Kukira, Mama sudah tidur ketika Garra pulang, nyatanya belum. Mama sedang menonton televisi bersama Kekey sambil nyemil makanan yang Garra dan aku beli. Aku gabung di sana sambil nonton televisi juga. Sebetulnya, ada yang ingin aku bicarakan pada Mama soal Garra. Aku jadi kepikiran dengan perkataan Garra yang mengajak aku untuk menabung bulan depan.
“Udah pulang?” tanya Mama.
Aku mengangguk. “Tadi mau pamit sama Mama, kirain udah tidur.”
“Belum. Ya udah nggak apa-apa.”
Aku terdiam. Mama juga.
Aku jadi penasaran bagaimana dengan reaksi Mama kalau aku beritahu soal kabar itu. Akan setuju atau tidak? Jadi, aku putuskan untuk bilang ke Mama soal itu. Untuk jaga-jaga, bilamana Mama tidak setuju, aku bisa langsung bilang ke Garra untuk menunda.
“Ma ....”
“Hmm?” jawab Mama, masih fokus menonton televisi.
“Garra tadi bilang ....”
Aku tidak begitu berani berterus terang langsung pada Mama. Jadi, aku pakai cara seperti perlahan dan sedikit-sedikit kasih tahu Mama oleh karena aku takut Mama berpikiran kalau aku yang kebelet menikah. Atau berpikir, anak kecil seusiaku masa sudah mikirin nikah? Karena saat itu aku dan Garra berusia dua puluh tahun.
“Bilang apa?” tanya Mama dan menatapku.
“Bulan depan dia ngajak nabung bareng.”
“Buat?”
“Katanya buat ke jenjang serius. Buat modal nikah gitu.”
“Oh ...,” Mama kembali menonton televisi dan aku tidak menyangka dengan respons Mama yang terlihat santai. “Nabung aja dulu. Kalau udah ada uang mah enak.”
“Iya,” kataku. “Boleh emang?”
“Ya boleh aja. Namanya juga nabung.”
Aku menyungging senyum. Aku tidak percaya ternyata respons yang Mama kasih itu positif dan tidak membuatku putus asa dan tidak membuat aku merasa ditekan.
“Terus ... Garra selalu bilang sama aku, kalau aku pasti jodohnya. Padahal, kan, nggak tahu, ya, Ma ... jodoh yang nentuin Tuhan?”
“Iya,” kata Mama. “Mungkin dia emang serius sama kamu. Jalanin aja dulu sekarang mah. Jodoh nggak bakal ke mana. Kalau dia jodoh Ica, pasti dimudahin semua urusannya.”
“Iya, amin,” kataku. “Emang Mama setuju gitu, kalau Ica sama Garra?”
Mama menatapku lalu kemudian mengangguk. “Mama setuju. Dia baik anaknya, Sholeh juga. Sopan banget lagi, dibanding mantan-mantan Ica yang lain.”
Aku mendesis, merasa senang dan juga malu oleh karena Mama malah membahas mantanku yang aku sendiri juga tidak tahu mengapa aku dulu mau-mauan saja pacaran sama mantanku yang pada berengsek itu!
“Ya udah kalau gitu Ica mau tidur, ya? Ngantuk.”
“Ya udah sana tidur,” kata Mama.
“Iya.” Aku pamit dan masuk ke kamar. Kututup pintu dan aku merebahkan tubuhku.
Rasanya malam itu aku sangat senaaaang sekali. Kamu pasti tahu kenapa aku begitu. Iya, karena perkataan Garra dan karena respons Mama yang membuatku semakin semangat untuk menjalani hari demi hariku dengan Garra. Dengan dirinya, aku belajar bagaimana waktu begitu sangat berharga dan tidak ada yang namanya waktu terbuang sia-sia kalau sedang bersama Garra. Dan untuk apa-apa yang akan datang!
***
Paginya, tepat di hari Jumat, kira-kira pukul lima. Garra nelepon aku untuk sebagai alarmku melaksanakan Shalat Subuh. Memang biasanya setiap hari selalu begitu dan dengan rasa kantuk yang sangat begitu berat, aku bangun dan Shalat.
Sekitar pukul setengah tujuh, ketika aku sedang sarapan, ponselku berdering dan itu telepon dari Garra.
Aku mengernyit sebelum aku terima panggilan telepon itu. Aku berpikir, oh, mungkin Garra mau pamit ke Cianjur. Kemudian, aku angkat telepon itu.
“Assalamu’alaikum,” sapa Garra dibalik telepon sana.
“Waalaikumsalam. Kenapa? Udah berangkat?”
“Kamu jangan pesan ojek, ya? Aku jemput sekarang.”
“Maksudnya? Jemput gimana?”
“Iya aku jemput.”
“Kamu belum berangkat ke Cianjur?”
“Hehehe belum.”
Aku semakin terheran dan ada kesalnya juga ke dia. Kenapa dia belum berangkat juga?
“Kamu kenapa sih belum berangkat juga? Kesiangan lho nanti? Kamu nggak bakalan ke Cianjur?”
“Mau, tapi nganterin kamu dulu. Abis itu langsung berangkat ke Cianjur. Keburu kok, soalnya mulainya jam sepuluh.”
“Oh, ya udah kalau gitu.”
“Ya udah, aku jemput sekarang, ya?”
“Iya.”
Telepon ditutup. Aku buru-buru menghabiskan sarapanku dan pakai kaus kaki begitu juga sepatu.
Aku sudah siap dan aku pamit ke Mama untuk bergegas berangkat kerja. Aku buru-buru keluar rumah dan kudengar suara motor Garra mendekat dan benar saja, baru saja aku membuka pagar, Garra berhenti tepat di depanku sambil membuka kaca helmnya dan dia senyum. Saat itu, dia pakai celana jeans dan sweater berwarna hitam.
“Cepet banget?” kataku.
“Iya dong,” katanya sambil senyum. “Nih, pakai helm dulu.”
Aku mengambil helm itu dan kupakai. Aku naik ke boncengan motor Garra dan selanjutnya motor itu melaju pergi meninggalkan rumah.
Di jalan, aku memeluk Garra begitu erat. Aku pandang wajahnya dari samping dan aku menempelkan daguku di bahu kirinya.
“Kamu emang keburu, ya, sayang? Ke Cianjur jam segini? Nggak akan telat? Nanti kejebak macet, lho?” kataku.
“Nggak kok. Aku udah manage waktu. Pasti keburu kok,” katanya.
“Kamu kenapa sih nggak langsung aja gitu tadi Subuh ke Cianjurnya? Kenapa harus nganterin aku dulu? Padahal aku bisa naik ojek.”
“Nggak kok. Santai aja, sayang, pasti keburu. Percaya deh sama aku.”
“Ya udah dehhhh.”
Aku ngobrol ini-itu sama Garra, membahas apa pun yang ingin kami bahas, kecuali membicarakan orang lain alias gosip. Garra paling anti kalau aku sudah mulai ingin bergosip padanya, semisal aku kesal pada seseorang dan aku cerita ke Garra bagaimana orang itu sangat sungguh menyebalkan. Tapi Garra selalu saja bilang, “Udah, nggak apa-apa. Kamu jangan gitu. Nggak boleh ngomongin orang, dosa. Kalau dia jahat sama kamu, kamu cukup do’ain yang baik-baik aja. Jangan ikutan kayak gitu apalagi sampai ngomongin.”
Aku selalu jawab, “Ih, tahu ah! Nggak seru kalau ghibah sama kamu!”
Garra biasanya hanya senyum dan mengalihkan pembicaraan menjadi apa pun itu sampai aku betul-betul lupa dan dia sungguh jago memperbaiki mood- ku jadi kembali baik. Dia selalu bisa membuatku ketawa di saat aku merasa sedih. Dia selalu bisa membuatku melupakan segala rasa kesalku dengan cara dirinya sendiri.
Terus, dia pernah bilang padaku kalau cintanya sebesar kuku, aku sontak kesal dan marah ke dia.