SETIAP WAKTU ADALAH KENANGAN

Linda Fadilah
Chapter #20

19. SEBATAS ANGAN YANG HILANG

Setelah kehilangan Garra, hidupku benar-benar merasa hampa, kosong dan sendirian. Aku seperti kehilangan semuanya. Kehilangan semangat untuk hidup. Kehilangan tujuan. Tidak ada gairah di setiap putaran waktu bergulir yang harus kulalui begitu sangat berat dan lambat. Seolah Semesta dengan sengaja menyiksaku tanpa ampun dan jeda.

Saat itu, aku merasa seluruh hidupku berubah. Seolah manusia di seluruh muka Bumi tidak ada yang peduli bagaimana aku merasa. Aku terjebak dalam situasi macam itu, membuat aku menjadi serba salah dengan apa-apa yang aku lakukan.

Meski demikian, Mama dan teman-teman selalu memberi semangat dan mendukungku untuk melewati ini semua. Namun, nyatanya hatiku terlalu rapuh untuk sekadar menyungging senyum seolah hidupku baik-baik saja, tetapi aku tidak sekuat itu.

Aku merindukannya. Sulit mengikhlaskannya untuk menerima kenyataan bahwa Garra sudah tiada. Rasa sakit itu seolah semakin kuat menghantamku bertubi-tubi. Aku tidak bisa mendapatkan dia keluar dari pikiranku. Begitu banyak jejak terbaik yang aku miliki dengan Garra.

Ini sangat sulit untuk bisa melupakan seseorang yang begitu banyak menjadi bagian dari hidupku. Seseorang yang bisa mengubahku untuk bisa lebih membuka mata dan melihat isi dunia lebih luas dari berbagai sudut pandang. Menghargai setiap waktu yang bergulir dengan setiap kenangan yang bisa kurasai yang dulunya sangat indah, namun sekarang begitu sangat menyakitkan.

Dalam perjalanan menuju rumah, aku merasakan perasaan aneh hinggap di dadaku. Teringat jelas semua momen indah yang kulalui bersama Garra. Saat pertama kalinya Garra menolongku di loker untuk menyimpan tasku karena aku terlalu pendek dan itu awal mula aku jatuh cinta padanya. Teringat saat Ike, April dan Maudy berusaha menjadi makcomblang dadakan untuk aku bisa merealisasikan keinginanku dekat dengan Garra, dengan hebohnya mereka memberi nomor ponselku tanpa persetujuanku. Juga masa-masa bagaimana kebahagiaanku pecah ketika Garra mengutarakan perasaannya.

Namun, hal yang paling begitu menyakitkan ketika kakiku melangkah memasuki rumah. Tergambar jelas bagaimana rekaman Garra yang sibuk mengerjakan laporan, gelak tawa Garra yang mengisi penuh kepalaku. Garra yang selalu tertidur di sofa ruang tamu. Garra yang selalu memberi kejutan kecil yang membuatku selalu merasa dicintai.

Malam kemarin, dia masih ada di sana, bersamaku menonton serial film, dengan segala perbincangan, genggaman erat tangannya seolah tidak ingin melepaskanku. Tatapan teduhnya, kata-katanya yang bilang bahwa aku, Cinta terakhirnya.

Aku sadar bahwa, aku memang benar cinta terakhirnya. Cinta yang dia bawa sampai embusan napas terakhirnya. Cinta yang selalu abadi dalam hatinya. Bahkan cinta yang bisa dia pegang hingga akhir hayatnya.

Dan yang paling menusuk hatiku adalah, ketika aku berdiam diri di dalam kamar dengan derasnya hujan yang mengguyur malam, ingatan itu kembali menyerbu kepalaku, di mana masa-masa Garra mengantarku pulang untuk pertama kalinya di saat hujan lebat, dia mau berbagi jas hujannya denganku dan rela basah kuyup hanya demi melindungiku. Saat di mana malam itu, di mana Garra mengajakku pergi ke pasar malam dan hujan turun, Garra mengajakku untuk menikmati setiap rentikan hujan itu di atas motor dan membiarkan guyuran air hujan membasahi sekujur tubuh kami dengan perasaan hangat dan rasa cinta kami yang begitu kuat. Begitu juga dengan filosofi hujan yang dia katakan padaku untuk selalu aku kenang dalam memori ingatanku yang paling dalam.

Juga dengan momen indah saat aku bersama Garra di pantai tiba-tiba terlintas di kepalaku. Aku ingat perkataan Garra tentang senja yang amat dia suka. Kenangan saat di mana Garra memintaku untuk jangan makan banyak-banyak oleh karena dia ingin makan Mi Goreng bersamaku di rumah, sembari di temani serial film dan gelak tawa bersama. Masa-masa di mana Garra dengan lembut mengecup keningku yang kurasai kecupan itu masih terasa nyata.

Aku mengambil ponselku dan melepas casenya, begitu juga dengan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, kedua benda pemberian Garra yang aku punya yang begitu sangat berharga dari apa pun yang kumiliki. Aku hanya bisa menatapnya untuk selanjutnya aku peluk erat. Sebagaimana aku berharap dengan itu aku bisa melepas rinduku padanya.

Aku membiarkan diriku terisak dalam keheningan malam, ditemani rentikan air hujan yang semakin lama semakin terdengar begitu sangat deras. Seolah Semesta ikut menangisi kepergian Garra dan mengerti apa yang aku rasa.

Sedang apa Garra di sana? Apakah dia kedinginan? Apakah dia kehujanan? Apakah dia punya tempat berteduh? Apakah Garra sudah makan? Apakah dia sedang kesepian? Banyak pertanyaan Apakah dalam kepalaku yang tidak ada jawaban. Aku harus memutar otak untuk bisa kujawab dengan praduga perasaan.

Hujan masih menemani. Sekali lagi, aku bergumam memanggil nama Garra. Berharap Garra ada malam itu untuk menemaniku. Aku semakin erat memeluk benda pemberian Garra dan mencoba mengingat dekapan yang selalu Garra berikan. Kehangatan itu akan selalu kusimpan dalam ingatanku, karena aku tahu, sekarang dan hari-hari berikutnya, hujan akan turun kembali dan yang tersisa dari seorang Garra, hanyalah sebatas kenangan dengan berbagai angan yang tak sampai.

***

Ini adalah pagi pertamaku tanpa Garra. Rasanya hampa. Seperti hidup dalam ruangan kosong yang tidak memiliki kehidupan. Seperti bukan kehidupan yang kujalani seperti hari-hari biasanya. Ini kehidupan apa sebenarnya? Apakah aku terlempar dalam sebuah dunia tanpa nama?

Karena seingatku, tiap Subuh Garra selalu menelepon untuk membangunkanku dan memaksaku untuk Shalat Subuh. Tapi ini justru tidak ada. Apakah Garra lupa? Atau dia tidak punya kuota internet?

Semalaman aku menangis dalam kamar sampai mataku bengkak dan tidak tidur hingga dini hari. Aku berharap kejadian ini hanyalah mimpi sehingga tidak perlu aku merasa sesakit ini. Namun, ketika kakiku menjejak lantai yang dingin, aku langsung tersadar, ternyata ini bukanlah mimpi, melainkan kenyataan mengerikan yang harus aku terima.

Aku kembali menangis di dalam kamar dan enggan untuk keluar.

***

Sudah terhitung tiga hari setelah kepergian Garra. Hidupku semakin kurasai sangat berantakan dan tanpa arah tujuan. Aku tidak mau makan dan tidak ada asupan makanan apa pun ke dalam tubuhku selain segelas air yang membuatku bertahan hidup.

Mama selalu merayuku untuk jangan menyiksa diri seperti ini, jangan sampai tidak makan. Tapi aku bebal, aku tetap tidak mau karena nafsu makanku betul-betul menghilang. Aku merasa bahwa aku tidak boleh makan oleh karena Garra juga tidak makan di bawah sana.

Sampai ada satu waktu di mana Mama seperti sudah lelah menghadapiku yang menjalani hari-hari hanya dengan pilu dan tangisan.

“Jangan siksa diri Teteh kayak gini, jangan nggak makan sama sekali. Mama tahu perasaan Teteh gimana karena Mama juga pernah ngalamin apa yang Teteh alamin. Mama kehilangan Bapak, itu lebih sakit, Teh.”

 Mama menangis terisak yang membuat rasa sakitku berkali lipat.

“Kalau Teteh kayak gini terus, sama aja Teteh nggak kasihan ke Mama. Nggak apa-apa, Teh, emang udah takdirnya gini, emang bukan jodohnya. Kalau Teteh terus-terusan kayak gini ... Teteh sakit hati, Mama juga ikut sakit hati.”

Suara tangisan Mama menjadi melodi menyakitkan seumur hidupku yang pernah aku dengar. Tidak pernah kudengar tangisan Mama sepilu ini sepanjang Mama selalu mengeluh dengan tangisan padaku.

Hatiku berkeping-keping sakit dan hancur.

“Teteh makan, ya? Kan, Teteh harus kerja. Jangan nyiksa diri terus. Nggak apa-apa, emang takdirnya harus kayak gini. Garra juga di sana udah bahagia. Ini juga bukan kemauan Garra.”

Aku terpaku dan aku tersadar bahwa apa yang dikatakan Mama ini benar. Aku mulai menerima sedikit demi sedikit takdir Tuhan yang mengambil Garra dariku tanpa aba-aba lebih dulu. Aku mulai menerima jalan takdirnya yang memang sudah Garra setujui ketika perjanjian dengan Tuhan sebelum Garra terlahir ke dunia ini.

Sebelumnya aku selalu berpikir bahwa, aku mengira Garra sedang berada di Cianjur dan keesokan harinya tepat di hari Senin, dia pasti akan menjemputku untuk selanjutnya berangkat bersama seperti sediakala dan biasanya. Hingga Mama menyadarkan aku akan takdir Tuhan yang membuatku tersadar bahwa aku memang harus bangkit dari keterpurukan. Harus menerima segala alur Tuhan.

Aku mulai belajar untuk bagaimana cara mengikhlaskan.

***

Aku masih tidak bisa bersemangat, terlebih ketika aku menginjakkan kakiku di kantor. Segala bayangan Garra selalu saja berseliweran dalam ingatan di mana di berbagai sudut ruangan seolah ada dirinya.

Lihat selengkapnya