Hari itu adalah hari Rabu. Seluruh karyawan diminta untuk berkumpul di ruangan meeting oleh karena akan ada pembahasan yang begitu penting untuk acara HUT perusahaanku dan juga ada seleksi pemilihan, untuk beberapa karyawan yang menjadi perwakilan dari masing-masing divisi untuk mengunjungi beberapa kantor cabang dan pusat.
Saat itu, dari divisiku yang menjadi perwakilan yaitu Ina dan Bahrul yang diminta untuk ke kantor pusat yang ada di Bandung. Sementara dari divisi Garra yaitu Garra sendiri yang diminta untuk ke Cabang Cianjur.
Orang-orang yang sudah terpilih itu kemudian diminta untuk berangkat keesokannya, tepat di hari Kamis oleh karena acaranya di hari Jumat dan pagi-pagi.
Meeting selesai sekitar pukul satu siang dan kami semua istirahat. Kali itu aku tidak lagi istirahat bersama Garra, aku sudah cukup malu menjadi pusat perhatian orang-orang dan aku tidak mau itu kembali terulang. Biar saja hanya sekali dan jangan lagi.
Aku istirahat bersama Ike, April dan Maudy yang saat itu kami mengunjungi sebuah rumah makan yang lumayan cukup agak jauh dari kantor dan harus berjalan kaki oleh karena di antara kami tidak ada yang bawa kendaraan.
Di jalan, aku jalan berdampingan dengan Ike. Sementara Maudy dan April. Aku dan Ike mengobrol selayaknya orang 'normal' pada umumnya. Sedangkan Maudy dan April justru sebaliknya. Mereka seperti sepasang kucing dan tikus yang tidak akan bisa diam kalau sudah disatukan. Selalu saja ada keributan meski itu hanya candaan dan selalu kejar-kejaran membalas jambakan atau pukulan satu sama lain. Dengan gelak tawa dan pekikan yang bisa memekakkan telinga. Bisa saja sebagian orang menganggap bahwa terjadi keributan dari mereka berdua.
Aku dan Ike hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka.
Kami sampai dan memesan. Untuk selanjutnya kami menunggu sambil mengobrol ngalor-ngidul membahas apa pun yang ingin kami bahas. Dengan gelak tawa dan canda menyelimuti kami berempat. Meskipun kami hanya berempat, tetapi rasanya seperti se-RT karena begitu sangat heboh dan ramai. Sampai orang-orang sesekali memusatkan atensinya pada kami dan kami sungguh tidak peduli.
Pulangnya, seperti biasa, aku bersama dengan Garra. Di jalan, Garra mengajakku untuk beli dulu minuman seperti Milktea. Aku setuju dan kami mampir ke sebuah gerai minuman. Garra memesan dan aku menunggu. Garra menghampiriku sambil memegang selembar kertas nomor antrean.
Dia duduk di hadapanku sambil senyum.
“Berarti kamu besok ke Cianjur, ya?” kutanya.
Garra mengangguk. “Iya, sayang.”
“Nginep di rumah berarti, ya?”
Garra mengangguk. “Iya.”
“Sekalian aja pulang ke sininya nanti hari Senin,” kataku. “Sekalian pulang kayak biasa.”
“Iya, gimana nanti aja,” katanya.
Nama Garra dipanggil oleh karena minuman pesanan Garra sudah jadi. Garra pergi untuk mengambil dan kembali menghampiriku.
“Yuk?” ajak Garra dan aku mengangguk untuk kemudian beranjak dari duduk dan melangkah pergi menuju motor Garra. Memakai helm dan naik ke boncengan, setelah itu motor melaju pergi.
Malamnya, sekitar pukul sepuluh, aku hendak tidur dan Garra kembali mengirim pesan padaku. Padahal sebelumnya dia sudah pamit mau tidur.
[Besok aku anterin kamu, ya, sayang?]
Aku mengernyit heran membaca pesan masuk dari Garra. Bukannya besok dia harus ke Cianjur?
Aku membalas...
[Bukannya kamu besok harus udah berangkat ke Cianjur, ya?]
Garra membalas...
[Nggak apa-apa. Pokoknya besok pagi aku jemput kamu.]
Aku membalas...
[Ya udah terserah kamu deh]
Aku aneh juga pada Garra. Untuk apa dia mengantarku dulu sedangkan pihak Kantor meminta untuk para karyawan perwakilan berangkat hari Kamis semua serentak oleh karena untuk mempersiapkan diri agar tidak segala mendadak.
Saat itu aku berpikir, mungkin Garra ke Cianjur agak siang oleh karena jarak dari kotaku ke Cianjur hanya sekitar dua jam. Jadi, mungkin bisa untuk Garra mengorupsi waktu sedikit hanya untuk bertemu denganku lebih dulu sebelum dia berangkat.
Itu masuk akal.
Sampai keesokannya, tepat di hari Kamis dan pagi-pagi, ketika aku sedang pakai sepatu dan Mama sedang mengolesi roti tawar dengan selai cokelat dan stroberi. Kudengar ada suara motor berhenti di depan rumah, aku yakin kalau itu Garra. Senangnya hatiku. Aku segera pakai sweater hitamku.
“Sarapan aja dulu,” kata Mama.
“Takut telat,” kataku.
Aku beranjak dari duduk dan kukaitkan tas ranselku di bahu kanan sambil mengambil setangkup roti yang sudah Mama beri selai cokelat.
“Bawain juga buat Garra,” kata Mama seraya menyiapkan beberapa roti yang dimasukkan ke dalam kotak bekal.
“Nggak usah, Ma. Ini cukup,” kataku.
“Masa cuma satu? Itu mah buat Teteh doang. Ini buat Garra.” Mama memasukkan kotak bekal itu ke dalam tasku.
Jadi, mau tak mau aku harus bawa itu. Aku menyalami tangan Mama untuk pamit, “Ya udah, Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Mama. “Hati-hati.”
“Iya.”
Garra sudah berdiri di depan pagar sambil main ponsel ketika aku baru saja membuka pintu. Dia memakai celana jeans dengan sweater berwarna merah yang membalut tubuhnya. Entah kenapa saat itu Garra terlihat sangat tampan sekali.
“Hai!” kusapa dia saat aku sudah buka pagar.
“Udah siap?” tanyanya.
Aku mengangguk dan senyum.
“Mama mana?” tanyanya sambil kepalanya bergerak untuk melongok ke dalam rumah.
“Ada di dalem,” kataku.
“Mau pamit dulu,” katanya.
“Ya udah,” kataku dan aku kembali ke dalam untuk menemui Mama dan bilang kalau Garra mau pamit.
Mama mengelap tangannya dan langsung mengikutiku keluar untuk menemui Garra.
Garra sudah berdiri di depan pintu dan ketika melihat kemunculan Mama, dia menyungging senyum sambil mengangguk ramah.
“Berangkat dulu, ya, Tante,” kata Garra sambil menyalami tangan Mama.
“Iya, hati-hati, ya? Jangan ngebut.”
“Iya, Tan. Siap. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Garra dan aku berjalan menuju motor
“Mau ini?” Kutawari Garra roti yang aku bawa sebelum kami naik motor.
Garra mangap dan aku menjejalkan roti itu ke mulutnya. Garra mengangguk-angguk sambil mengunyah. Lalu naik ke atas motor dan memakaikan aku helm karena tanganku memegang roti.
Aku naik ke boncengannya dan aku gigit roti yang kupegang. Jadi, roti itu berdua dengan Garra. Dia belum tahu kalau Mama sudah memberi untuk Garra juga, tapi di tasku. Susah untuk ambilnya. Jadi, nanti saja kupikir setelah roti yang kupegang ini habis.
Motor sudah meninggalkan rumahku. Motor Garra tiba-tiba melambat ketika di perempatan. Kulihat dia dari kaca spion kiri dan dia justru malah melorotkan maskernya.
“Lho, kenapa dibuka?” kutanya.
“Mau lagi,” katanya.
Aku mengernyit tidak mengerti. “Mau apaan?”
“Roti ... masih ada, nggak?” tanyanya sambil melirikku di kaca spion.
“Oh, hahaha....” aku ketawa.
Aku langsung nyodorin roti itu ke mulut Garra dan langsung dia makan semuanya.
Setelah itu dia kembali memakai maskernya dan melajukan motornya dengan kecepatan normal.
“Kamu ke Cianjur mau jam berapa?” kutanya.
“Nggak tahu,” kata Garra. “Nanti aja deh, lagian deket ini.”
“Ya udah.”
Hingga motor berhenti tepat di depan gerbang kantor dan aku turun.
Aku membuka helm dan aku kasih ke Garra.
“Bentar,” kataku. Aku membuka tas ranselku untuk kukeluarkan kotak roti yang dititipkan Mama untuk Garra. “Ini, buat kamu. Dari Mama.”
“Apa ini?” tanyanya, mengambil kotak bekal itu.
“Roti tadi. Mama titip buat kamu.”
Garra senyum. “Wah, makasih banyak, ya, sayang.”
“Iya, ya udah aku masuk dulu. Ya udah, ya, Hati-hati. Dadaaahh!!” aku melambaikan tangan padanya. “Nanti kabari aku kalau kamu mau berangkat, ya?”
“Iya,” katanya sambil senyum.
Aku berlalu pergi meninggalkan Garra yang tidak kudengar suara motornya melaju. Aku yang penasaran, menoleh untuk menatap Garra. Ternyata dia masih ada di sana sambil melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaian tangannya sampai akhirnya dia melajukan motornya pergi.
***
Waktu istirahat tiba. Tapi entah kenapa saat itu aku malas untuk jajan atau makan di luar. Rasanya bosan dan tidak lapar. Jadi, aku putuskan untuk tidak mengambil istirahat dan memilih pulang pukul dua siang sebagai ganti potongan jam istirahat tidak kuambil.