Aku pernah mendengar sebuah cuitan tentang bagaimana kebahagiaan yang kamu rasakan bersama seseorang yang selalu membuat hidupmu berwarna dan selalu mengukir senyum indah di bibirmu tiap kali kamu bersamanya, itu yang dinamakan cinta sejati dan tidak akan pernah pergi.
Duniaku sebelumnya begitu sangat berwarna dan bermakna indah ketika aku melibatkan Garra pada setiap peran dalam hidupku. Pada setiap apa yang ingin aku lakukan dan pada setiap waktu yang aku lewati. Aku sampai lupa bagaimana Tuhan bisa berkehendak lain dan bagaimana takdir yang tidak bisa aku tebak, bisa mengobrak-abrik harapan dan impian.
Ketika mendengar kabar itu, duniaku seolah runtuh. Hancur berkeping-keping. Dadaku sungguh sangat sesak. Sakit. Perih dengan luka yang begitu sangat basah. Sekujur tubuhku sangat lemas, aku tidak bisa mencerna dan mengolah segala apa yang sudah terjadi dan apa yang sebenarnya terjadi.
Aku masih sungguh tidak percaya. Aku berusaha untuk tegar dan tidak mempercayai omongan mereka. Aku memaksa diri untuk bertahan, tapi nyatanya aku tidak sekuat itu. Genangan air di pelupukku tumpah bagai bendungan yang tak kuat menahan bobot air yang akhirnya tumpah ruah dan mengalir deras.
“Hancur semua ... sakit ... Garra ... semua ini bohong, kan? Garra ... aku mohon ....”
Tenggorokanku seolah tersekat, rasanya begitu sangat pahit dan sakit. Aku memohon bahwa semua ini hanyalah ilusi yang tidak akan pernah terjadi.
Tubuhku kaku seperti ditimpa batu. Pikiranku mengawang yang entah ke mana. Tatapanku kosong bagai tak tahu arah tujuan. Perasaanku kalut seolah semuanya sudah benar-benar hancur lebur.
“Aku mau pulang ...,” aku berkata pada siapa pun di sana dengan lirih dan tersekat-sekat.
Mereka semua melarangku tapi aku tetap bersikeras untuk itu.
“Biar aku yang antar!” kata salah satu temanku—Ipit—kebetulan dia bawa motor.
Aku menggeleng. “Naik ojek aja.”
Suaraku terdengar parau. Bahkan aku tidak kuat untuk mengeluarkan suara. Energiku terkuras habis dengan kenyataan yang membawaku pada sebuah titik di mana aku merasa ketidakpercayaan mengungkungku dalam ketidakpastian.
Maudy langsung memegang tanganku, menghalangi aku untuk pergi.
“Biar aku sama Ipit yang antar kamu!” katanya.
Aku hanya diam. Seolah orang-orang di sekelilingku menghilang dan tidak bisa kulihat. Seolah duniaku sepi dan tak berpenghuni.
Tanganku dipapah oleh Ipit dan Maudy. Dengan atensi orang-orang terpusat padaku, seolah tidak ada yang menarik perhatian mereka kecuali aku dengan segala tangisan yang mengisi penuh telingaku.
Di motor, kami bonceng tiga dan aku di tengah. Diimpit Maudy dan Ipit yang bawa motor. Seluruh dunia bagai senyap, untuk membiarkan diriku tertekan sendiri dilanda kesedihan.
Tidak ada suara apa pun yang kudengar. Hening. Sayup-sayup, kudengar suara Garra yang seolah tiba-tiba memaksa masuk. Aku mendengar gelak tawanya. Aku mendengar suara lembutnya. Aku mendengar apa-apa yang Garra katakan dengan begitu jelas.
Beberapa jam lalu. Aku melewati jalan ini. Ya, jalan yang kulewati dengan Ipit dan Maudy, aku pun melewatinya bersama Garra sebelumnya, dengan penuh canda-tawa yang tidak akan pernah kuduga akan menjadi hal yang begitu sangat menyakitkan.
Beberapa jam lalu. Garra masih sehat. Garra masih tertawa. Garra masih bersamaku. Aku masih memeluknya. Aku masih mendengar segala ceritanya. Aku masih mendengar segala keluh-kesahnya karena harus terpaksa terbangun tengah malam. Aku masih bisa memberinya pendapat soal jaket yang dia pakai pemberian dari kakeknya. Aku masih bisa mencium aroma tubuhnya yang begitu harum.
Terbayang jelas bagaimana tatapan teduh Garra untuk terakhir kalinya dia menatapku setelah aku turun dari motornya. Bagaimana ucapan kata ‘Sayang' yang dia lontarkan begitu sangat lembut kudengar. Bagaimana senyuman tulus itu tersungging manis di bibirnya yang ternyata menjadi senyuman terakhir yang aku lihat.
Di hari itu. Di hari yang sama. Kamu tahu? Aku merasakan dunia kebahagiaan menyelimutiku bersama Garra dan hari itu juga yang selanjutnya terjadi, seolah ada gempa bumi dahsyat yang mengguncang duniaku hingga runtuh berkeping-keping. Tidak ada yang tersisa. Hancur.
Semua terangkum dalam kepalaku seolah menciptakan visualisasi yang bisa aku tonton kembali. Begitu sangat jelas dan hangat. Namun, semua terpecah ketika suara tangisan orang-orang kembali menyerobot masuk ke dalam ingatanku. Pelukan mereka yang membuatku tersadar bahwa hari itu adalah hari paling buruk dalam hidupku!
***
Semua kenangan bersama Garra semakin berlomba masuk ke dalam ingatanku ketika aku sampai rumah. Tangisku semakin pecah bahkan lebih keras sampai aku kesulitan bernapas. Ipit dan Maudy memeluk dan memapahku untuk masuk ke dalam rumah. Aku betul-betul tidak kuat untuk melangkah, seolah kedua kakiku mendadak lemas dan mati rasa. Hanya suara tangisan yang mendominasi sekitar hingga beberapa tetanggaku keluar rumah untuk mengecek situasi dan memastikan ada kejadian apa di luar.
Mama muncul dengan seraut wajah panik dan cemas. Aku berlari menghampiri Mama dan memeluk erat tubuhnya. Tangisku semakin pecah di pelukan Mama.
“Kenapa?” tanya Mama, sambil mengelus lembut kepalaku. “Ada masalah lagi di kerjaan?”
Aku tidak kuasa untuk menjawab. Aku hanya menangis terisak dan semakin kencang.
Hingga aku dengar Maudy menyahuti pertanyaan Mama dengan isak tangisnya yang kembali kudengar.
“B—bukan ... bukan, Ma. T—tapi ... Garra ... meninggal ....”
Tangan Mama yang sedang mengelus kepalaku untuk kemudian berhenti dan melepaskan pelukannya. Mama menatapku dengan seraut wajahnya yang tidak kalah terkejutnya seperti aku.
Aku tambah menangis menatap Mama. Sungguh aku tidak bisa berkata apa-apa selain menangis ... menangis dan menangis.
Kamu pasti mengerti apa yang aku rasakan, bukan?
“Innalillahi wainnailaihi raji’un ...,” Mama berpaling menatap Maudy dan Ipit yang masih berdiri di belakangku. “Tadi, kan, pagi nganterin Ica?”