Dengan santai, Surya berjalan menyusuri pinggir lapangan basket sekolahnya. Tas ransel warna hitam menempel di punggungnya dan alunan musik mengiringi langkahnya lewat earphonenya. Sesekali dilihatnya Vera yang berada di tengah lapangan sedang berlatih gerakan dengan pemandu soraknya. Dia naik ke bangku penonton dan memilih dibagian tengah untuk duduk dan meletakkan tasnya. Surya tersenyum dan membalas lambaian tangan Vera dari tengah lapangan. Suara teriakan para pemandu sorak menggema diseluruh ruangan yang hari itu tidak terlalu ramai.
"Terkadang aku heran melihatmu disana bersama para pemandu sorak." Surya melepas earphonenya saat Vera telah duduk disampingnya sambil membersihkan keringatnya.
"Kenapa?"
"Kamu tidak harus disana untuk sebuah pengakuan, semua orang sudah menganggap mu seorang superstar disekolah ini."
Vera menatap terkejut kearah Surya lalu tertawa.
"Kita hanya sekali seumur hidup berada ditempat ini, dan aku ingin semua orang mengingatku nanti sebagai yang terbaik di sekolah ini, si ketua pemandu sorak yang tiga tahun berturut turut membawa piala nasional untuk sekolahnya."
Surya menatap Vera, "Serius?"
Vera mencubit lengan Surya karena menggodanya.
"Gila ... Sakit Ve." Surya menggosok lengannya sambil meringis kesakitan.
"Bukankah itu intinya bukan, bagaimana orang akan mengingat kita nanti setelah bertahun-tahun keluar dari tempat ini." Vera menunjuk Erika yang sedang serius dengan bukunya, duduk tidak jauh dari mereka, "Si kutu buku yang penampilannya soalah-olah terjebak di tahun delapanpuluhan."
"Oh ..." Surya mengangguk-angguk, bersikap seeperi orang bodoh yang setuju dengan ucapan Vera.
"Lalu bagaiaman orang akan mengingatku?"
Vera berpikir sejenak mencari jawaban atas pertanyaan Surya.
"Si Pianis sahabat ketua pemandu sorak yang cantik dan populer," jawab Vera apa adanya lalu meneguk air mineral ditangannya.
Surya menatap Vera seolah-olah tidak percaya dengan ucapannya, sedang Vera terlihat masa bodoh dengan tatapan Surya.
"Apa ...?" Vera menyerah.
Mereka berdua lalu tertawa bersama.
"Hei aku pikir aku menemukan lagu yang cocok untuk kamu bawakan dipentas seni nanti bersama bandmu." Vera meraih earphone milik Surya lalu memasang ditelinganya dan telinga Surya. Diputarnya lagu Dream milik The Cranberries di handphonenya.
Mereka terdiam dan fokus mendengarkan lagu dari earphone.
"Aku mendengarnya disebuah restoran kecil dekat rumah, saat makan malam bersama ayahku." Vera melepas earphonenya diikuti Surya yang sedikit terkejut dengan ucapan Vera.
"Hey ... semua baik-baik saja, walaupun tidak sama lagi seperti saat ibu masih ada." Vera menenangkan Surya yang tatapannya mengisyarakatkan kekhawatiran padanya.
Surya memegang lembut tangan Vera, "Aku, ayah ,dan ibu selalu ada untukmu."
"Aku tahu, dan aku bersyukur untuk itu semua."
Sebuah senyuman muncul dari bibir Vera, senyuman yang selalu membuat Surya rindu apabila Vera tidak disampingnya.
"Bagaimana?" tanya Vera
Surya bingung, "Apanya?"
"Lagunya ih ..."
Vera yang gemas dengan Surya hampir mencubit lengannya lagi namun Surya berhasil menghindar.
"Bagus, aku sering memainkan solo salah satu lagu mereka, Linger. Nanti aku beritahu teman yang lainnya."
"Kamu yakin tampil dengan band bukan solo seperti tahun-tahun sebelumnya."
Surya terdiam sejenak mendengar ucapan Vera.
"Orang tuamu akan berada disana, melihat penampilanmu ..."
"Yang selalu ingin sempurna," Potong Surya dengan senyum yang dia paksakan. Dia menghela nafas, "Masa depan yang telah mereka rencanakan, bukan aku."
Vera memegang tangan Surya, memberikan semangat padanya, "Sebelum lahirpun, masa depan kita telah mereka rencanakan, dan selama ini pula kita tidak pernah keluar dari rencana mereka, lurus berjalan sampai ke titik yang telah mereka tentukan."
Vera tersenyum lalu bangkir berdiri, "Yah paling tidak, mereka akan mengingatku sebagai sang ketua pemandu sorak yang cantik dan populer, bukan sang ketua osis yang kutu buku ..."
"Hey ... pemain band tolong ditambahkan," protes Surya.
Mereka tertawa bersama lalu berjalan turun menuju lapangan.
"Aku bersiap-siap dulu."
Vere berjalan berlawanan arah dengan Surya.
"Aku tunggu di parkiran," ucap Surya sambil menatap kepergian Vera.
Tiba-tiba Vera berbalik padanya, "Pianis bukan band."
Vera menggoda Surya yang membalasnya dengan sebuah senyuman lalu pergi meninggalkan Surya.
***
"Bangun."
Sebuah bisikan lembut memicu otak didalam kepala Surya untuk bekerja normal kembali. Matanya mulai bergerak-bergerak walau masih terpejam.
"Bangun."
Bisikan itu kembali terdengar samar-samar oleh Surya dan membuatnya sedikit bisa menggerakkan jari-jarinya.
"Bangun ... " Bisikan itu terdengar memanjang yang benar-benar kali ini membuat Surya terbangun walau hanya matanya yang terbuka lebar namun dirinya masih lemah terbaring di ranjang rumah sakit.
Dia tidak merasa terganggu saat seorang petugas kebersihan di kamarnya menjatuhkan botol berisi cairan pembersih lantai karena terkejut melihatnya membuka mata.