Semua berdiri, menatap sebuah rumah megah dihadapan mereka.
"Serasa kembali kemasa sepuluh tahun lalu." Sebuah senyum muncul diwajah Roni.
Erika ikut tersenyum bahagia. "Tahun-tahun terbaik."
Semua menoleh kearah Erika kecuali Surya.
"Apa? Kalian pikir hanya kalian yang sering kesini. Menurut kalian bagaimana Surya bisa lulus di mata pelajaran kimia dan math." Protes Erika dengan anggun.
"Tidak ada yang berubah," ucap Surya lirih.
"Ayah merawatnya dengan baik, menjaganya tetap seperti saat terakhir kamu meninggalkannya, agar saat kamu terbangun dan kembali, semua tetap sama." Vera melangkah menuju pintu masuk diikuti semuanya. Dia menekan beberapa nomor yang terpasang di pintu lalu pintu terbuka dengan otomatis.
"Dulu aku ikut menjaga dan merawat," ucap Vera seperti sudah tahu keingintahuan teman-temannya, kenapa dia tahu kode pintu masuk rumah Surya.
Surya melangkah mendahului sahabatanya sambil beucap kalimat sinis, "Setelah itu tidak peduli, seperti kamu tidak peduli lagi dengan hidupmu dan dunia disekitarmu."
Vera terkejut dengan ucapan Surya, namun dia tidak membalasnya meskipun merasa jengkel.
Roni dan Erika saling berpandangan dan menahan senyum.
Mereka berkeliling melihat ruang tamu yang begitu besar dan mewah membentuk lingkaran.
Surya mendekat kearah Piano yang berada dekat dengan tangga, lalu menyentuhnya lembut seperti memeluk seorang sahabat yang sudah lama tidak berjumpa.
Begitu lama Surya menatap ke lantai dua, seolah ada rasa takut untuk melangkah kesana, dia lalu menaiki tangga yang megah dan berhenti di tengahnya, menatap sesaat foto keluarga besar Wiryawan, Bapak, Ibu dan dirinya.
Diusapnya air matanya, lalu melanjutkan menaiki tangga.
Suasana sepuluh tahun lalu masih terasa di dalam kamarnya, saat dia melangkah masuk. Terlintas di dalam ingatan Surya, pertengkaran dirinya dengan kedua orang tuanya yang terjadi sepuluh tahun lalu. Perlahan dia berjalan berkeliling kamarnya, yang tidak berubah dan masih sama seperti saat terakhir dia tinggalkan. Surya lalu berhenti di meja belajarnya dan tertarik dengan sebuah kertas usang yang sudah direkatkan dengan selotip di beberapa bagian yang semula robek.
Air matanya menetes saat mengambil kertas itu, sebuah kertas pemberitahuan tentang penerimaan beasiswa sekolah musik di London yang dia terima, yang sepuluh tahun lalu sudah disobek-sobek dan dilempar dihadapannya oleh bapaknya yang begitu marah karena Surya telah berbohong padanya.