SETIAP WAKTU ADALAH KENANGAN

Linda Fadilah
Chapter #21

EPILOG (Bunga Terakhir Untuk Garra)

Katanya, kalau seseorang yang meninggal dunia selama 40 hari, rohnya akan masih ada di sekeliling orang-orang yang dia sayangi. Akan berkelana ke rumah-rumah yang semasa hidupnya selalu dijumpai. Akan berkelana mendatangi setiap manusia yang semasa hidupnya dekat dengannya.

Lalu, aku pernah membaca sebuah riwayat dari Said Bin Jubair, dari Ibnu Abbas RA, bahwa; “Sesungguhnya roh orang yang hidup dan orang yang mati bertemu dalam mimpi. Mereka saling mengenal sesuai yang Allah SWT kehendaki. Ketika masing-masing hendak kembali ke jasadnya, Allah SWT menahan roh orang yang sudah mati di sisi-Nya, dan Allah melepaskan roh orang yang masih hidup ke jasadnya.”

Bicara soal mimpi dan tepat 40 hari Garra pergi. Aku sempat didatangi dirinya lewat mimpi. Aku sedang berada di bawah sinar bulan yang begitu amat sangat terang, dengan suara cicit burung yang terdengar syahdu. Di sekelilingku terdapat sebuah taman bunga yang begitu subur. Aku dan Garra sedang berada di tengah-tengah taman. Aku duduk di sebuah kursi kayu dan Garra tertidur di pahaku. Dia menatapku dengan seulas senyumnya yang hangat. Senyuman yang selalu aku rindukan kini aku bisa melihatnya kembali.

Namun, dalam mimpi itu, aku sadar—begitu amat sangat sadar—bahwa Garra sudah tiada. Bahwa Garra sudah meninggalkan dunia ini. Aku sampai terheran dan bertanya-tanya Mengapa ada dirinya di sisiku? Mengapa dia berada di sini bersamaku? Apakah dia kembali untukku?

Aku tahu ini mimpi tetapi ini terlalu sangat nyata untuk dijadikan mimpi.

Kemudian, aku melihat seraut wajahnya begitu terlihat sangat sedih, sendu, seperti ada beban berat yang harus dia tinggali. Aku mengelus lembut pipinya dan aku pejamkan mataku.

Namun, namanya mimpi, entah mengapa, ketika aku membuka mata, kulihat Garra sudah tidak ada di pangkuanku. Garra sudah menghilang!

Aku terkejut dan aku kelimpungan mencari Garra yang entah pergi ke mana. Hingga aku mendongak dan menatap bulan purnama yang bulat sempurna. Tiba-tiba aku melihat Garra berada di sana. Sendirian. Dia menatapku dengan lambaian tangannya dan senyuman yang kulihat senyuman lepas penuh arti.

Aku merasa bingung dan merasa begitu sangat sedih. Aku menangis. Aku tidak mau kehilangan Garra lagi. Seolah dia berpamitan padaku bahwa waktunya untuk berkelana di dunia sudah benar-benar habis dan yang akan dia lakukan setelah itu adalah menikmati kehidupan selanjutnya. Entah di mana. Tapi aku begitu yakin kalau dunia baru Garra bahkan lebih indah dari dunia yang aku tinggali sekarang.

Selamat tinggal, Garra. Selamat bertemu di kehidupan selanjutnya. Aku mencintaimu, lebih dari apa pun. Kamu harus tahu itu!

***

Mei, 2023

Terhitung dua tahun enam bulan aku ditinggal Garra. Namun, rasaku tetap sama untuknya. Cintaku tetap penuh padanya. Kasih sayangku masih awet. Bahkan aku merasa bahwa Garra selalu ada di dekatku, selalu menamaniku dan selalu menjadi alasanku untuk tetap hidup.

Atau mungkin karena dia selalu menjadi satu-satunya penghuni hatiku? Jadi aku tidak pernah merasakan kekosongan setelah aku benar-benar sudah mengikhlaskannya.

Banyak lelaki yang berusaha mendekatiku dan berusaha memaksa masuk ke dalam hatiku. Atau hanya sekadar mencuri secuil perhatian dariku, tetapi aku tidak tertarik untuk itu. Sungguh. Aku merasa, aku belum siap untuk apa-apa yang bersangkutan membuka hati dan perasaan. Aku sungguh sangat malas untuk kembali membuka lembaran baru dengan orang baru.

Aku bisa saja bertekad akan hal itu. Tetapi aku hanya ingin dengan laki-laki yang mirip dengan Garra, dari segi apa pun itu, aku ingin laki-laki seperti Garra. Meski terdengar mustahil dan egois. Bahkan mungkin tidak akan pernah ada duplikat laki-laki seperti Garra di dunia ini. Di belahan bumi mana pun, aku yakin aku tidak akan pernah menemukan.

Sudah sering kali teman-temanku berusaha menjodohkan aku dengan beberapa laki-laki, tetapi hasilnya tetap nihil. Aku memang pernah dan terkadang selalu mencoba untuk kembali membuka hatiku dan memberi kesempatan pada laki-laki lain masuk ke dalam sana. Namun, entah kenapa, mungkin hanya bertahan beberapa hari saja, aku sudah menghilang.

Ingat, ya, aku yang menghilang!

Aku kembali tidak mau dan kupikir tidak perlu.

Aku menikmati kehidupanku. Menikmati kesendirianku. Hingga satu waktu, aku tiba-tiba merindukan Garra. Sudah sangat lama sekali aku tidak mengunjungi rumahnya. Terakhir kali hanya ketika tujuh harinya.

Bukan karena aku tidak mau. Bukan! Oleh karena aku sungguh sangat sibuk—lebih tepatnya menyibukkan diri—tetapi ketika ada waktu, selalu saja ada halangan yang membuatku tidak bisa untuk pergi ke sana.

Bukannya aku sombong. Tidak. Bukannya aku tidak peduli. Aku betul-betul ingin sekali mengunjungi Garra bahkan inginku setiap hari bila bisa. Tetapi waktu dan takdir berkata lain. Tiap kali ada niatku ingin ke sana, selalu ada saja hambatannya.

Seperti malam ini, aku sedang berdiri di sebuah minimarket seraya untuk ikut berteduh dari derasnya hujan yang mengguyur apa pun yang ada di bawahnya. Tanpa ada tanda-tanda kapan berhentinya. Aku baru pulang bekerja sekitar pukul sembilan malam oleh karena aku lembur. Bahkan, hampir tiap hari aku menjalani hari seperti begini.

Sampai suara ponselku terdengar dari balik saku jaketku.

Mama is calling...

Lihat selengkapnya