
Aku bergegas menghampiri Garra. Karena kebetulan, parkiran mobil yang dimaksud Garra itu tepat di depan loker. Jaraknya lumayan dekat dan aku berlari kecil untuk segera sampai di sana. Aku celingak-celinguk menatap sekitar, mencari Garra yang tidak terlihat batang hidungnya.
Aku mengirimi dia pesan,
[Kamu di mana? Aku udah di parkiran]
Dia tidak membalas, tapi kudengar suara Garra memanggil namaku. Aku menoleh ke sumber suara dan kulihat dia melambaikan tangan di belakang mobil Avanza berwarna hitam yang sedang terparkir. Pantas saja tidak kelihatan. Lantas, aku bergegas menghampirinya.
“Ada apa?” kutanya.
Garra tersenyum. Dia memberikan aku paperbag kecil berwarna cokelat.
“Apa ini?” kutanya dan aku ambil.
“Buat kamu,” katanya, sambil senyum.
“Apa?” kataku, keheranan sambil menatap wajahnya.
“Buka aja.”
Akhirnya aku buka paperbag itu dan ada sebuah kotak. Seperti kotak jam tangan. Aku mengernyitkan dahi heran dan kutatap Garra penuh selidik. Dia hanya tersenyum. Aku buka kotak itu dan benar dugaanku, sebuah jam tangan berwarna hitam terlihat sangat cantik.
Aku menyungging senyum haru, aku menatap Garra, tidak percaya.
“Ih ... aku kan nggak minta?” kataku.
“Ya, kan, ini mah dari aku. Tuh, buat couplean sama aku ...,” Garra menunjukkan jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Beda bentuk aja, kan? Warnanya sama. Aku yang ini dan kamu yang ini.” Dia menunjuk jam tangan miliknya kemudian jam tangan yang dia kasih ke aku.
“Ih, kamu mah dasar.” Aku menyungging senyum. Sungguh sangat terharu dengan kejutan kecil yang dia kasih ke aku. Ini begitu sangat berharga dari apa pun yang kudapat.
Garra senyum. “Ya udah kalau gitu ... pakai, ya?”
Aku mengangguk dan Garra memakaikan jam tangan itu di pergelangan lengan kiriku.
“Makasih, ya?” kataku.
Garra tersenyum dan menepuk-nepuk lembut puncak kepalaku. “Iya, sama-sama.”
“Ya udah kalau gitu aku pergi dulu, ya? Ike udah nungguin soalnya.”
“Aku pengen ikut,” katanya. “Pengen istirahat bareng kamu sekaliiiii aja.”
Seraut wajahnya bagai seorang anak kecil yang memohon pada Ibunya.
Aku menggeleng. “Nggak mau. Aku malu dilihatin orang. Apalagi jadi pusat perhatian. Nanti aja, ya?”