Suasana sekolah sudah mulai lengang, Surya berhenti berlari saat sampai di lapangan basket dan menunduk sambil berpengangan kedua kakinya untuk mengatur nafasnya. Dilihatnya sekeliling lapangan yang sudah sepi. Hampir saja dia meninggalkan lapangan saat dilihatnya sosok yang dia cari-cari muncul dari balik pintu ganti perempuan, Vera yang mengenakan seragam pemandu soraknya, berjalan menuju ketengah lapangan dan mengabaikan kehadiran Surya lalu mulai berlatih seorang diri.
"Apa yang sedang kamu lakukan Ve?" Surya meraih tangan Vera agar dia berhenti berlatih gerakan pemandu sorak, namun dengan tetap tenang, Vera tetap melanjutkan latihannya dan mengabaikan Surya.
"Ve ...." Ditariknya tangan Vera agar lebih mendekat padanya, "Semua orang mencarimu."
Mereka saling bertatapan, tampak wajah Vera masih terlihat dingin lalu perlahan air matanya mulai menetes.
"Jangan tahan dukamu," ucap Surya sambil menahan tangan Vera yang meronta-ronta untuk melepaskan diri. Lalu dia tarik tubuh Vera kedalam dekapannya hingga sosok yang sedari tadi mencoba untuk tegar, akhirnya rapuh dalam tangisannya.
"Ibu berjanji akan bertahan, dia sudah berjanji ... " ucap Vera disela-sela isak tangisnya.
"Mungkin ini yang terbaik untuknya Ve, tidak ada lagi sakit yang harus dia rasakan." Surya mendekap semakin erat saat tangis Vera semakin pecah. Dibiarkannya kepedihan itu tumpah hingga dia siap pulang melepas kepergian ibunya untuk terakhir kalinya.
***
Dengan sabar, pak Hananto duduk disamping Surya, disebuah taman di rumah sakit saat hari sudah beranjak pagi.
Dalam diamnya, dia hanya menatap dengan rasa iba pada Surya dan menunggunya sampai dia tenang kembali. Keadaannya masih terkejut setelah dua jam lalu mendengar kematian kedua orang tuanya
Roni hanya diam berdiri tidak jauh dari mereka untuk mengawasi kondisi Surya.
"Bapak tahu ini semua begitu berat bagimu nak," ucap pak Hananto sambil menyerahkan sapu tangan miliknya pada Surya.
Diraihnya sapu tangan itu dan dihapusnya air matanya. Tatapannya kemudian menerawang kedepan.
"Apa yang terjadi sampai kecelakaan itu merengut nyawa kedua orang tuaku? Apakah aku yang mengemudikan mobilnya?"
Pak Hananto terkejut mendengar pertanyaan dari Surya, dilihatnya Roni juga sama terkejutnya dengan dirinya.
"Kamu tidak ingat dengan kecelakaan yang menimpamu?"
Surya menoleh pada pak Hananto dan menggeleng, "Aku berusaha mengingatnya namun ingatanku hanya berakhir dimalam pesta perpisahan sekolah."
Pak Hananto kembali menoleh pada Roni dengan wajah penuh pertanyaan padanya.
"Mungkin Surya mengalami hilang ingatan pasca trauma kecelakaan."
Surya dan pak Hananto menatap Roni mendengar penjelasannya.
"Mungkin sifatnya sementara tapi tetap harus di cek oleh dokter," lanjut Roni
"Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah aku penyebab kecelakaan malam itu?" Surya mengulangi pertanyaannya.
Pak Hananto memegang bahu Surya untuk menguatkannya, "Kecelakaan yang terjadi berbeda waktu dan tempat nak."
"Kamu mengalami kecelakaan dimalam pesta perpisahan sekolah sedangkan kecelakaan orang tuamu terjadi lima tahun setelah kamu mengalami koma," lanjut pak Hananto.
Surya kembali menangis, "Jadi tetap akulah penyebab bapak dan ibu meninggal."
"Jangan menyalahkan dirimu nak ... "
"Kenapa ... kenapa ini semua harus terjadi padaku ... "
Pak Hananto memeluk Surya dan membiarkannya menangis dipelukannya. Dia tahu sosok lelaki berumur duapuluhtujuh tahun itu sebenarnya masih memiliki jiwa anak berusia tujuhbelas tahun.
"Aku ingin melihat pusara mereka." Surya melepas pelukan pak Hananto yang terlihat bimbang dan menatap Roni.
"Tapi kami harus melakukan pemeriksaan padamu Surya, kamu baru bangun dari sepuluh tahun koma ... "
"Aku baik-baik saja, aku ingin melihat mereka hari ini." ucap Surya dengan nada tinggi memotong kalimat Roni.
"Kamu akan melihat mereka hari ini, tapi biarkan kami memeriksamu sebentar." pak Hanato tersenyum mencoba menenagkan Surya yang kemudian mengangguk.
"Biar aku yang mengantarnya pak, biar aku bisa mengawasi keadaannya."
Pak Hananto mengangguk menyetujui permintaan Roni.
***
Roni membawa mobilnya membelah kota Yogyakarta yang sibuk pagi itu. Sesekali dilihatnya Surya yang duduk disampingnya sedang menatap jalanan kota Jogja yang sudah berubah semenjak terakhir kali dilihatnya sepuluh tahun lalu. Dia hanya terdiam dan sesekali melihat foto kedua orang tuanya digenggamannya sambil menitikkan airmatanya.
"Aku ikut berduka tentang apa yang kamu alami." Roni mencoba memecah keheningan.